"Kamu sama Pak Alfi ada masalah apa, sih?" tanya Lusi penasaran. Beberapa hari ini Lusi memperhatikan Ayana yang begitu menghindar. Bahkan Ayana menatap Alfi dengan tatapan tidak biasa. Bukan tatapan kekaguman melainkan tatapan penuh permusuhan. Awalnya Lusi tidak berani bertanya, mungkin hanya perasaannya saja. Tapi lama-kelamaan ia tidak bisa membendung rasa penasaran yang sudah membludak.
Ayana yang sedang menikmati makan siang langsung berhenti mengunyah makanan. Moodnya buruk dalam hitungan detik. Apalagi dia paling tidak suka membahas atau menyinggung sol Alfi. Ayana sudah tidak peduli meski seluruh karyawan perempuan di perusahaan mengagumi ketampanan dan pesona nya. Bagi Ayana, pesona Alfi hanya berguna untuk menutupi kebusukan nya.
"Nggak ada apa-apa." Ayana berusaha menjawab dengan santai. Dia juga tidak mengatakan apa yang terjadi antara dirinya dan Alfi dimasa lalu. Terlalu memalukan karena Ayana terlihat bodoh. "Emang kenapa?" tanya lagi.
"Aneh aja, sih. Kamu kayak menghindar dari Pak Alfi. Apalagi kalau natap Pak Alfi, kayak orang punya dendam pribadi."
Ayana tertawa. Ternyata apa yang sedang ia lakukan terlihat jelas.Padahal Ayana sudah berusaha untuk terlihat biasa saja. Tapi nyatanya Lusi cukup peka.
"Mana mungkin. Hanya perasaan kamu saja. Apalagi Pak Alfi baru sebentar dari atasan kita. Mau dendam soal apa?" Ayana tersenyum untuk menutupi permasalahan dia dan Alfi. Sebenarnya bukan masalah melainkan hanya sebuah bumbu pahit dalam kehidupan.
"Benar juga sih. Tapi-" Lusi berhenti berbicara sejenak. Dia memasukkan roti ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan-lahan.
"Tapi apa?"
"Sebentar." Lusi menyuruh Ayana menunggu karena dia ingin menguyah rotinya sebentar. Setelah itu dia melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda. "Kata Mbak Laras, Pak Alfi kuliah S1 nya di kampus X."
"Oh ya?" Ayana pura-pura kaget.
"Iya. Apa kamu nggak pernah tau tentang Pak Alfi selama kuliah?"
"Coba aku ingat-ingat dulu."
"Kalian satu jurusan lo." Lusi kembali berucap. Dia begitu mudah mendapat informasi tentang Alfi. Ya mau bagaimana lagi. Di perusahaan ini ada beberapa karyawan yang berasal dari kampus yang sama dengan Ayana walaupun beda jurusan.
Ayana mengerutkan kening. Dia malas untuk mengakuinya tetapi juga tidak ingin bohong.
"Silvi anak divisi keuangan aja tau tentang Pak Alfi. Padahal dia beda jurusan sama beda angkatan."
Ayana menghela nafas panjang. "Maybe Silvi aktif di organisasi atau kegiatan kampus makanya tau," balas Ayana.
"Bisa jadi, sih." Lusi mengangguk kecil. Dia lanjut memakan roti begitupun dengan Ayana. Ayana sedikit lega karena Lusi tidak melanjutkan pembahasan tentang Alfi. Tapi itu hanya terjadi beberapa menit saja. Lusi kembali bertanya, "apa kamu emang nggak tau tentang Pak Alfi?"
"Pak Alfi tu," ujar Ayana sambil mengarahkan tatapan ke objek yang ia maksud. Lusi langsung melihat, benar saja ada Pak Alfi yang juga makan siang di kantin perusahaan.
"Udah ganteng, ramah lagi." Lusi tersenyum sendiri melihat Alfi yang sedang membalas sapaan beberapa karyawan.
Mendengar perkataan Lusi, rasanya Ayana mau muntah. Mereka tidak tahu saja mulut tajam Alfi serta sifat buruk Alfi. Berhubung Ayana baik, dia tidak menjelek-jelekan Alfi. Dia akan menganggap Alfi sebagai makhluk tidak kasat mata.
Ayana makan dengan buru-buru. Dia malas satu ruangan dengan Alfi walaupun di kantin sekalipun.
"Aku udah selesai." Ayana meneguk air putih sampai habis. Lusi tentu saja kaget. Padahal tadi, isi piring Ayana masih ada setengahnya sekarang sudah habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Coincidence
RomancePerusahaan tempat Ayana bekerja kedatangan kepala divisi TI (Teknologi Informasi) yang baru. Hal yang mengejutkan adalah kepala divisi yang baru merupakan laki-laki yang pernah membuat Ayana jatuh hati saat berada bangku kuliah. Ayana kira takdir b...