Baik Jumantara maupun Dipta bukan sosok yang religius, namun mereka sama-sama percaya Tuhan dan dengan senang hati mengikuti kegiatan kebaktian secara rutin. Khusus hari ini, acara kebaktian berakhir lebih cepat karena Khatib memiliki acara lain. Hingga lah beberapa tahanan mendapat waktu bebas beberapa saat untuk berada di sekitar area peribadatan. Sebagian besar tahanan memilih keluar dan menghirup udara luar, hingga ruang kebaktian sepi dan akhirnya menyisakan Dipta dan Jumantara yang duduk bersisian.
Hanya ada diam, belum ada sepatah kata hingga beberapa saat. Pasang mata keduanya menuju ke depan, tempat mimbar Khatib berada yang dinding-dindingnya dihiasi simbol-simbol ketuhanan.
"Nikah di depan sana kayaknya seru," celetuk Dipta.
Jumantara tersenyum miring, "Iya. Harusnya tadi kita minta buat dinikahkan dulu,"
"Yeee bisa digampleng pake kitab dah, kita. Jangan aneh-aneh, Mas Ju."
Diam lagi. Dan dalam diam itu, Jumantara mendekatkan jemarinya lalu meraih sebelah tangan Dipta untuk digenggam. Posisi itu bertahan hingga beberapa saat lamanya.
Tak ada yang tahu isi hati keduanya. Entah diam yang berlama itu berisi hati yang meminta maaf, memohon ampunan, atau untaian doa permohonan belaka. Berkecamuklah segala emosi dan rasa dalam hati di hadapan Tuhan mereka. Karena keduanya sejatinya adalah lelaki patah yang cuma butuh arah, walau sudah tau benar dimana akhir akan menjemput mereka segera.
Namun di hadapan Tuhannya pula, kedua lelaki muda itu begitu berani saling menggenggam. Mereka mengaku, mengaku tak pantas, pun tabu, namun mereka benar-benar butuh satu sama lain. Jaminannya adalah akhir mereka yang sudah dekat, dengan begitu, akhir pula bagi keduanya.
Naradipta dan Jumantara mungkin tidak tahu diri, namun mereka ingin rasakan bahagianya asmara untuk terakhir kali. Tahu benar mereka adalah salah, namun segala konsekuensi akan mereka terima. Pun, orang bilang mereka sudah terlanjur menjadi pendosa berat, bukan? Maka biarlah, biar hukuman Tuhan nantinya sekaligus membinasakan mereka. Karena manisnya dosa yang dicicipi sekarang seakan menjadi bayaran semu dari segala penderitaan yang telah dilalui.
Jumantara kemudian bawa tangan Dipta untuk dikecup sedikit lama, sembari didoakan diam-diam lelaki yang ia sayang ini. Dirasa selesai, ia jauhkan perlahan, namun tak mau melepas genggaman tersebut.
Ia ajak kemudian Dipta untuk bangkit, karena rasanya mereka sudah harus kembali keluar. Meninggalkan ruang kebaktian, Dipta ikuti langkah Jumantara yang tanpa ragu. Keduanya tak mau lepas, tautan jemari yang makin lama makin erat itu seolah tunjukkan beraninya mereka yang sudah melangkah sejauh ini untuk terus berjalan bersama.
—
Di sel, selesai dari mandi, Jumantara dipanggil oleh sipir yang tumben sekali datang bersama seorang petugas kepolisian. Ia asal terima sebuah surat yang diberikan padanya, hingga ujaran petugas polisi itu menghentikan pergerakannya.
"77013, tanggal eksekusi sudah keluar. Silahkan dibaca selengkapnya di dalam surat itu, Anda diharap mengikuti prosedur yang berlaku."
Atau mungkin, waktu baginya memang sesingkat itu. Akhir sudah berada di tangannya, dan ia tak dapat kemana-mana lagi. Sekalipun ia ingin kabur, tentunya bersama Naradipta berdua, menjauh dari apa pun yang memisahkan mereka.
Karena Jumantara baru sadar, bahwa rasanya memang sudah begitu jatuh pada pemuda manis itu. Hingga ia takut, tanpa genggaman tangannya tiap sang kasih terlelap, nantinya ia akan dikelilingi mimpi buruk. Jika presensinya tak di sini lagi, maka senyuman milik Naradipta akan menghilang. Jumantara, benar-benar setakut itu untuk pergi lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Prison | NOMIN✅
Fanfic[END] "Kita ini beda. Kita tau kapan akhir bakal datang pada kita. Jadi, dari pada stress, banyak pikiran, mending kita cinta-cintaan aja. Mas cinta kamu, kamu juga cinta Mas. Gausah mikirin tabu, kita ada di sini juga udah dilabeli sebagai manusia...