Hari ini, gudang meubel menjadi cukup sibuk setelah Jumantara mengkonfirmasi untuk mundur dari jabatannya dan mulai menjadi pegawai biasa. Sipir penjaga cukup pusing karena sulit menemukan tahanan dengan kinerja secakap dan selugas Jumantara di sini.
Ada banyak protes terkait Jumantara yang tiba-tiba mundur, namun satu alasan yang dapat diterima ialah, permintaan pada gudang yang mulai meningkat menyebabkan ia kewalahan di posisinya yang asli, padahal gudang membutuhkan lebih banyak bahan baku yang sudah digergaji. Jadi, daripada bergerak sebagai QC yang hanya mengecek barang, ia akan menyiapkan bahan baku barang dengan lebih baik.
Selesai dari gudang meubel, kita beralih ke seorang Naradipta yang hari ini tumben sekali belum menyuarakan vokalnya nyaring-nyaring seperti biasa. Jumantara baru menyadari bahwa hari ini, kekasihnya lebih banyak diam dan menjawab seadanya jika ditanya. Begitu sibuknya ia hari ini sampai melupakan presensi kesayangannya itu, dan apakah itu menjadi jawaban dari diamnya Dipta?
"Sakit? Mas baru sadar kamu hari ini banyak diem,"
"Enggak."
Walau dielak, Jumantara tetap ingin mengetahui suhu tubuhnya, dan baru lega ketika tahu Dipta benar-benar berada dalam suhu normal.
"Yaudah, hari ini Mas-nya banyak kerjaan. Nara bosen ya? Apa tadi ada kerjaan yang sulit tapi nggak bisa minta tolong? Maaf, ya.."
"Hm.."
Hanya begitu namun tidak apa, kala para tahanan sudah harus kembali ke sel, ia langsung gandeng erat tangan pacarnya yang untungnya disambut sama. Sepanjang jalan tak ada pembicaraan, jadi Jumantara juga ikut diam tak berani memulai, hanya mengelus jemari Dipta di bawah sana.
Ia mungkin tahu, jika biasanya Dipta adalah sosok yang membicarakan hal sekecil apa pun, maka kali ini pemuda itu pasti menyimpan banyak hal. Begitu sampai di sel, ia membiarkan Dipta kemudian memberesi kekacauan di ruangan petak tersebut akibat permainan dengan para bapak-bapak semalam. Sedangkan Jumantara memilih merebahkan tubuh yang lelah di sisi lainnya.
Dipta, dalam diamnya belum berhasil temukan distraksi yang ampuh karena rasanya, ia ingin menghilangkan seluruh isi kepalanya. Membereskan sel menjadi salah satu cara yang perlu dicoba, namun itu justru memperburuk ketika yang tampil di pikirannya adalah keseharian dirinya bersama penghuni sel yang terekam di setiap sudutnya, didominasi oleh dunia yang sering ia ciptakan sendiri bersama Jumantara.
Dipta itu tidak tuli untuk kemudian tidak tau apa pun dengan kabar yang beredar di luar sana, bahwa satu tanggal eksekusi salah satu narapidana sudah ditentukan. Ia menerka sendiri, namun juga membantah sendiri dalam pikirannya. Namun melihat sikap Jumantara yang walau seperti biasa, lelakinya itu menunjukkan sarat bahwa ia tak dapat ada di sini sebentar lagi.
Isi kepala Dipta rasanya ingin pecah, ia ingin menangis karena apa yang dikatakan Jumantara tempo lalu adalah benar. Kita tidak bisa lari dari realita yang menjerat, apalagi kita sudah mengetahui pasti bagaimana akhir kita sendiri.
Setetes air mata terpaksa turun, ia tak dapat menahan. Dipta menggeleng kuat-kuat, karena bagaimanapun, ia tak akan pernah siap ditinggal pergi oleh Jumantara.
"Nara..?"
Dipta tidak menoleh, melainkan kembali menggeleng, "Nggak bisa."
"Nara?"
Kini tubuh Dipta berbalik oleh kuasa Jumantara, sehingga kekasihnya itu dapat melihat jejak air mata yang masih baru di pipi pacarnya.
"Enggak tau, Nara nggak mau tau apa pun."
Jumantara kemudian sadar, ada apa sebenarnya dibalik kepala sang pemuda. Ternyata, ia diganggu oleh mimpi buruk itu, ya?
"Iya. Nara kan, emang nggak tau, nggak usah dicari tau. Ayo, udah jam mandi, mumpung masih sepi kita mandi sekarang aja."
Jumantara dengan telaten kemudian berinisiatif menyiapkan keperluan Dipta, membiarkan yang lebih muda sibuk sendiri mengendalikan isakannya. Begitu siap, ia memimpin jalan, membawa Dipta menuju ke bilik mandi.
Sampai saat ini, Dipta masih diam bahkan hanya bergeming menerima pancuran air dari shower di atasnya. Posisi sepasang kekasih itu kini berhadapan, bahkan Jumantara pun sama diamnya menerima air membasahi tubuhnya.
Cukup lama terdiam, yang tanpa satu sama lain tahu, keduanya sedang sama-sama menyamarkan tangis. Air mata itu turun, disembunyikan kuat-kuat oleh air pancuran yang mengalir deras. Tugas mereka hanya menahan isakan sekuat tenaga, memasang topeng kuat di hadapan masing-masing.
Hingga kemudian, Jumantara bergerak maju, kedua tangannya menyentuh lengan telanjang Naradipta. Ia lalu bubuhkan kecupan di dahi pemuda yang menjadi kesayangannya, begitu lama dan seolah tak mau berakhir. Jika saja suasana tidak mulai ramai, Jumantara tidak akan bergerak menjauh.
Ibu jarinya bermain di pipi halus Dipta, seolah ingin sedikitnya menghapus jejak air mata yang harusnya tak boleh turun jika bersamanya. Kemudian ia bawa sudut bibir kekasihnya supaya terangkat ke atas, menjadi senyuman paling indah yang dilihatnya hari ini.
"Nara, nggak perlu tahu apa pun. Cukup kasih senyum buat Mas, dan semua baik-baik saja. Ya?"
Jumantara berbohong. Dimana letak baiknya jika sebentar lagi justru lelaki itu pergi meninggalkannya? Namun Dipta pun, sama perangainya. Ia balas mengangguk, tersenyum lugas. Balik membohongi Jumantara.
Keduanya, bertopeng baja untuk satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Prison | NOMIN✅
Fanfic[END] "Kita ini beda. Kita tau kapan akhir bakal datang pada kita. Jadi, dari pada stress, banyak pikiran, mending kita cinta-cintaan aja. Mas cinta kamu, kamu juga cinta Mas. Gausah mikirin tabu, kita ada di sini juga udah dilabeli sebagai manusia...