Teriakan Ayana terdengar dari luar kamar. Tentu saja Fajar yang berada di meja makan langsung mendengar. "Kenapa lagi tu anak?" ujarnya bermonolog sendiri. Tapi Fajar tidak akan menghampiri Ayana, dia lebih memilih untuk kembali melanjutkan aktivitas memakan salad yang tertunda beberapa detik.
Ayana benar-benar kesal dan marah. Dia bukan marah kepada orang lain melainkan kepada dirinya sendiri. Kenapa dia dengan bodohnya bertanya apakah sang atasan mengenal dirinya atau tidak.
Masa lalu, jadi harusnya Ayana sudah cukup tahu. Kisah mereka sudah berakhir dan hanya Ayana yang bodoh disini. Dia begitu mudah percaya kepada laki-laki dengan wajah polos. Padahal pada kenyataannya laki-laki itu hanya mempermainkan perasaan anak orang.
Sia-sia Ayana habiskan waktu dengan menunggu laki-laki tidak bertanggung jawab. Kalau tahu begini, lebih baik Ayana mencari laki-laki lain. Ya, mungkin saja dia sudah menikah sekarang.
Ayana tertawa. Walaupun tidak menunggu Alfi, dia juga tidak akan menikah cepat. Soalnya tidak ada yang membuatnya tertarik sampai sejauh ini.
Setelah berteriak dan memukul-mukul bantal guling, perasaan Ayana jauh lebih baik. Dia keluar dari kamar karena lapar. Marah dan kesal juga butuh tenaga sehingga Ayana harus makan untuk mengisi perutnya.
"Ibu mana?" tanya Ayana kepada sang abang yang tengah asik menikmati salad.
"Ke rumah temannya sama Ayah."
Ayana mengangguk saja. "Itu salad, siapa yang buat?" Ayana penasaran dan tampaknya terlihat enak.
"Menurut kamu?" Bukannya menjawab, Fajar malah balik bertanya.
"Yang jelas bukan abang yang buat," jawab Ayana.
Fajar memberikan jari jempol kepada sang adik. Apa yang dikatakan Ayana tidak salah.
"Beli dimana?" tanya Ayana langsung. Dia mengambil pisang dan duduk di depan sang abang.
"Simpang empat Jalan Rambutan."
"Abang cuma beli satu ya?" Ayana sudah melihat ke dalam kulkas, tapi tidak ada salad sama sekali.
"Iya." Fajar menjawab sambil tersenyum lebar. Tentu saja Ayana kesal. Bisa-bisanya sang abang hanya membeli satu saja.
Apa Abangnya tidak punya uang? Mustahil, gaji sang abang cukup tinggi. Apalagi dia belum menikah jadi uangnya pasti tersisa banyak selain untuk kebutuhannya sendiri.
"Bisa-bisanya beli satu." Ayana sampai tidak tahu harus berkata apa-apa lagi.
"Kalau mau ya beli sendiri. Ini uangnya." Fajar mengeluarkan satu lembar uang berwarna biru.
Ayana juga punya uang. "Nggak usah," tolak Ayana. Moodnya semakin buruk saja. Apalagi kedua orang tuanya sedang tidak ada dirumah.
"Ciee ngambek." Fajar semangat sekali menggoda sang adik.
Ayana memberikan tatapan tajam. Setelah itu dia kembali masuk ke dalam kamar. Ayana membaringkan tubuh ke atas ranjang. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk.
Kenapa hidupnya jadi selucu ini? Begitu banyak perusahaan, kenapa Alfi masuk ke perusahaan dimana ia bekerja? Padahal masih banyak perusahaan yang lebih bagus. Bahkan harusnya Alfi lebih memilih untuk tetap bekerja di luar negeri karena gajinya juga lebih besar. Ayana menghela nafas panjang. Meskipun dia tidak ingin melihat wajah Alfi, tapi mereka tetap akan bisa bertemu. Ayana harus bisa bersikap biasa saja agar Alfi tidak memandang dia sebagai perempuan bodoh.
***
Berhubung Ayana sedang kesal dengan sang abang, maka dia memutuskan untuk berangkat bekerja lebih cepat. Apalagi kalau Ayana datang lebih cepat maka dia bisa menghindari macet. Sebenarnya Ibu dan Ayah menyuruh Ayana untuk sarapan lebih dulu, tapi Ayana menolak dan berkata akan sarapan di kantor saja. Tiba-tiba Ayana ingin makan bubur yang dijual tidak jauh dari tempatnya bekerja.
Pukul tujuh lewat lima belas menit, Ayana sampai di perusahaan. Sudah ada beberapa karyawan yang datang, bisa dihitung pakai jari. Ayana menghirup nafas dalam-dalam. Di Pagi hari masih segar dan itu membuat ia merasa lebih baik.
Ayana ke ruang divisi lebih dulu untuk meletakkan tas yang berisi laptop. Masih kosong, karena belum ada yang datang sama sekali. Ayana merentangkan tangan, lantas dia tertawa lebar seakan sedang menikmati kesendirian. Mumpung masih banyak waktu, dia bersenandung secara acak. Bahkan botol minuman ia jadikan sebagai mic dadakan. Ayana sudah seperti orang yang mencoba untuk menikmati hidup padahal tekanan hidupnya begitu banyak.
Saking asiknya menikmati waktu sendiri, Ayana sampai tidak sadar ada yang melihat dirinya.
"Eh mampus, ada orang gila." Teriak Ayana karena kaget melihat seorang berdiri sambil melipat tangan di atas dada. Ayana langsung bersembunyi di balik meja. Dia memastikan apa yang dia lihat apa benar. Kali saja matanya bermasalah. Ayana mengintip dan benar saja, ia melihat orang yang sangat dihindari. Kalau tahu begini, Ayana akan memilih bersantai di lobby saja.
"Saya akan pura-pura tidak lihat, jadi lanjutkan saja." Alfi berbicara dengan keren. Ayana langsung menampar pelan kedua pipinya. Ia tidak boleh kagum atau sejenisnya lagi.
Ayana berdiri tegak. "Maaf, Pak. Saya tidak tau kalau Bapak sudah datang." Ayana langsung memberi penjelasan.
"Lain kali, bernyanyilah di kamar mandi."
"Baik, Pak." Ayana sadar diri, bahwa suaranya tidak bagus. Namun melihat sang atasan menggunakan headset seharusnya ia tidak akan mendengarkan suara Ayana.
Alfi melangkah ke pantry sambil memegang dua cangkir gelas. Ayana diam-diam memperhatikan sang atasan. Bajunya masih sama seperti baju yang kemarin. Apa sang atasan tidak punya pakaian lain? Tidak mungkin, Ayana yakin uangnya banyak dan pasti bisa membeli banyak pakaian yang bagus.
"Apa Bapak lembur?" tanya Ayana yang ikutan ke pantry. Tapi dia hanya berdiri di pintu saja. Jarak mereka sangat jauh seperti orang yang sedang musuhan.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Saya hanya bertanya saja." Ayana juga bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa juga pakai melangkah ke pantry segala. Harusnya Ayana tidak peduli sebagaimana keinginannya saat di rumah.
"Apa Bapak ingin kopi? Jika ia, maka biar saya yang membuatnya." Ayana melihat sang atasa memasukkan biji kopi ke mesinnya. Sebagai bawahan, Ayana tentu saja harus mencari muka. Kali saja dia bisa naik jabatan beberapa tahun ke depan.
Alfi memberikan isyarat dengan tangan seakan-akan menyuruh Ayana untuk tidak mendekat ke arahnya.
"Tidak perlu," tolaknya.
"Maaf, Pak. Sepertinya ada yang harus saya klarifikasi." Ayana tidak ingin Alfi menganggapnya masih memiliki perasaan atau masih menunggu dirinya.
"Katakan saja."
"Saya tidak lagi menyukai Bapak, jadi Bapak tidak perlu khawatir." Ayana mengatakan dengan berani.
"Oh."
Rasanya Ayana ingin memukul sang atasan. Bisa-bisanya responnya seperti itu.
"Saya bersungguh-sungguh." Ayana kembali mengatakan.
Keheningan terjadi beberapa saat. Kopi juga sudah siap dibuat. Alfi memegang cangkir dan meninggalkan area pantry. "Saya tidak yakin," ujar Alfi saat melewati Ayana.
Ayana mengerutkan kening. "Tidak yakin bagaimana, Pak?"
"Jika kamu tidak menyukai saya lagi, maka berbicaralah hanya tentang pekerjaan. Kalau kamu masih seperti ini, saya menganggap bahwa kamu masih menyukai saya."
Ayana termangu saking tidak percayanya. Memang Alfi terlihat jauh lebih dewasa, lebih mempesona tapi Ayana juga tidak bodoh. "Sok ganteng, nggak laku baru tau rasa," gerutu Ayana dengan suara pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Coincidence
RomancePerusahaan tempat Ayana bekerja kedatangan kepala divisi TI (Teknologi Informasi) yang baru. Hal yang mengejutkan adalah kepala divisi yang baru merupakan laki-laki yang pernah membuat Ayana jatuh hati saat berada bangku kuliah. Ayana kira takdir b...