Setelah Thion membersihkan diri, ia kembali pada niat sebelumnya, memastikan keadaan Dita kepada Andra.
Bukan mengirimkan pesan lebih dulu, tapi Thion langsung meneleponnya.
"Halo. Ada hal penting apa nih, sampe calling?"
Mendengar sapaan Andra terasa senang seperti tidak ada masalah, ia pun menjadi ragu untuk bertanya.
"Yon?.. jadi serius ada yang mau lo omongin ke gua?"
Thion gelagapan, entah bagaimana bisa sepupunya itu dapat mengetahui niatnya sebelum ia membuka mulut.
Tiba-tiba suara di seberang sana berubah saat dirinya masih terdiam ragu.
"Silakan aja, kalau emang ada hal penting yang mau lo omongin. Jangan kelamaan diem, yang ada gak kesampaian."
Thion terkesiap, menyahut dengan sedikit gugup dan mulai membicarakan yang harus ia bicarakan dengan sang kakak sepupu.
"Bang, lu tau gak, kalau Dita masih ngigau pas tidur?"
Sekarang berganti posisi, di seberang sana mendadak hening ketika Thion melontarkan pertanyaan tersebut.
"Bang?.. lu.. gak tau?"
"E-em.. gua kira.. dia udah sembuh total. Ternyata masih.."
Thion ikut sedih saat mendapat jawaban dari sang kakak terdengar lirih.
"Ya.. gua kira juga begitu.. tapi tadi setelah gua pindahin dia ke kamar, sebelum balik, dia ngigau lagi hal yang sama saat smp bang."
Helaan nafas berat Thion dapati.
"Bang.. Kali ini tolong bawa dia langsung ke psikiater aja ya? Gua takut makin--
"Tolong biarin gua bantu dia dengan cara gua sendiri dulu ya yon. Gua... gak cukup percaya sama mereka, meskipun mereka itu ahlinya."
Thion cukup heran dengan jalan pikiran kakak sepupunya. Memang setelah kejadian pahit mereka sampai sukses membuat Dita terus tidur dalam mengigau dan Andra dengan penuh rasa kasih sayang mencoba membantunya tuk melupakan peristiwa itu.
Berhasil memang namun, karena memang bukan dibantu sang ahli, maka hasilnya pun tidak bertahan lama. Dita kembali mengigau setelah beberapa tahun kemudian, lebih tepatnya saat Andra disibukkan kerjaan kantor, yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan Dita seorang diri.
Thion menghela nafas berat, "okay.. sorry bang, malam-malam gini gua malah kabarin hal yang mengkhawatirkan ke lu. Tapi bang, tenang aja, gua juga berusaha bantu dia di sini selagi lu masih nugas."
Kalimat akhir Thion sukses mengembalikan senyum Andra yang sempat hilang sebelumnya, "eum.. gak papa, justru gua bilang makasih sama lo. Karena ada lo, gua jadi tau, dia belum sepenuhnya sembuh dari trauma itu. Tolong jaga dia sebentar lagi, gua percayakan dia sama lo dulu saat ini."
Thion mengangguk dengan hati yang sedikit terpukul mendengar ucapan orang seberangnya, "pasti bang. Santai aja.. dia adek lu, berarti dia juga adek gua. Abang fokus aja sama kerjaan di sana, jangan terlalu buru-buru, yang ada gak selesai dengan baik."
"Heum,"
"Ya udah, gua tutup ya. Selamat malam bang, istirahat yang cukup juga bang. Jangan sakit, kalo sakit, kasian adek lu, harus sama gua beberapa hari lagi," pesan Thion diiringi terkekeh.
Andra ikut tertawa kecil saat dapat ledekan dari adik sepupunya, "jangan dong... Ingat, jangan minta psikiater sebelum gua bantu dia lebih dulu. Ya udah, malam yon."
Berakhirnya panggilan mereka, Thion kembali menghembus nafas berat, menyibakkan rambutnya yang basah dengan frustrasi.
"Keadaan Dita udah tertangani. Sekarang anak itu. Jangan sampai bang Andra tau..,"
KAMU SEDANG MEMBACA
WindLife
RandomMereka tidak menerimamu, mungkin aku juga akan begitu kalau saja tidak menaruh hatiku padamu. Sayangnya, hati ini sudah terlalu jatuh dan perlu perjuangan untuk keluar dari sana. • • • Kalau aku tidak bertemu dan jatuh kepadamu, mungkin semua ini t...