peliharaan

1K 102 0
                                    

Damian dibawa ke ruang makan dengan meja besar yang berisi berbagai makanan. Damian sampai terkejut ketika ia sampai di ruangan itu. Berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya yang tampak suram dan tidak terlalu nyaman, ruang makan ini memiliki aura seperti ruang makan yang hangat dan penuh rasa kekeluargaan. Memangnya sejak kapan makanan-makanan ini dibuat? Damian bertanya-tanya dalam hati.

"Kemari. Bukankah kau lapar?"

Damian meneguk ludahnya dengan susah payah. Jujur saja, perutnya sudah bergemuruh kelaparan. Dengan aroma berbagai makanan yang lezat, perutnya semakin bergemuruh. Rasa-rasanya Damian ingin sekali langsung berlari dan menerjang makanan-makanan itu dengan rakus seperti seorang gelandangan yang sudah berhari-hari tidak makan.

"Ada apa? Kau tidak jadi lapar?"

Damian meremat ujung pakaiannya. Apakah ia bisa percaya dengan makanan-makanan itu? Bagaimana jika makanan itu berisi racun?

Aldon Decker tersenyum miring memperhatikan wajah Damian yang tampak dilema.

"Kau takut aku meracunimu?"

"A-Aku tidak takut!" Seru Damian kesal.

"Kalau begitu kemari. Sayang sekali pelayanku sudah menyiapkan banyak makanan untukmu."

Damian melangkah dengan tidak tenang. Ia mendekati makanan-makanan itu dan duduk di salah satu kursi. Aldon Decker duduk di sampingnya, memandangi Damian dengan senyum geli.

"Masih tidak percaya juga? Baiklah, akan kubuktikan."

Aldon Decker mengambil sejumput sayuran di salah satu mangkuk dan memakannya sembari menatap Damian.

"Bagaimana?"

"H-Hanya makanan itu kan? Bagaimana jika makanan lain berbahaya?"

Aldon Decker menghela napas. "Kalau ingin aku makan bersamamu bilang saja."

Damian membelalak malu. "S-Siapa yang bilang begitu? Kau hanya berasumsi sendiri."

Jujur saja, Damian memang tidak pernah makan sendirian. Sejak kecil, dia selalu makan bersama keluarganya. Bahkan kalau pun orang tua dan kakak-kakak perempuannya sibuk, Damian akan meminta para pelayan rumahnya makan bersama. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga Damian dewasa. Ia selalu makan bersama teman-temannya ketika di kampus. Ah, benar juga. Damian merindukan komplotannya. Kira-kira, apakah mereka merindukan Damian yang tiba-tiba menghilang?

"Hei, buka mulutmu."

Damian melebarkan mata ketika melihat Aldon Decker menyodorkan sendok berisi daging di hadapan mulut Damian.

"A-Apa yang kau lakukan?"

"Bukankah kau lapar?"

Damian menarik sendok yang dipegang oleh Aldon Decker kemudian memakan makanannya sendiri. Aldon Decker terkekeh geli melihat ekspresi kesal Damian yang tampak menggelikan. Ia masih sempat menahan diri dan mencurigai bahwa makanan yang disajikan di hadapannya itu beracun padahal dia sudah sangat lapar. Normalnya, seseorang akan mulai kehilangan jati diri dan akal sehatnya ketika lapar. Ketika ada makanan yang disajikan di hadapannya, tentu saja hal itu akan menjadi santapan yang sangat berharga. Seperti seekor hewan kelaparan yang mendadak diberikan makanan lezat. Dia pasti akan mulai mengikuti orang yang memberinya makan dan berharap akan mendapatkannya lagi. Apakah Damian bisa seperti itu?

Damian menyendok tiap makanan yang ada di hadapannya dengan cepat. Sungguh, ia benar-benar lapar. Damian membuang segala ego dan harga dirinya karena lapar. Ini agak ironi. Damian yang selalu kelebihan makanan dan memilih-milih makanan di rumahnya saat ini kelaparan dan mengabaikan risiko bahwa mungkin makanan itu diracuni.

Apakah takdir dan semesta memang begitu kejam padanya? Menunjukkan karma secepat ini hanya karena Damian terbiasa hidup dengan kemewahan dan mulai tidak bersyukur.

Damian berhenti makan dan duduk dengan tegap. Ia teringat dengan segala kehidupan indahnya yang tanpa masalah.

Aldon Decker yang sejak tadi duduk di samping Damian dan menatap pemuda itu makan menaikkan sebelah alisnya ketika melihat Damian tiba-tiba berhenti.

"Apakah makanannya tidak enak?" Tanya Aldon Decker bingung. Ia mencolek sedikit salad dressing yang ada di piring Damian dan menjilatnya.

Damian menatap Aldon Decker dengan wajah bersemu. Ia tidak tahu mengapa gestur Aldon Decker tampak sangat sensual padahal pria itu hanya sekadar mencicipi salad dressing yang ada di piring Damian.

"A-Aku sudah kenyang," cicit Damian pelan.

Bohong. Sungguh, Damian masih sangat lapar. Ia hanya memakan sedikit makanan yang berada dekat dengan tempatnya duduk. Ia masih ingin makan makanan lain yang ada di meja itu. Aroma lezat dan menggoda yang ada di meja besar itu benar-benar membuat tenggorokan dan perut Damian bergemuruh. Ia sungguh ingin makan semuanya meski mungkin masing-masing hanya segigit.

Aldon Decker menusuk potongan daging sapi dengan garpu dan menyodorkan makanan itu pada mulut Damian.

"Buka mulutmu."

Damian lagi-lagi melebarkan matanya dengan kesal.

"Apa-apaan sih? Jangan bertingkah aneh!"

Aldon Decker tersenyum miring. Lucu, sungguh menggemaskan sekali ekspresi Damian. Jujur saja, Damian bukan lelaki feminin yang memiliki wajah cantik seperti perempuan. Damian adalah Damian. Ia adalah laki-laki yang kuat berkelahi dan memiliki tubuh yang bagus. Ia tidak begitu kekar, namun ototnya kuat. Wajah Damian tidak terlalu maskulin, tetapi ia juga tidak feminin. Dia bisa terlihat tampan atau manis secara bersamaan. Hal yang paling menarik adalah kebiasaannya yang sulit menyembunyikan ekspresi. Damian selalu menunjukkan segalanya di wajah seperti buku yang terbuka lebar.

"Makanlah sebelum aku membuang semua makanan ini."

Damian melebarkan matanya. "Dibuang?"

Aldon Decker mengangguk. "Aku menyiapkan makanan ini untukmu, jika kau tidak mau memakannya maka untuk apa menyimpan semua makanan ini?"

Damian mengaga seperti orang idiot. Semudah itu dia membuang makanan? Apakah ini yang dirasakan oleh para pelayan Damian ketika ia bosan dengan makanan dan meminta mereka membuang masakan-masakan yang telah mereka buat dengan sepenuh hati? Sial, mendadak Damian merasa ingin meminta maaf kepada para pelayan rumahnya.

"Baiklah, aku makan!" Seru Damian akhinya. Ia masih lapar, dan ia juga tidak rela makanan-makanan yang tampak lezat ini dibuang begitu saja.

Aldon Decker terus menunggui Damian hingga pemuda itu selesai makan. Aldon Decker juga mengantar Damian kembali ke kamarnya setelah Damian selesai makan. Damian berkali-kali protes dan mengumpati Aldon Decker, tetapi yang bersangkutan malah hanya tertawa geli melihat ekspresi Damian.

"Bukankah dia target yang harus dibunuh, Bos?"

Aldon Decker seketika menghapus senyum gelinya begitu keluar dari kamar Damian. Carlo berdiri menyandar pada dinding dan melirik Aldon Decker yang mulai kembali dengan ekspresinya yang dingin.

"Aku menyukainya."

Carlo melebarkan matanya. "Bos, dia itu-"

"Jangan salah paham, Carl. Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Aku suka permainan ini. Dia seperti seekor hewan peliharaan yang akan menuruti apapun yang kumau."

Carlo tertawa kecil. "Saya rasa dia lebih seperti kucing sombong yang bertingkah sebagai majikan."

Aldon Decker menyeringai. "Ya, seekor kucing nakal yang sulit ditaklukkan."

***


A/N: Halooo~

Plaything | YAOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang