"Aku ingin merasakan bagaimana hangatnya pelukan seorang Papa. Apakah sehangat mentari ketika aku terbangun di pagi hari?" -Jungkook.
"Papa tidak seharusnya berkata sekasar itu kepada Jungkook. Seokjin heran sama Papa, kenapa ada orang tua setega Papa. Kenapa Papa begitu bencinya sama Jungkook sampai tega memperlakukan dia dengan semena-mena. Pantaskah Papa disebut sebagai orang tua?" Ucap Seokjin dengan nada geram.
"Kamu sudah berani mengatur Papa ya? Ini semua pasti gara-gara adikmu satu itu mengadu yang tidak-tidak. Padahal Papa ingin mendidik dia menjadi orang yang lebih baik. Cukup, Seokjin. Jangan biarkan adikmu itu mengaturmu lebih dalam lagi." Bentak sang Papa.
Perdebatan antara Papa dan Hyungnya terdengar jelas sampai di kamar Jungkook. Jungkook semakin merasa bersalah. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia berandai-andai jika tadi dirinya tidak memaksakan untuk membuat teh hangat, pasti kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Jungkook terus meredam tangisannya sembari memukul-mukul dadanya. Ia tahu jika Hyungnya sangat sayang kepadanya. Tapi di sisi lain, untuk apa ia hidup jika hanya menjadi beban untuk keduanya?
Dengan sisa tenaganya, Jungkook pun akhirnya berusaha beranjak menuju tempat tidurnya. Tak lupa ia mengunci pintu kamarnya dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Karena memang ini kali pertamanya ia mengunci pintu kamarnya, hanya karena ia tidak mau Hyungnya melihat keadaannya saat ini. Ia menatap dirinya di depan kaca pun terkejut, karena malam ini wajahnya terlihat lebih pucat dan matanya sangat bengkak. Bagi Jungkook, ia sudah terlalu banyak membuat Hyungnya khawatir. Ia tidak mau menambah beban Hyungnya menjadi lebih berat lagi.
Setelah Seokjin berdebat dengan Papanya yang keras kepala, akhirnya ia beranjak menuju kamarnya. Ia tahu bahwa adiknya butuh waktu untuk sendiri. Namun, tiba-tiba ia dihantui rasa gelisah. Pikirannya mendadak tertuju pada adiknya. Ia sangat takut bila adiknya berbuat yang tidak-tidak bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri. Bahwasannya, pasti suara teriakannya dan Papanya terdengar sampai kamar sang adik. Seokjin sangat tahu sifat Jungkook. Tidak suka mendengar keributan hanya karena membela Jungkook. Ya, adiknya memang sesabar itu. Walaupun sudah berkali-kali disakiti, ia tetap bisa tersenyum dengan manis seperti kelinci.
Karena memang Seokjin sangat amat ingin mengetahui keadaan sang adik. Akhirnya ia naik ke kamar Jungkook. Hendak langsung masuk namun, pintunya terkunci. Ia bertanya-tanya karena tidak biasanya sang adik mengunci pintunya bahkan saat sedang fokus belajar. Ia semakin khawatir, akhirnya mencoba mengetuk pintu kamar sang adik.
"Kookie. Sudah tidur? Kalau belum, bolehkah Hyung masuk? Kenapa pintunya dikunci?" Tanya Seokjin dengan lembut sembari mengetuk pintu kamar sang adik.
Nihil. Tidak ada jawaban atau terdengar pergerakan sekalipun. Ia semakin dilanda gelisah.
"Kookie. Buka pintunya. Hyung khawatir, Kook. Jangan berbuat yang tidak-tidak. Hyung mohon."
Masih belum ada jawaban.
"Kookie. Kalau masih gamau buka pintunya, Hyung dobrak sekarang juga. Kamu menjauh dari pintu, ya."
Dengan jantung yang berdebar akhirnya Seokjin memberanikan diri mendobrak pintu kamar sang adik. Ia sangat takut. Sangat takut kehilangan adik satu-satunya itu. Adik yang sangat ia sayangi dan ingin ia lindungi. Baginya, Jungkook adalah harta yang paling berharga dari Tuhan untuknya.
Setelah berhasil mendobrak pintu kamar sang adik, Seokjin buru-buru masuk ke dalam. Mendapati adiknya terbaring dengan nafas yang tersenggal ditambah tangan sang adik yang terus memukul dadanya sendiri. Hatinya nyeri. Hatinya sakit melihat adiknya seperti ini. Ia tidak tahu harus bagaimana. Dengan berani, Seokjin menghampiri sang adik, menghentikan pergerakan tangan sang adik yang terus menerus memukul dadanya sendiri.
"Jungkook, stop. Jangan kayak gini. Hyung gasuka kalau Kookie kaya gini." Ucap Seokjin dengan airmata yang mulai menetes.
"Lebih baik Kookie mati saja,Hyung. Kookie terlalu merepotkan Hyung. Kookie selalu jadi beban untuk Hyung dan Papa. Biarin Kookie mati Hyung. Mungkin jika Kookie mati, hidup Papa akan lebih tenang. Dan Hyung tidak akan terbebani lagi." Ucap Jungkook dengan nada parau dan nafas yang belum teratur.
"Stop bicara hal yang kaya gitu Kookie. Hyung sayang sama Kookie. Hyung ngga merasa terbebani sedikitpun. Dan Hyung gapernah merasa direpotin sama Kookie. Hyung mohon jangan kayak gini, Kook. Sadar Kook, jangan bilang kayak gitu lagi. Hyung gasuka." Ucap Seokjin sembari memegang kedua tangan sang adik supaya berhenti menyakiti dirinya sendiri.
Tak lama setelahnya, Seokjin pun memeluk sang adik. Membiarkan adiknya menangis. Karena mungkin itu bisa membuat sang adik lega. Ia bisa melihat keadaan kacau adiknya saat ini. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Wajahnya pucat karena nafasnya yang tak beraturan.
"Kookie, dengerin Hyung. Kookie gaboleh kaya tadi lagi ya? Siapa yang ajarin Kookie buat nyerah? Siapa yang bilang Kookie ngerepotin Hyung? Ngga ada kan? Kookie gapapa sekarang nangis aja, tapi sambil Hyung peluk Kookie ya? Jangan nangis sendirian. Hyung gamau kehilangan Kookie. Asal Kookie tau, Kookie itu berarti banget buat Hyung. Sekarang, nangis aja biar lega. Hyung temani Kookie malam ini. Sampai Kookie tidur. Besok kita berobat ke dokter lagi, ya. Minta solusi sama dokter." Ucap Seokjin sembari menepuk pundak sang adik yang masih bergetar.
"Tuhan, aku sangat bersyukur masih mempunyai Hyung sebaik Seokjin Hyung." Ucap Jungkook dalam hati.
Beberapa menit kemudian Jungkook pun tertidur di pelukan Hyungnya. Seokjin yang merasa pundaknya lebih berat pun akhirnya pelan-pelan membaringkan adiknya di tempat tidurnya. Tak lupa membalut tubuh sang adik dengan selimut supaya sang adik tidak merasa kedinginan.
"Hyung sayang Kookie. Sayang sekali. Tidur yang nyenyak ya,Kook." Ucap Seokjin sembari mencium kening sang adik.
Setelah dirasa sang adik tidur terlelap, Seokjin pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Melangkah dengan perlahan, dan menutup pintu kamar sang adik dengan sepelan mungkin. Kamar Seokjin berada di lantai satu, yang mengharuskan dirinya turun tangga seperti sekarang ini. Tak lupa, sebelum menuju ke kamarnya, ia menyempatkan diri ke dapur. Benar saja, adiknya hanya ingin berniat membuat teh hangat. Namun, nyatanya sang Papa selalu berlaku kejam terhadap adik satu-satunya itu.
Setibanya Seokjin di kamarnya, ia tidak langsung berbaring di tempat tidurnya. Namun, ia masih terbayang-bayang kondisi sang adik. Ia berpikir perihal nasib adiknya jika tadi ia tidak berniat naik ke kamar adiknya. Mungkin, Seokjin akan dihantui rasa bersalah karena gagal menjadi kakak yang baik untuk adiknya. Sekarang, ia akan selalu berjanji untuk melindungi adiknya bahkan dari Papanya sekalipun. Karena baginya, yang terpenting adalah kebahagiaan seutuhnya untuk adik tercintanya.
"Kuharap, akan selalu ada hari dimana aku bisa merasakan sedikit bahagia. Walaupun hanya satu hari saja."-Jungkook.
Hello xixixi.
Semoga, feelnya bisa sampai ke kalian yah!
Thank you buat yang udah ikutin FF Jinkook ini♡
Jangan lupa vommentnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST ONE DAY 🌼 [ JINKOOK ] - SLOW UP
FanfictionKebahagiaan itu apa? Bagaimana merasakannya? Apakah senikmat makanan yang berbahan pisang? Ayolah, aku ingin merasakan apa itu kebahagiaan. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya senyum tanpa rasa sakit dan bagaimana rasanya luka yang terobati. -Jun...