"Muka kusam tidak terawat. Kantung mata terlihat jelas." Lusi memberikan jempol kepada Ayana. "Menggambarkan bagaimana kehidupan para pekerja sebenarnya," lanjut Lusi lagi.
Ayana membasuh wajahnya berkali-kali. Memang benar, wajahnya terlihat kusam. Bukan karena dia tidak pandai merawat diri. Tapi hal ini terjadi karena dua hari yang lalu sang abang yaitu Fajar membawa dirinya ke pantai. Tanpa ada perencanaan, bahkan Ayana tidak menyiapkan diri dengan baik. Dia tidak membawa sunscreen, dia juga tidak membawa masker. Topi dan kacamata saja dibeli di kawasan pantai. Sungguh sang abang tidak bisa ditebak sama sekali.
Niat Fajar memang baik yaitu membawa Ayana keluar untuk menikmati kehidupan selain bekerja. Tapi Ayana tidak ada persiapan. Bahkan Ayana berpikir ia akan dibawa ke mall saja atau berburu jajanan di festival.
"Kusam banget ya?" tanya Ayana. Kulitnya memang bukan tipikal kulit yang putih.
"Mau jawaban jujur atau bohong?"
Ayana langsung menutup mulut Lusi. "Nggak usah jawab," balasnya.
Lusi tertawa. "Dibawa santai aja."
Ayana mengeringkan wajahnya dengan tisu. Setelah itu ia kembali memakai masker. Selain wajah kusam, kantung matanya juga terlihat karena sudah begadang menyiapkan pekerjaan.
Ayana menghela nafas berkali-kali. Lusi sudah memperhatikan dari tadi. "Kenapa?" tanya Lusi.
"Nanti aku harus menghadap ke Pak Alfi." Ayana memasang wajah sedih.
"Hari ini ya?"
Ayana mengangguk. Ternyata sudah satu minggu berlalu sejak Ayana mendapat omelan dari sang kepala divisi. Lusi sampai tidak sadar. Pantas saja Ayana bekerja begitu gigih.
"Udah, nggak usah terlalu dipikirkan." Lusi berusaha memberi semangat kepada Ayana. "Aku yakin rancangan kali ini akan lolos," lanjut Lusi lagi.
Ayana sedikit tidak yakin. "Menurut kamu rancangan yang aku buat gimana?"
"Bagus kok. Warnanya juga nyaman dimata." Lusi mengatakan sesuai dengan penilaiannya sendiri.
"Gimana kalau ditolak lagi?" Ayana ingin menangis padahal dia belum menghadap sang ketua divisi.
"Kita kempesin ban mobilnya," usul Lusi.
Ayana langsung tertawa. "Emang kamu berani?"
Lusi menyengir. "Nggak sih," ungkapnya jujur.
Setelah berbincang sebentar, Ayana dan Lusi sama-sama keluar dari kamar mandi. Mereka melangkah menuju lift. Di tangan mereka sudah ada beberapa cup kopi milik mereka dan rekan kerja yang lain.
"Apa yang dibilang Mbak Tias memang nggak salah."
"Apaan?" Ayana mengerutkan dahinya. Mereka sedang menunggu pintu lift terbuka.
"Rasa kopinya lebih enak dari sebelumnya," jelas Ayana.
"Oh ya?" Ayana belum mencobanya. Ia ingin minum saat sudah duduk di meja kerja saja.
"Iya."
"Baris-"
Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan keluar dari dalam lift sehingga lift kosong. Ayana dan Lusi masuk ke dalamnya. Mereka ingin menutup pintu lift, tapi masih ada yang ingin masuk.
"Siang, Pak." Lusi buru-buru menyapa dengan ramah ketika melihat atasan masuk ke dalam lift.
"Ya, siang."
"Siang, Pak." Ayana juga menyapa. Sungguh jantungnya berdetak dengan cepat. Ayana bukan sedang jatuh cinta, mungkin dia terlalu takut.
"Hm."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Coincidence
RomancePerusahaan tempat Ayana bekerja kedatangan kepala divisi TI (Teknologi Informasi) yang baru. Hal yang mengejutkan adalah kepala divisi yang baru merupakan laki-laki yang pernah membuat Ayana jatuh hati saat berada bangku kuliah. Ayana kira takdir b...