Ayana keluar dari ruangan Alfi dengan wajah murung. Bahkan rekan kerja yang lain sudah bisa menduga apa yang Ayana alami di dalam ruangan kepala divisi. Rancangan yang sudah ia buat dengan sepenuh hati, sampai begadang beberapa hari tetap saja tidak disetujui. Ada beberapa bagian yang harus Ayana rubah berdasarkan penjelasan Alfi.
Seharusnya Ayana sedikit merasa lega karena Alfi memberikan beberapa referensi untuk Ayana amati. Tapi ia tidak merasa seperti itu. Mungkin karena Ayana tidak ingin dianggap oleh Alfi memiliki kemampuan dibawah standar. Dari banyaknya orang, kenapa harus Alfi?
Ayana menghela nafas panjang. Dia kembali ke meja kerja. Lusi dan rekan kerja yang lain tidak banyak bertanya. Mereka takut membuat Ayana menjadi tidak nyaman.
Ayana mengirim pesan kepada Zane agar datang ke meja kerjanya. Zane langsung menghampiri Ayana.
"Bagaimana, Mbak?"
Ayana menggeleng. "Ada yang harus diperbaiki."
"Padahal udah bagus banget lo." Zane mendadak tidak semangat. Entah harus bagaimana lagi agar rancangan yang mereka buat bisa sesuai dengan keinginan sang atasan. Kemampuan mereka sudah mencapai batasnya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga sudah digaji dan Alfi adalah kepala divisi mereka yang baru. Mau tidak mau, mereka harus mendapatkan persetujuan dari Alfi sebelum rancangan direalisasi dalam pemrograman.
Ayana menunjukkan beberapa hal yang harus diperbaiki kepada Zane. Dia mengatakan persis seperti yang dikatakan oleh Alfi.
"Ini mau diganti gimana lagi, Mbak?" tanya Zane.
"Warna iconnya bermasalah."
Zane menghela nafas panjang. Dia sudah menggunakan warna yang netral sehingga cocok dipadukan dengan warna lain. Tapi hal itu tidak berguna bagi kepala divisi mereka yang baru.
"Kita aduin aja sama Pak Rohman, Mbak." Zane memberi usul. Ayana langsung tertawa kecil. "Mana bisa begitu. Pak Rohman juga nggak bisa berbuat apa-apa," balas Ayana
Zane dan Ayana merasa tidak enak hati dengan anggota tim yang lain. Projek tidak bisa dilanjutkan pada tahap selanjutnya jika rancangan masih belum disetujui. Memang anggota tim yang lain tidak menyampaikan keluhan secara langsung, tapi Ayana merasa mereka pasti merasa sedikit kesal.
Sebuah pesan masuk. Ayana langsung melihat. Nomor baru dan ia langsung membuka isi pesan tersebut.
"Apa ini?" Ayana bermonolog sendiri. Isi pesan yang baru saja masuk adalah beberapa link. Ayana tidak bisa langsung asal klik saja. Bagaimana kalau link berisi malware? Bahaya sekali kalau sampai malware.
"Ada apa, Mbak?" Zane penasaran.
"Ini ada nomor baru yang kirim link."
"Jangan diklik, Mbak!"
"Enggak kok."
Zane ingin melihat dan Ayana langsung menunjukkan layar ponselnya. Zane mengerutkan kening.
"Kenapa?" tanya Ayana kebingungan.
"Ini bukannya foto Pak Alfi ya, Mbak?" Zane berbicara dengan nada pelan agar hanya Ayana yang dengar. Bahaya jika ia salah menebak.
"Mana?" Pupil mata Ayana membulat. Perasaan ia tidak menyimpan foto Alfi.
"Ini lo..." Alfi menunjukkan kepada Ayana.
Ayana terdiam membeku beberapa detik. Tadi nomor baru yang masuk tidak memiliki foto profil, tapi sekarang nomor baru tersebut sudah ada foto dari kepala divisi mereka. Tentu saja Ayana kaget. Apa benar sang atasan mengirimnya pesan secara pribadi?
"Coba cek di grup," suruh Zane. Mereka sudah punya grup khusus divisi TI. Semua atasan dan karyawan divisi TI masuk ke dalam grup tersebut.
Zane buru-buru mengecek. Benar saja, nomor yang baru saja mengirim pesan kepada Ayana adalah nomor baru dari kepala divisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Coincidence
RomancePerusahaan tempat Ayana bekerja kedatangan kepala divisi TI (Teknologi Informasi) yang baru. Hal yang mengejutkan adalah kepala divisi yang baru merupakan laki-laki yang pernah membuat Ayana jatuh hati saat berada bangku kuliah. Ayana kira takdir b...