"Hale."
"Iya bro?"
"Kalo misal tiba-tiba gua tersulut emosi, lo bisa kendaliin gua kan?" Katanya selepas mereka asik berbincang membahas sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan kini tengah bersantai sambil menyesap kopi, di kafe kecil milik kakak dari pria tampan yang tak berhenti untuk menebar senyuman, Hale.
Sebenarnya dulu Hale itu panggilannya Arli tapi karena lama di luar negeri untuk belajar, jadilah diminta ganti nama panggilannya, katanya udah terbiasa dengan panggilan barunya itu. Cih, padahal nama dia dulu itu legen banget. Kenapa musti ganti coba? Biar gak diinget Pak Bagus kali ya? Karena dulu dia sering nyolong kolor anaknya?
Lupakan. Balik lagi ke masa kini.
"Kendaliin lo? Kedapetan lo pecahin barang aja gua suka telat, gimana kendaliin lo pas marah yon?" Celotehnya yang tak menganggap serius ucapan tiba-tiba sang teman.
Lantas pria yang terdapat lesung pipi itu berdecak sebal kembali menyesap kopinya setelah beberapa menit ia termenung di tempat, "gua serius."
Hale mengangguk, "duarius yon. Gua gak tau bakal bisa kendaliin lo pas marah atau enggak.. emang kenapa sih? Akhir-akhir ini kayanya hidup lo berat banget. Melebihi beratnya kerjaan lo jadi detektif tau ga."
"Lo, masih inget nggak, dulu pas gua diminta cari data tentang tante Novi, yang dikira untuk mati ternyata masih hidup?" Tanyanya menatap serius ke pria yang menjadi teman dekatnya sedari masa sekolah menengah pertama dulu.
Yang ditanya mengangguk dengan raut berubah serius, "kenapa? Apa dia tiba-tiba muncul di hadapan Bang Andra?"
Thion menggeleng, "bukan dia. Tapi anaknya. Anaknya muncul di kehidupan Dina, le."
Mendengar itu kedua matanya sontak membola, memandang wajah serius nan sedih Thion tak percaya, "serius lo?!"
Anggukan kepala ia berikan lagi, "gua bingung bilang ke Bang Andra nya gimana, le. Pas tau itu, gua takut dia bertindak yang enggak-enggak. Lo tau sendiri, selepas nyokap bokap nya ga ada di kehidupan mereka. Dulu ada yang bikin dia nangis aja, dia langsung tegur dan minta orang itu untuk jauhin Dina, dia itu sayang banget sama Dina, le. Apa dia juga akan melakukan hal yang sama? Atau malah sebaliknya..?" Pikirnya setelah sehari yang lalu melihat adik sepupunya bertemu dengan adik tiri dari Abangnya, sukses membuatnya tak bisa berhenti memikirkan hal yang belum tentu akan terjadi.
Bahkan ia hampir tidak bisa tidur karena itu. Kepalanya ia tundukkan dengan tangan menarik sebagian surainya cukup kencang. Sebagai penyalur rasa beban berat pikirannya yang ia tampung di kepala kecilnya.
Hale dengan penuh rasa empati, meraih bahu kiri sang teman, ia berikan elusan kecil guna membantu menenangkannya, "jangan pikirin yang belum tentu terjadi yon. Bagaimana pun juga mereka itu masih saudara, ga mungkin Bang Andra bakal melakukan hal nekat yang bisa aja buat dirinya rugi."
Thion menggeleng keras, kepalanya berusaha mengenyahkan pikiran itu, tapi tetap tidak bisa. Ia sangat mengkhawatirkan lainnya.
"Udah yon.., berhenti berpikir lebih, abisin lagi kopinya, terus balik ke kampus sono," ujar Hale lalu ia rapihkan gelas miliknya dan punya Thion, bangkit dari duduknya kemudian dibawanya kedua gelas kotor itu ke belakang.
Thion menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya memandang ke depan dengan tatapan sedikit membara. Kepalanya mengangguk mantap dan beberapa detik kemudian dia bangkit.
"Semoga cuma pikiran gua aja," gumamnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan kafe tersebut setelah berpamitan dengan adik dari owner pemilik cafe tersebut.

Dengan keputusan yang cukup matang, Dita terduduk gugup di kursi penumpang motor sport itu ketika melihat arah jalan yang ia datangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
WindLife
RandomMereka tidak menerimamu, mungkin aku juga akan begitu kalau saja tidak menaruh hatiku padamu. Sayangnya, hati ini sudah terlalu jatuh dan perlu perjuangan untuk keluar dari sana. • • • Kalau aku tidak bertemu dan jatuh kepadamu, mungkin semua ini t...