Ayana terlalu malas berangkat kerja. Tidak sepertinya biasanya karena ia tidak ingin melihat wajah Alfi. Apa Ayana terlalu kekanak-kanakan? Sepertinya memang begitu. Padahal apa yang Ayana alami pasti juga dialami oleh orang lain. Dunia kerja memang seperti itu.
Ayana menghela nafas panjang. Ia keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Perusahaan tidak membatasi pakaian karyawan asalkan sopan. Jadi Ayana memakai apa yang membuatnya nyaman dan tentu saja sopan.
"Cengeng," ledek Fajar yang juga keluar dari kamar. Aroma parfumnya sungguh tidak membuat Ayana nyaman.
"Mau ngajar atau mau tebar pesona?" balas Ayana dengan niat menyindir sang abang.
"Ngajar lah. Kamu kira aku dosen apaan?" Tampaknya Fajar masih kesal dengan tingkah Ayana semalam. Bahkan tadi saat subuh, Fajar masih diomeli oleh sang ibu. Ayah juga tidak menunggunya berangkat ke masjid bersama-sama.
Kekuatan anak bungsu memang luar biasa. Apalagi anak perempuan satu-satunya. Disenggol sedikit saja langsung menangis dan endingnya mengadu.
"Eh, abang dosen ya?"
"Ck. Pagi-pagi udah bikin kesal aja." Fajar melangkah lebih dulu menuju ke meja makan. Ayah sudah tidak ada karena sudah berangkat bekerja. Entah kenapa waktu sarapan Ayana dan sang abang sama. Biasanya mereka sarapan lebih dulu dibanding bersiap-siap agar bisa sarapan bersama Ayah dan Ibu.
"Ada apa ini?" tanya Ibu menghampiri anak-anak yang sudah duduk di meja makan.
Ayana dan Fajar sama-sama mengarahkan pandangan ke cahaya kehidupan mereka. "Nggak ada apa-apa, Bu." Ayana dan Fajar mengatakan secara bersamaan. Mereka langsung menatap satu sama lain seakan tidak percaya.
"Nggak usah ikut-ikut," keluh Ayana. Fajar menatapnya dengan malas. "Siapa juga yang ngikut-ngikut," balasnya.
"Ternyata belum selesai juga ya." Ibu geleng-geleng kepala.
"Dia yang mulai, Bu."
"Enak aja. Aku dari tadi diam-diam aja." Fajar membela diri.
"Udah udah. Sarapan dulu nanti kalian terlambat." Ibu langsung membuka tudung saji. Ada sarapan yang sudah terhidang. Rebus telur, sayur dan juga nasi.
Ayana dan Fajar sama-sama menghabiskan sarapan. Kalau masakan ibu, maka pasti sangat cocok di lidah mereka.
Setelah sarapan, mereka pamit untuk berangkat kerja. Ayana lebih dulu karena motornya sudah ada diluar. Pasti Ayah yang mengeluarkan motornya sebelum berangkat kerja. Sedangkan sang abang masih duduk sambil memasang sepatu.
Ayana menelusuri jalanan yang cukup ramai. Kalau diingat kembali, kenapa tadi malam Ayana menangis? Memalukan sekali. Dia menangis seperti anak kecil yang sangat kesakitan.
Pantas saja saat bangun tidur, Ayana merasa kepalanya sedikit berat. Bahkan matanya sedikit membengkak.
Sungguh luar biasa. Hari ini dia akan kembali melihat Alfi. Ayana harus segera membersihkan hati dari perasaan yang tidak tepat kepada Alfi. Apalagi kalau Alfi sudah menikah. Ayana tidak mau menyukai suami orang sekalipun tampan, kaya dan segala-galanya.
Pukul delapan kurang tiga menit Ayana berhasil sampai. Dia juga buru-buru melakukan absensi agar tidak termasuk ke dalam kategori karyawan terlambat. Bisa-bisa Ayana mendapat surat cinta karena sering terlambat. Gajinya juga bisa terpotong secara otomatis.
"Pagi, Mbak."
"Astagfirullah." Ayana kaget. Ternyata Zane ada dibelakangnya. Ayana sampai tidak sadar. Mungkin karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan.
"Maaf, Mbak." Zane langsung meminta maaf karena sudah tidak sengaja membuat sang senior kaget.
"Tidak apa-apa." Ayana tertawa kecil supaya Zane tidak merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Coincidence
Lãng mạnPerusahaan tempat Ayana bekerja kedatangan kepala divisi TI (Teknologi Informasi) yang baru. Hal yang mengejutkan adalah kepala divisi yang baru merupakan laki-laki yang pernah membuat Ayana jatuh hati saat berada bangku kuliah. Ayana kira takdir b...