Jadwal olahraga narapidana adalah waktu terbaik untuk melepas stress, setidaknya untuk sembilan puluh menit lamanya.
Dipta sudah lemas akibat berlari mengitari lapangan dan memilih untuk duduk di tanah, sedangkan Jumantara melanjutkan kegiatannya dengan memainkan hula hoop.
Dalam diamnya, Dipta kemudian terfokus pada pemandangan di seberang posisinya. Mungkin ia memang sudah terbiasa melihat ini, kedua lelaki yang tak lagi muda duduk berdua dan saling menatap penuh rasa. Pun melihat baju tahanannya, Dipta diam-diam bernapas lega. Sama-sama biru, bukan sama seperti yang lalu. Itu berarti, entah seberapa lama mereka terkurung di sini, ada saatnya nanti untuk mereka menyapa dunia kembali.
Lamunannya membuat Dipta tak sadar bahwa Jumantara sudah mengambil duduk di sampingnya.
"Liat apa?" Tanya lelaki itu.
"Hm, nggak. Eh Mas Ju," Jumantara balas dengan raut tanya.
"Gua belum tau deh, apa pendapat lu soal penyuka sesama jenis. Lu dulu cuma bilang itu hal biasa, dan gua tau lu belum pernah jalin hubungan kayak gitu. Tapi, lu sendiri pernah kepikiran nggak?"
"Hmm, iya."
"Iya apa? Yang jelas dong, anjir!"
"Iya, pernah kepikiran."
"Terus gimana?"
"Pertama kali gue lihat, gue maklumi dan nggak masalah sama itu. Seiring ada di sini, gue juga banyak ketemu mereka, and all is fine. Mereka bahagia, maka gue tau, dibalik pandangan orang yang mencela hal itu, seenggaknya itu bikin mereka seneng hanya dengan satu sama lain."
"Ooow. Hehe, ah suka deh gue ngomong hal-hal kek gini sama lu. Lu jawabnya kayak Najwa Shihab soalnya,"
Jumantara menggulir bola matanya malas.
"Dannnnn... Lu sendiri? Pernah ngerasa suka sama sesama jenis nggak?"
"Pernah."
"Oh yaaaaa??? Kapan?"
"Sekarang."
"Hah? Sekarang?"
"Ya,"
"Sama.... Siapa, anjir?" Tanya Dipta masih tak percaya.
Sedang Jumantara masih setia menunduk memainkan tanah kasar di bawahnya dengan rerantingan kecil.
"Lo pernah liat, gue selalu senyum buat satu orang di sini?"
Dipta bergeming, tak menjawab karena tak tahu.
"Pernah, liat gue kasih aksi-aksi yang cuma gue lakuin buat seseorang itu?"
"Pernah, liat gue tatap dia sampe rasanya gamau lepas? Atau sekedar marah karena dia deket sama orang lain?"
Jumantara beralih tatap si pemuda yang masih bergeming itu, kemudian terkekeh dan usak surainya gemas.
"It is you, Nara.
—Dan gue tau, lu juga rasain hal yang sama. Gue sejak kemarin tau kalau perilaku kita satu sama lain udah diselipi rasa yang lebih. Dan gue tau lu orangnya nggak sabaran, butuh sesuatu yang jelas, makanya lu pancing pembicaraan ini. Makasih, ya? Maaf kalau gue nggak pinter ngomong duluan tapi emang gue bingung harus dari mana."
Melihat pemuda di hadapannya yang masih membisu bodoh, Jumantara pun cubit gemas pipi lembutnya.
"Jangan plonga-plongo kayak anak ilang, nanti diculik orang beneran soalnya gemes. Ayo, jam olahraga udah abis."
Jumantara bangkit, tertawa miring karena hingga detik ini, Dipta masih tak merespon sepatah kata pun. Ia sempat mengulurkan tangan pada Dipta, namun karena pemuda itu masih diambang nyawa, ia pun berjalan mendahului.
Butuh sekian sekon agar nyawa, akal dan pikiran Dipta kembali terhubung. Ia kebingungan hingga menangkap punggung tegap Jumantara yang sudah berjalan menjauh, lalu buru-buru bangkit.
"WOY MAS JU!!! JANGAN TINGGALIN GUEEE, WOY NGGAK BOLEH PERGI GITU AJA LU ABIS BIKIN GUE NGGAK WARAS!!"
—
"Pacaran ya lu berdua?"
Itu pertanyaan tiba-tiba dari Pak Tanu yang menatap curiga ke arah Jumantara dan Dipta. Bagaimana tidak? Kedua pemuda itu sedang senyum-senyum bahkan tertawa berdua tanpa sebab, seolah membangun dunia sendiri yang isinya hanya mereka.
"OH IYA!!" Seruan justru jadi balasan dari Dipta, begitu kencang hingga seisi sel memandang aneh ke arahnya yang sudah bangkit berdiri.
"Ah Mas Juuu, itu tadi cuma confess anjir, kita belum pacaran. Ayo! Tembak gue sekarang!" Perintahnya.
Bapak-bapak yang ada di sana sontak memijat kening bersama, tak habis pikir dengan tingkah laku pemuda ini.
"Bujuh dah, kagak ngarti gua ama anak muda sekarang, ada-ada aja. Udah atur aja lah, Gus Bagus, lu jadiin pacar aja ni bocah, kagak bisa diem kayaknya anaknya kalo belum jadi pacar lu,"
Jumantara terkekeh kecil menanggapinya, kemudian menarik lengan Dipta supaya lelaki itu bersandar sempurna pada bahunya.
"Iya, sini. Jadi pacar Mas, ya."
Bukan pertanyaan, bukan pula permintaan. Hanya pernyataan singkat karena Jumantara sesederhana itu dan cukup dengan tahu perasaan masing-masing.
Yang demikian itu, sukses membuat Dipta bergerak brutal seperti cacing kepanasan di rengkuhan pacarnya.
"Anjingggg sengaja ni laki bikin gua stress."
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Prison | NOMIN✅
Fanfic[END] "Kita ini beda. Kita tau kapan akhir bakal datang pada kita. Jadi, dari pada stress, banyak pikiran, mending kita cinta-cintaan aja. Mas cinta kamu, kamu juga cinta Mas. Gausah mikirin tabu, kita ada di sini juga udah dilabeli sebagai manusia...