Pengintaian

31 4 0
                                    

"Ternyata mereka hidup dengan baik," ujar Alfi bermonolog sendiri. Ia menatap lima orang yang sedang duduk di meja kerja masing-masing. Tatapan Alfi tidak bisa dikatakan biasa. Bahkan dari awal ia masuk, ia langsung fokus pada lima orang yang berfoto dengan kakaknya. Alfi memang belum mendapat jawaban yang pasti tentang kematian sang kakak. Jika memang sang kakak bunuh diri, maka apa penyebabnya? Meskipun dia dan sang kakak hidup tanpa sosok ibu, tapi sang Papa membesarkan mereka dengan kasih sayang.

Alfi ingin mencari tahu sendiri. Jika tidak, maka ia hidup dengan rasa bersalah yang sangat besar kepada kakaknya. Mungkin orang akan bertanya-tanya bahkan menyebutnya bodoh karena pindah kerja ditempat yang tidak lebih baik dari perusahaan sebelumnya. Tapi untuk sekarang, Alfi tidak ingin mencari pekerjaan dengan gaji serta fasilitas yang lebih baik.

Alfi sudah berusaha agar bisa masuk ke perusahaan kosmetik ini. Usahanya tidak sia-sia karena kesempatan itu datang sendiri.

Alfi memegang dua ponsel. Satu adalah ponsel versi lama, sedangkan satu lagi diproduksi 6 tahun yang lalu. Meskipun begitu, masih banyak yang menggunakannya karena sistem di dalam ponsel tersebut masih cocok digunakan di tahun ini.

Keduanya adalah ponsel milik sang kakak. Anehnya, satu ponsel sudah tidak ada data apapun. Semua peraturan dan sistem kembali ke pengaturan pabrik. Aneh demi keanehan Alfi temukan. Tampaknya ia begitu terlambat menyadarinya. Seharusnya 4 tahun yang lalu ia berani melihat semua barang-barang milik sang kakak. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu Alfi syok luar biasa. Bahkan hanya ada keinginan untuk mati dalam dirinya. Bertahan sampai sejauh ini sudah sangat bagus.

Alfi yang baik tidak ada lagi. Apalagi Alfi yang selalu ramah dengan orang lain, semua sudah menghilang. Hidupnya benar-benar seperti robot yang hanya menghabiskan waktu untuk bekerja saja. Bahkan ia sanggup bekerja 48 jam tanpa tidur. Kesehatan menurun membuat dia terpaksa tidur dengan obat tidur.

Alfi masih memperhatikan lima orang secara bergantian. Dia membuka sedikit tirai yang menutupi jendela kaca ruangannya. Tentu saja Alfi tidak akan melakukan secara terang-terangan.

"Sial," umpat Alfi saat melihat seseorang menutupi pandangannya. Tapi mata Alfi tidak ingin berpaling dari objek tersebut. Dia bahkan penasaran dan ingin mendengar apa yang mereka bicarakan.

Bahkan Alfi tidak sadar mengepalkan tangan.

"Makasih untuk susu kotak kemarin, Mas." Ayana sedikit canggung. Dia menyodorkan dua kaleng kopi kepada lawan bicaranya.

Gio menggaruk leher yang tidak gatal. "Saya tidak mengharapkan balasan," balasnya.

Ayana tersenyum. "Tidak apa-apa, Pak. Tolong jangan ditolak."

"Baiklah. Terima kasih." Gio tersenyum tipis. Entah kenapa menurut Ayana hal itu terlihat manis sekali. Beginilah kalau orang yang jarang tersenyum, sekali tersenyum terlihat sangat manis sekali.

"Sama-sama, Pak" Ayana ingin kembali ke meja kerjanya.

"Ayana." Gio memanggil sehingga langkah Ayana terhenti. Ayana bahkan membalikkan badannya karena tidak sopan berbicara dengan membelakangi lawan bicara.

"Iya, Pak. Kenapa?" Ayana sedikit takut kalau kopi yang ia berikan tidak disukai oleh Gio.

"Terima kasih sudah membantu saya."

"Membantu apa?" Ayana mengerutkan kening.

"Soal desain tim saya."

Ayana malu sendiri. "Tidak apa-apa, Pak. Saya senang bisa membantu Laksa dan yang lain." Tiga hari yang lalu, Ayana memang membantu tim 1 untuk mendesain sebuah poster.

"Kapan-kapan saya traktir."

Ayana langsung menggeleng. "Tidak usah, Pak."

Gio memasang wajah sedih. "Tenang saja, kita tidak berdua. Ada anggota tim saya yang akan ikut."

Not A CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang