Special Bonus; Dua Laksana dan Langit Bergemintang.

7.6K 750 74
                                    

In a beautiful night, when the two of them still holding each other.

Aku sudah pernah bilang, 'kan? Tentang bagaimana ruang di balik jeruji besi ini simpan kisah sedalam-dalamnya milik dua adam yang dengan bangga mengatasnamakan; cinta.

Hari ini melelahkan. Keenam pria penghuni sel tersebut pun tak hentinya menggaungkan keluhan, lelah dan sakit semua badan mereka.

Menuju hari jadi Bhayangkara yang tinggal menghitung hari, kondisi rutan dipaksa untuk bersih, teratur dan rapi. Tentunya para narapidana pun diminta ikut andil dalam hal ini.

"Polisi-polisi kayak babi! Enak-enak dah tuh, mereka lesehan makan gorengan sementara kita bersihin sampah-sampah mereka!" Geram Pak Tanu.

"Besok kita bales. Area parkiran juga bakal dibersihin sama narapidana, pastiin kita kesitu. Langsung kita kempesin bannya satu-satu." Dan—oh, ini Pak Yos. Benar, Pak Yos dengan wibawa dan kesabaran hati yang berlapis-lapis iman dan taqwanya pada Tuhan Yang Maha Esa itu, nyatanya ikut geram bukan main setelah diperbabukan oleh para kepolisian tukang malas.

"Gua bawa obeng, gua copot bannya." Sahut Pak Tanu.

"Saya mau satu, Nu. Mau saya copotin spion mobil mereka," timpal Pak Zen.

"Biar gua pesen cat semprot. Kita coret-coret tu mobil hasil makan uang rakyat." Celetuk Pak Mono

"Ih, Dipta ikut!" Dan kini, si paling muda di ruangan tersebut turut ambil bagian, tak mau kalah.

"Mau coretin apa emangnya?" Dan itu sang kasihnya, yang baru tertarik ikut pembicaraan kala Nara-nya bersemangat menimpali.

"Mau coretin tulisan besar-besar, kontol."

Sontak yang lain tergelak, lain dengan Jumantara yang geleng-geleng tak habis pikir.

Menyudahi rencana abal-abal para kriminal itu, nyatanya tubuh mereka terlampau lelah untuk sekedar berbincang lebih banyak lagi. Maka digelar matras tidur lebih awal, dan para bapak-bapak itu pun bergegas lelap dalam tidurnya.

Lain lagi dengan dua pemuda yang pilih untuk berbeda. Kini, tempat favorit Pak Yos yang biasa beliau gunakan untuk sembahyang, berdoa komat-kamit dengan tasbihnya, atau sekedar berdiam diri menatap langit dari balik ventilasi itu dikuasai keduanya.

Mereka lantas mengerti mengapa Pak Yos begitu menyukai tempat ini. Karena hanya dengan ventilasi berukuran 30 x 30 cm itu, pemandangan langit yang dapat terlihat seolah hantarkan tiap-tiap yang memandangnya turut rasakan sedikit kebebasan.

Dipta mengkhayal. Mungkin bila ia disini kala waktu sore, akan terlihat pasukan burung yang kebetulan lewat dalam perjalannya menjelajah angkasa. Ia jadi tahu, bahwa suasana dunia sedang cerah dan bagi mereka-mereka yang bebas di luar sana, segala aktivitasnya lancar dan tak terhambat.

Pun ketika hari beranjak malam seperti ini. Mata Dipta berbinar hingga tak sanggup sembunyikan rasa kagumnya kala melihat gemerlap bintang yang membentang menghiasi cakrawala. Ini—adalah satu dari beberapa pengalaman Dipta yang dapat dihitung jari untuk sekedar menatap kagum pada persembahan langit maha indah tersebut.

Karena dalam malamnya—baik dulu maupun sekarang, sama saja. Terkurung. Seolah tak mendapat tiket masuk untuk menonton persembahan gemintang ini sebebas-bebasnya.

"Buku dongengnya enggak Nara baca?"

Dipta tersadar dari lamunannya dan menyadari bahwa buku kedatangannya tersebut memang sedari tadi nyaman bergeletak di dadanya, tanpa berniat ia baca seperti biasanya.

"Hm.. Nara capek banget, jadi males baca..." Ujarnya pelan.

Jumantara terkekeh, kemudian beri usapan halus di dahi hingga surai kasihnya. Memang, memang posisi mereka ini begitu nyaman agaknya—utamanya bagi Dipta. Ia dengan nyaman bergelung, menyandarkan kepala pada dada bidang Jumantara yang luar biasa lapangnya. "Buset Mas, ini dada apa lapangan bola kok luas banget?" Katanya kala pertama kali merebahkan diri di sana.

Behind The Prison | NOMIN✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang