Bagian 6

142 17 5
                                    


Sudah dua hari berlalu dan Mas Abi masih tak mengingat janjinya padaku. Jangan berharap Aku akan menagihnya, karena Aku tidak akan pernah melakukannya. Lagi pula bukan Aku yang meminta diantar tapi Mas Abi sendiri yang sok-sokan mau Antar.

Jadi hari ini Aku akan pergi ke rumah Bunda sendiri. Tentu saja setelah mengirim pesan pada Mas Abi. Besok Aku sudah mulai masuk kuliah lagi, jadi hari ini Aku akan mengambil motorku di rumah Bunda.

Pukul sepuluh pagi Aku pergi dengan ojek online. Jam segini biasanya Bunda ada di kedai. Jadi  Aku akan ke kedai dulu untuk bertemu Bunda baru setelahnya pergi ambil motor di rumah.

Bunda menjalankan usaha rumah makan milik Ayah. Sudah ada beberapa cabang di beberapa kota besar, dan terkadang Bunda sering bepergian untuk memantau cabang secara langsung.

Aku pernah ikut ke Surabaya beberapa kali, di sana ada satu cabang yang lumayan besar, atau mungkin sama besar dengan yang ada di sini. Bunda bekerja sama dengan Tante Santi, salah satu sahabat dekat Bunda.

Tante Sarah ini yang mengelola cabang di sana dan bahkan modal yang pernah Bunda keluarkan sebagian sudah dibayar Tante Santi. Bunda pernah bilang kemungkinan besar beberapa tahun kedepan kedai Surabaya bisa menjadi milok Tante Santi sendiri.

Aku tiba di kedai setengah jam kemudian. Sebenarnya jarak rumah dan kedai tidak terlalu jauh, namun karena macet perjalanan jadi bertambah lama. Saat tiba di sana semua pegawai tampak sibuk dengan pekerjaan karena sebentar lagi jam makan siang. Kedai akan sangat ramai saat jam makan, karena letak kedai yang ada di antara gedung perkantoran dan juga dekat salah satu kantor pemerintahan.

Aku bergegas naik ke lantai dua di mana kantor Bunda berada. Kedai ini memang terdiri dua lantai. Lantai dasar untuk indoor dan lantai dua di bagi dua sebagian untuk kantor dan sebagian lagu untuk out door. Tempat favoritku tentu saja outdoor. Terlebih saat malah hari, kita bisa melihat kerlipan lampu kota dari atas sini.

Aku memasuki ruang kantor, ada tiga pegawai di sana yang bekerja sabagai administrasi. Beberapa cabang memang diberi staf admin untuk memudahkan Bunda mengurus keuangan kedai.

Setelah menyapa ketiganya Aku segera masuk ke ruangan Bunda. Aku tak memberi kabar kalau akan datang ke sini. Jadi sudah di pastikan Bunda akan terkejut dengan kedatangan putri semata wayangnya setelah beberapa minggu tidak bertemu.

"BUNDA!" teriakku dan langsung memeluk tubuh Bunda. Aku bisa merasakan tubuh beliau berjengit karena terkejut, tapi Aku tak perduli. Kan Aku kangen berat.

"Bikin kaget aja sih, Ai." Meskipun protes namun Bunda tetap membalas pelukanku dengan sama eratnya. Yang ku asumsikan beliau juga kangen berat padaku.

Aku dan Bunda duduk bersisihan di  sofa setelah mengahabiskan beberapa waktu untuk saling melepas rindu. Meski Kami masih saling berkomunikasi tapi tetap saja rasanya berbeda dengan bertemu langsung.

"Kamu sendiri?" tanya Bunda.

"Iya," jawabku seadanya.

"Bilang sama suamimu nggak kalo mau ke sini?"

"Ya bilanglah, gini-gini Aku tu tau tatakrama,Bun." Mungkin karena kesal dengan jawaban yang ku lontarkan Bunda memukul lenganku. Tidak sakit, tapi aku tetap merengek dan merebahkan tubuh untuk bisa tidur di pangkuan Bunda. Kebiasaan setiap kali ada waktu berdua bersama bunda.

"Kamu nggak bawa apa-apa, Ai?" tanya Bunda.

"Bawa apa?" tanyaku bingung.

"Bawain Bunda apa gitu. Kemarin Abi kerumah aja bawain Bunda bolu pisang. Kamu malah nggak bawa apa-apa."

Hah?

"Apa Bun?" Aku yang salah dengar atau bagaimana.

"Iya, Abi kerumah bawain bolu pisang. Katanya habis ketemu klien terus mampir kerumah," jelas Bunda.

Mendengar cerita Bunda, kepalaku seketika pusing. Bisanya Mas Abi  ke rumah tapi tidak bilang apa-apa padaku.

"Abi malah lebih perhatian sama Bunda ketimbang Kamu. Dia sering lho telponin Bunda buat nayain kabar."

Ini hanya cerita buatan Bunda atau memang Mas Abi benar melakukannya. Tapi kenapa dia melakukan itu. Perhatian pada Bunda? Dengan Aku saja tak pernah bicara bagaimana ceritanya dia perhatian pada Bunda.

"Gimana sama hubungan kalian? Baik kan?"

Aku tak langsung menjawab kali ini. Jika ditanya seperti ini Aku bingung menjawab. Hubunganku dengan Mas Abi bisa di bilang baik, karena Kami tidak pernah bertengkar sebelumnya. Mas Abi juga tak pernah berlaku kasar padaku. Tapi, hubungan Kami juga bisa di bilang tidak baik. Kami tak pernah berkomunikasi dengan baik, tidur saling membelakangi dan tak pernah tahu kabar satu sama lain.

"Bunda tau ini nggak mudah buat Kamu," sebuah usapan di kepalaku membuyarkan aganku, "Bunda minta maaf karena membuat Kamu melakukan hal tak Kamu inginkan. Tapi Bunda harap Kamu percaya Bunda selalu berharap yang terbaik buat Kamu. Bunda selalu mendoakan kebahagian Kamu, Ai," lanjut Bunda.

"Iya Bun." Aku sendiri juga berharap ini bukan keputusan yang salah. Mungkin sekarang Aku dan Mas Abi sedang tidak baik-baik saja. Tapi suatu hari nanti semua akan berubah lebih baik.

Selesai makan siang Aku pergi ke rumah. Seperti biasa hanya ada Mbak Marni di sana. Aku merindukan kamar sehingga ku putuskan untuk singgah dulu di sana. Masih ada waktu untuk beristirahat sebelum pulang ke rumah Mas Abi.  Badanku rasanya lelag sekali, padahal Aku hanya mendengarkan cerita Bunda tentang Mas Abi.

Tubuhku tersentak saat merasa sentuhan di lutuk kanan. Seketika rasa pusing mendera kepala. Aku menatap Bunda yang berdiri di samping ranjang kamarku. Aku tertidur ternyata.

"Banggun Ai. Ini udah jam setengah lima, Kamu nggak pulang?" Mendengar ucapan Bunda Aku langsung meloncat dari ranjang.

Sial, Aku tidur terlalu lama.

Aku segera pulang telah sholat Asyar dulu. Selama di perjalanan doa ku hanya satu semoga Mas Abi lembur malam ini. Aku belum memasak untuk makan malam.

Tepat Adzan Mahgrib berkumandang Aku memasuki pekarangan rumah Mas Abi. Dan doaku sepanjang jalan tidak terkabul. Mobil Mas Abi ternyata  sudah terparkir cantik di garasi. Semua lampu juga sudah dinyalakan.

Setelah memarkirkan sepeda motor Aku bergegas masuk rumah. Tempat pertama yang Aku datangi adalah dapur, karena setiap pulang kerja Mas Abi akan ke dapur dulu baru pergi ke kamar. Tapi dapur kosong, ada bekas gelas kopi di atas meja makan.

Dia buat kopi sendiri.

Jadi Aku lari ke kamar Kami. Ku buka pintu perlahan hal pertama yang kulihat adalah Mas Abi berdiri di samping ranjang membelakangi pintu. Ia masih mengenakan pakaian yang di pakai kerja. Hanya saja tidak serapi tadi pagi. Kemejanya tampak kusut dengan lengan yang sudah terlipat asal.

Mas Abi sedang sibuk menelepon seseorang entah siapa. Jadi kuputuskan masuk ke dalam kamar dengar perlahan agar tidak mengganggunya. Kututup pintu kamae dengar pelan lalu mendekati ranjang untuk meletakkan tas selempangku.

Aku akan mandi lalu sholat, baru itu Aku akan memasak untuk makan malam. Masakan yang simpel saja agar tidak kelamaan. Takut Mas Abi kelaparan dan membuat moodnya jelek semalaman.

"Dari mana Kamu." Mas Abi tidak membentak, nada bicaranya justru terdengar rendah. Namun berhasil membuat tubuhku merinding ketakutan. Aku tau Mas Abi tengah kesal sekarang.

"Jawab!"

"A..ak..aku dari rumah Bunda." Entah suaraku sampai ke telinganya atau tidak. Aku bahkan tak berani menatap kearahnya.

"Mana ponsel Kamu?"

"Di tas."

"Buang saja ponsel Kamu kalau tidak bisa dihubungi."

Tubuhku berjikat saat ponsel Mas Abi dilempat di atas kasur. Lalu dengan langkah cepat pria itu keluar kamar dan menutup pintu dengan keras.

Aku buru-buru mengambil ponsel di dalam tas.

47 panggilan tak terjawab dari Mas Abi.

Mati saja Kau Aini.

TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang