aku tidak lemah

1.4K 117 2
                                    

Damian memejamkan matanya. Leher dan bibirnya terasa sangat nyeri karena ditekan dengan sangat kuat oleh pria itu. Damian baru sadar bahwa dia bahkan tidak tahu siapa namanya. Sejak semalam pria itu tiba-tiba menyelinap ke dalam kamarnya, Damian secara iseng memanggilnya Om begitu saja. Niat Damian hanya untuk mengejeknya. Pria tampan dan rapi seperti dia tidak akan suka dengan panggilan seperti itu. Damian merasa salah memuji visual pria itu di saat dirinya bahkan dalam bahaya, tetapi ia adalah manusia yang jujur. Dia mengakui keindahan visual pria itu dan hal itu tidak akan berubah.

Masalahnya, saat ini Damian seperti sedang berada di ambang kematian. Ia berusaha menggapai lengan pria itu dan mendorongnya menjauh. Sayangnya, lagi-lagi kekuatan Damian yang dikatakan oleh anak-anak satu kampus sangat hebat benar-benar tidak berguna di hadapan pria ini. Damian berusaha memutar otak. Ia harus segera kabur sebelum pria ini semakin brutal menyiksanya sampai mati.

"Hhhhhhmmmmpp.... Hhhhhmmmmppp...."

Damian mencengkeram erat lengan pria itu yang masih mencekiknya. Jemarinya bergerak, menyentuh tombol cincin besi di jari tengahnya. Cincin itu bukan cincin biasa. Damian membelinya secara iseng karena terlihat keren. Jika tombol kecil di bawah cincin itu ditekan, maka akan ada bilah pisau kecil tajam yang akan mencuat. Damian sengaja menekan cengkeramannya pada lengan pria itu agar bagian bilah pisau tajam kecil pada cincin yang ia kenakan di jari tengahnya akan secara otomatis melukai lengan pria itu.

"Argh!"

Seperti yang Damian pikirkan. Cipratan darah dari lengan pria itu mengotori telapak tangan Damian yang akhirnya berhasil lepas.

Damian tertawa. "Jangan kira aku hanya akan diam diperlakukan seperti ini."

Pria itu menggeram marah. Ia memegangi lengan yang terluka, berusaha untuk menahan aliran darah yang terus menetes. Luka seperti itu memang bukan luka dalam yang berbahaya, tetap manusia manapun jelas akan tetap merasa sakit karenanya.

"Son of a bitch!"

Damian tertawa-tawa melihat pria itu begitu murka. Ia bersiap-siap untuk mengambil langkah seribu jika dia kembali hendak menahannya. Ini masih di lingkungan kampus, pria itu tidak akan berani bertingkah terlalu ekstrem atau dirinya akan langsung dibekuk polisi.

"Sudahlah, Om. Berhentilah mengejarku. Aku tidak ingat pernah memiliki urusan denganmu. Jika kau ada dendam dengan ayahku, hampiri saja dia, jangan membawa-bawa diriku dalam masalah kalian. Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu. Selamat tinggal!"

Damian berancang-ancang untuk lari, namun lengannya dengan cepat ditahan oleh pria itu. Genggaman tersebut jauh lebih kuat dibanding dengan genggaman yang dilakukan oleh pria itu sebelumnya. Damian mendecak kesal, dengan cepat dan kuat berusaha untuk melepaskan dirinya .

"Haaaa... Keras kepala sekali." Ucap Damian kesal.

Damian memutar tubuhnya, kemudian dengan gerakan cepat ia menendang tulang kering pria itu dengan sangat keras. Usahanya tersebut membuahkan hasil sebab cengkeraman pria itu pada pergelangan tangan Damian terlepas secara refleks.

"Hahaha...! Rasakan."

Jika memang pria itu hendak macam-macam dengan Damian, seharusnya dia mencari tahu bagaimana kemampuan Damian. Dia mungkin tampak seperti tuan muda manja yang tidak bisa melakukan apa-apa sendiri, sayangnya Damian cukup mahir dalam berbagai hal. Tentu saja itu semua karena ia belajar.

Buru-buru Damian berlari pergi sebelum pria itu kembali menahannya. Damian tahu dia akan kembali, entah di kampusnya atau bahkan di rumahnya. Jujur saja, Damian penasaran apa sebenarnya yang diinginkan oleh pria itu. Jika dia memang benar-benar musuh ayahnya, maka pria itu akan langsung datang kepada ayahnya. Jika pun memang dia berniat menjadikan Damian sebagai ancaman kepada keluarganya sendiri, pasti dia sudah menculik Damian sejak awal. Nyatanya, dia tidak melakukan itu semua dan malah muncul secara terang-terangan kepada Damian bahkan ke kampus Damian. Aneh sekali.

***

"Apa kalian yakin anak itu adalah pelakunya?"

"Kami telah mengumpulkan banyak bukti selama beberapa bulan ini, Bos. Seluruh bukti-bukti itu mengarah kepadanya."

"Sial, aku lupa mengambil dasiku kembali."

"Sorry?"

"Dasi dengan huruf A di bagian belakangnya. Cepat atau lambat, anak itu akan tahu nama Aldon Decker."

"Apakah kami perlu mengambilnya?"

Aldon Decker menggeleng. "Aku yang akan mengambilnya sendiri. Kumpulkan bukti lain tentang anak itu. Jangan sampai dia lepas dari pengawasan kita. Aku masih tidak yakin apakah dia benar-benar pelakunya, atau ada seseorang yang memakai dirinya."

"Damian Putra Wijaya adalah anak konglomerat terkenal, dia bisa melakukan apapun dengan bersih."

"Aku tahu, tapi anak itu tidak tampak seperti seorang pembunuh berdarah dingin yang bisa merencanakan pembunuhan dengan keji seperti itu. Dia lebih terlihat seperti.... Seorang anak manja?"

"Manusia selalu pandai menyembunyikan wajah sebenarnya,  Bos."

Aldon Decker melirik bawahannya yang sedang menyetir. Ia tahu itu. Setiap manusia memiliki topeng untuk ditampilkan kepada orang lain. Apalagi untuk seseorang dengan status sosial tinggi seperti Damian Putra Wijaya. Dia bisa melakukan apapun dengan kekuasaan keluarganya, dan membuat seolah-olah dirinya tidak bersalah. Aldon Decker tetap mempertimbangkan hal itu, tapi diam-diam ia ragu bahwa anak itu adalah orang yang melakukan pembunuhan keji kepada tiga saudaranya. Keraguan itu menganggu Aldon Decker. Ia juga merasakan sesuatu yang aneh dari sosok Damian. Ada yang janggal darinya, namun Aldon Decker belum bisa memastikan apa itu.

"Bos, bagaimana jika anak itu melaporkan anda kepada orang tuanya?"

Aldon Decker tertawa. "Dia tidak akan melakukannya."

"Huh?"

"Lihat saja. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu. Seperti apa yang kau katakan, manusia itu selalu memiliki topeng untuk ditampilkan bukan? Dia memang tampak seperti anak kaya raya manja pada umumnya, tapi dia tidak selemah itu."

"Apakah anda akan menyusup ke rumah Wijaya lagi?"

Aldon Decker mengangguk. "Aku akan menangani anak itu sendiri sampai aku benar-benar yakin untuk membunuhnya dengan tanganku."

Pengawal Aldon Decker melirik bosnya dari spion depan. "Anda baik-baik saja, Bos?"

Aldon Decker menunduk, memandangi tangannya yang terluka, juga kakinya yang nyeri luar biasa. Ia lupa kapan terakhir kali dirinya dipukul oleh orang lain. Selama ini, ia selalu bisa membereskan musuh-musuhnya sebelum mereka bisa menyentuh Aldon Decker meski itu hanya seujung kuku.

Aldon Decker tidak pernah membiarkan musuh-musuhnya menyentuh tubuhnya. Baginya, para musuh itu hanyalah mahkluk kotor yang tidak layak untuk bersentuhan dengannya.

"Perlukah kita memanggil dokter, Bos?"

Aldon Decker menggeleng. "Ini hanya luka kecil. Kembali saja ke markas."

Pengawalnya yang sedang menyetir menganggukkan kepala. "Baik, Bos."

Aldon Decker terkekeh pelan. "Hee... Bocah menarik." Gumamnya pelan dan tanpa sadar menyeringai.

***





A/N: Mind to vote or comment? :)

Plaything | YAOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang