Tangan yang saling menggenggam di tiap malam adalah sebuah kebiasaan bagi Dipta dan Jumantara. Seolah, hanya dengan begitu mereka dapat rasakan nyenyak dan mimpi indah.
Jumantara mulai rasakan banyak sesal karena malam ini adalah terakhir kalinya kebiasaan tersebut akan berjalan. Setelah ini, ia pergi, dan entah apa yang terjadi pada Naradipta, ia terlalu takut dan pengecut untuk sekedar membayangkan.
Sejak malam dimulai, ia tak sedikitpun merasa kantuk. Ia hanya diam memperhatikan sang kekasih yang terlelap, menjaga wajah damai itu untuk terakhir kalinya.
Ia melirik ke jam dinding yang tiap detak jarumnya mulai ia takuti. Yang semakin berjalan, semakin mendesaknya untuk melepaskan diri dari sana. Keringat dingin pun sudah menguasai tubuhnya sejak berjam-jam lalu.
Lima menit lagi.
Ia sudah tak bisa kemana-mana. Sudah tak bisa apa-apa, selain kemudian mendaratkan kecupan sehalus kapas di dahi Naradipta tersayangnya.
Tidak mau, tidak mau lepas. Tidak mau berakhir. Tidak mau pergi.
Namun realita terus menghantui, membuatnya melepas tak ikhlas kecupan manis nan menyedihkan itu.
Derap langkah dari lorong luar sel seolah menjadi mimpi buruk paling nyata, hingga pintu sel dibuka perlahan, hanya decitan begitu samar yang terdengar.
Jumantara tidak perlu perintah, karena itu hanya akan menimbulkan atensi dari orang-orang yang ada di sini, lalu kemudian yang terjadi, ia hanya akan ditangisi. Jumantara tak mau.
Maka, ia bergegas bangkit tanpa kata. Ia hirup dalam-dalam tempat tinggal yang pernah beri ia dunia baru, juga datangkan Naradipta dalam hidupnya. Tempat yang menjadi penghabisan usianya, yang tak akan pernah dilupa.
Ia menyerahkan tangannya untuk diborgol. Lalu pintu sel ditutup.
Pagi itu, pukul empat dini hari. Jumantara resmi tinggalkan jeruji besi, menuju eksekusi akhir yang sudah menanti.
Maka, selamat tinggal bagi dunia Jumantara yang beri lelaki itu banyak pelajaran. Juga bagi Naradipta, tempat terakhir kali hatinya berlabuh dan temukan cinta.
Tubagus Jumantara, pamit.
—
Silau mentari selalu jadi alarm paling ampuh bagi Dipta. Seperti biasa, tiap pagi ia selalu bangun paling terakhir.
Ia bangkit dari tidurnya, masih setengah memejam. Hari baru, dengan ia yang baru bangun sedangkan mereka sudah memulai hari. Ada Pak Mono, Pak Yos, Pak Zen, Pak Tanu, lalu—
Tunggu.
Mengapa ada yang kurang? Dan mengapa bapak-bapak di selnya itu kini saling diam? Bukankah pagi hari selalu mereka awali dengan cekcok kecil?
Namun akhirnya, Dipta menyadari sesuatu yang kurang itu. Benar, ada hal penting yang hilang.
Tangannya meraba sisi lantai sebelahnya. Dingin, seolah empunya tidak menempati tempat itu untuk beberapa lama. Dingin, pula membanjiri tubuhnya seolah mengatakan, tak ada lagi yang akan merengkuhnya.
Matanya berkaca-kaca, kemudian merangkak gesit menuju Pak Yos berada. Napasnya memberat, meminta penjelasan lewat tatap yang kemudian dibalas Pak Yos dengan gelengan lirih.
Dipta kemudian melakukan hal yang sama pada Pak Zen, ia juga hanya memberikan senyum sendu.
"Pak Tanu, Pak— lo pasti tau kan, pacar gua dimana? Oh! Apa lu pukulin lagi? Iya?!"
Hening.
"Mas Ju! Mas Ju! Ah, udah jam mandi apa? Tapi kok gue nggak dibangunin sih anjir kalo mandi, anj— Mas Ju!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Prison | NOMIN✅
Fiksi Penggemar[END] "Kita ini beda. Kita tau kapan akhir bakal datang pada kita. Jadi, dari pada stress, banyak pikiran, mending kita cinta-cintaan aja. Mas cinta kamu, kamu juga cinta Mas. Gausah mikirin tabu, kita ada di sini juga udah dilabeli sebagai manusia...