Hari pertama masuk kuliah. Bertemu kembali dengan teman-teman setelah beberapa waktu berpisah harusnya menjadi moment menyenangkan berbagi cerita liburan.Tetapi nyatanya itu tak berlaku untukku. Liburanku justru menikah dadakan, menjadi istri yang menggantikan wanita lain. Menjalani pernikahan yang terasa aneh. Lalu bertengkar dengan suami, ah tidak. Lebih tepatnya dimarahi suami.
Ya, Mas Abi mendiamkanku sejak semalam. Setelah adegan membanting ponsel Mas Abi pergi ke ruang kerjanya dan tak keluar lagi hingga pagi. Tadi saat berangkat pun masih tak ada ucapan apapun yang keluar dari bibirnya. Semalam Bunda menelpon, Beliau bilang setelah Aku pergi dari rumah Bunda, Mas Abi menghubungi Bunda menanyakan keberadaanku. Mungkin karena saat ia pulang kerja Aku tidak ada di rumah.
Walaupun begitu tetap saja seharusnya Ia tak perlu marah dan mendiamkanku, ya walaupun dalam mode normal Kami pun tak pernah terlibat obrolan basa-basi. Mas Abi bisa bertanya baik-baik padaku dan bukan membanting ponsel, untung saja ponselnya tidak rusak.
basiAku pergi ke rumah Bunda pun setelah mendapat izin darinya, ah tidak, Aku hanya mengirim pesan tanpa menunggu balasan darinya. Lalu Aku tidak menjawab telpon darinya karena Aku sedang dalam perjalanan. Jadi Aku bingung salahku di mana.
"Susah amat itu muka." Kanaya, sahabatku satu-satunya mengambil tempat duduk di sampingku.
"Pusing Gue," jawabku lesu.
"Modelan kaya Lo emang bisa galau?" cibirnya.
Aku menatap Kanaya yang baru saja membalas sapaan dari salah satu mahasiswa tingkat dua. Tak heran lagi jika si primadona Kampus ini selalu mendapat perhatian dari para kaum adam. Kanaya memang cantik, dia juga piyawai membawa diri dalam pergaulan. Temannya banyak dan populer.
Berbeda dengan Aku yang hanya itu-itu saja temannya. Aku bukan orang yang pandai memulai lebih dulu. Kenalan dengan orang barupun tidak pernah ku lakukan. Aku lebih memilih diam jika tidak ditanya.
"Menurut Lo, cowok kalau marah diapain?" tanyaku.
"Cowok?" tanya Naya dengan nada tidak biasa, " Lo deket sama siapa? Kok nggak bilang sama Gue? Fakultas mana?" cercanya.
"Gue cuma tanya bukan berarti Gue lagi deket sama cowok," kilahku. Memang benar, Aku jarang sekali membicaran masalah lawan jenis. Bukan tidak tertarik, tapi bagiku itu bukan fokus utamaku. Sejak masuk kuliah Aku tak pernah dekat dengan laki-laki, bahkan Aku tidak pernah pacaran sejak dulu.
"Nggak mungkin cuma pertanyaan iseng, Gue kenal Lo dengan baik ya."
"Jawab aja deh, ribet amat Lo."
"Ye.... Ni anak songong amat," ucap Naya sembari mendorong pelan kepalaku.
"Lo kan banyak pengalaman sama cowok, pasti taukan ngadepin cowok yang lagi ngambek itu gimana," jelasku.
"Taulah," bangganya, "Lo nggak salah kalo tanya soal ini ke Gue,"
"Buruan."
"Kalo cowok Lo..."
"Bukan cowok Gue," potongku dengan kesal.
"Oke deh, kalo bukan cowok Lo ini lagi marah, Lo cipok aja ntar marahnya ilang."
"Asu," umpatku. Naya tertawa dengan keras melihatku kesal dengan tingkahnya.
"Beneran, cowok Gue kalo lagi marah Gue sosor ilang marahnya."
"Sesat Lo, nyesel Gue tanya sama orang kayak Lo."
Lagi-lagi Naya tertawa membuat beberapa orang di sekeliling Kami menatapnya heran.
"Marahnya karena apa?" tanya Naya setelah puas menertawakanku. "Lo yang salah apa gimana?" lanjutnya.
"Gue juga bingung," jawabku.
"Lo kan pinter masak. Bikin makanan yang dia suka terus minta maaf,"
***
Sesuai saran yang diberikan Naya, pulang kuliah Aku pergi ke rumah Mama Mertua. Misinya adalah mencari tau makanan apa yang disukai Mas Abi, sekalian makan siang sama Mama.Setelah menikah ini adalah kunjungan pertamaku sebagai menantu di rumah ini. Siang ini hanya ada Mama di rumah. Papa sedang pergi ke Solo dan Dinda masih ada kuliah.
"Apa kabar, Sayang?" tanya Mama saat Kami duduk bersisian di ruang tengah.
"Alhamdulillah baik, Mama gimana? Maaf ya Aini baru sempet ke sini jengukin Mama," ucapku.
Mama tersenyum, "Mama tau kalian sibuk. Kuliahmu juga sudah mulai lagi kan?" tanya beliau yang ku respon dengan anggukan kepala.
"Gimana hubungan Kalian? Abi baikkan sama Kamu?"
"Mas Abi baik kok, mah." Kecuali bicaranya yang sudah mirip dengan juri pencarian bakat, batinku.
"Abi itu kaku, bicaranya juga kadang bikit sakit hati. Kamu pasti kesulitan beradaptasi dengan sikapnya." Mama menepuk pundakku dengan pelan, "Yang sabar ya sayang, Kamu jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan Mama ya?"
"Iya Mah."
"Bagus. Ngomong-ngomong Kamu tadi ke sini sudah bilang sama Abi atau belum?" tanya beliau yang ku jawab dengan gelengan kepala, lagi.
"Sebenarnya Aini datang ke sini karena ada hal yang mau Anini tanyain ke Mama."
Kening Mama berkerut, "soal apa, Sayang?" tanya Beliau.
"Em... Mas Abi itu sukanya makanan apa, ma?" tanyaku, sumpah Aku malu.
"Ya Allah Ai, Kami ini lucu sekali," tawa Mama membuay malu ku kian bertambah. Aku yakin wajahku pasti semerah kepiting rebus.
"Kamu tau nggak, Mama kepingin banget Kamu jadi menantunya Mama. Alhamdulillah kesampaian. Baik-baik terus ya sama Abi," ucap beliau.
Aku meringis mendengar penuturan Mama, terus terang saja Aku merasa bingung harus menanggapinya seperti apa. Entah apa yang dilihat Mama dariku hingga beliau sangat menginginkan Aku sebagai menantunya.
"Abi nggak pernah rewel soal makanan. Dia selalu makan apa saja yang dikasihkan."
Ya memang, selama menikah Mas Abi selalu menghabiskan makan yang Aku masak untuknya. Tak pernah sekalipun Ia memprotes masakanku.
"Tapi Abi selalu meminta dibuatkan bolu pandan sama Mama," jelas beliau.
"Bolu pandan?" gumamku. Jujur Aku belum pernah membuat itu. Aku bisa memasak tapi tidak cukup pandai apa lagi makanan seperti kue, Aku jarang sekali membuatnya.
"Tenang, Mama ajarin buatnya," ucap beliu. Mungkin karena melihat wajahku yang tampak kebingungan, "Kita buat yang enak, supaya Abi kesemsem sama Kamu."
Astaga, memangnya bolu pandan bisa buat melet orang?
***
Aku menahan senyuman saat melihat Mas Abi beberapa kali melirik Bolu yang ku hidangkan di meja makan. Aku sengaja menaruhanya di sana untuk melihat bagaimana reaksi Mas Abi. Dan seperti yang Mama bilang, Mas Abi tertarik dengan Bolu buatanku. Dibantu Mama maksudnya.Begitu makan malamnya habis, Aku segera mendorong sepiring Bolu ke hadapannya. Dengan wajah datar seperti biasa, laki laki yang sekarang menjadi suamiku ini mengambil satu potong bolu pandan. Saat gigitan pertama alisnya naik sebelah membuat jantingku berdetak gugup.
Enak atau tidak ya? Suka atau tidak ya?
"Kamu yang buat?" tanyanya.
"Nggak enak ya?"
"Enak."
Senyumku terbit, tegang yang tadi kurasakan kini perlahan berkurang. Namun detak jantungku masih berdetak dengan cepat.
"Aku minta maaf."
"Untuk?"
Ha?
"Maaf untuk apa?"
Maaf untuk apa? Aku sendiri tak tahu salahku di mana, yang ku tahu dia marah karena Aku tidak ada di rumah saat Mas Abi pulang.
"Pergi nggak pamitan?"
"Untuk apa Kamu minta maaf kalau tidak tau salahnya di mana?"
Lah.
"Bolu itu Kamu buat untuk nyogok saya? Kamu tau nggak itu tindakan menyuap?"
Iki piye to.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat
ChickLitTakdir? Kita tak pernah tahu takdir apa yang akan kita jalani. Kita juga tak pernah tahu akhir seperti apa yang akan kita alami. Bagiku, Kamu adalah asing. Dan Bagimu, Aku adalah asing. Entah ini skenario Tuhan atau hanya lelucon alam. Namun ap...