foto

305 43 9
                                    

"What the fuck? Ruangan macam apa ini?"

Damian bangkit berdiri. Kedua bola matanya bergerak, mengedar, dan memperhatikan sekitar. Dinding yang membuatnya terjerembab jatuh tadi sudah kembali menutup. Damian mendekati dinding itu dan mengetuk-ngetuk dengan jemarinya.

"Oi... Oi... Ini aku tidak bisa bisa keluar atau bagaimana?"

Damian mengusap wajahnya sendiri. Sudah berkali-kali ia tidur di kamar Aldon Decker, bahkan pria itu seringkali meninggalkan Damian sendirian di kamarnya. Namun, Damian sama sekali tidak pernah berekspektasi di balik kamar yang terkesan biasa saja itu, terdapat ruangan rahasia yang tersamarkan oleh dinding kamar.

Damian mengernyit. Apakah ia tidak sengaja menekan sesuatu hingga menyebabkan dirinya tak sengaja memicu dinding itu terbuka?

Damian menghela napas panjang. "Ah, sial. Kalau nanti Aldon menemukanku di sini, dia pasti akan mengira kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan."

Ini benar-benar merepotkan. Damian harus segera mencari jalan keluar secepatnya. Dinding yang terbuka tadi tampaknya hanya menjadi jalan satu arah. Alias, Damian bisa masuk ke ruangan ini dari kamar Aldon Decker, tetapi ia tidak bisa kembali ke kamar itu melalui jalur yang sama.

Ruangan rahasia itu sangat besar dan bersih. Sama sekali tidak kelihatan seperti ruangan tua yang tak terawat. Ada beberapa rak kayu besar yang berjajar. Di dalamnya terdapat berbagai macam buku yang tertata rapi. Damian mengelilingi rak buku tersebut, melihat-lihat sekilas koleksi buku yang ada di sana. Kebanyakan adalah buku tua. Damian tidak berniat untuk mengeceknya.

Lalu, Damian lanjut mengeliling ruangan tersebut. Sebuah lemari kaca yang terkesan mewah terletak di dekat rak kayu tersebut. Di dalamnya ada beberapa koleksi senjata api. Damian tidak terlalu mengerti mengenai senjata api, tetapi ia tahu beberapa senjata yang tersimpan di lemari kaca itu adalah jenis yang mahal dan langka.

"Ruangan untuk menyimpan semua koleksinya, kah?" gumam Damian.

Lagi, Damian terus berjalan mengelilingi ruangan itu. Ia benar-benar tidak menyangka ada ruangan sebesar ini yang terhubung bersama kamar pribadi Aldon Decker. Markas pria itu memang sangat besar, jadi sebenarnya wajar-wajar saja ada ruangan semacam ini. Hanya saja, Damian masih tidak menyangka.

Di ujung ruangan itu, ada sebuah meja kayu dan sebuah vas bunga berwarna safir. Seluruh ruangan ini didominasi warna coklat dan hitam, bahkan koleksi buku-buku Aldon Decker mayoritas memiliki sampul gelap, jadi vas bunga berwarna safir itu tampak mencolok meskipun kecil. Di dalam vas bunga itu, terdapat bunga mawar merah yang nyaris layu. Kemungkinan diletakkan di sana beberapa hari yang lalu.

Awalnya, Damian hanya fokus pada vas bunga itu. Artinya, Aldon Decker masuk ke ruangan ini beberapa hari sebelumnya untuk meletakkan bunga mawar itu ke dalam vas.

Ketika bola mata Damian bergerak, fokus pandangannya berubah. Ia melihat beberapa pigura foto tertata rapi di meja itu. Satu pigura yang besar menunjukkan foto pasangan seorang pria dan wanita yang berusia lanjut. Mungkin 40 atau 50 tahunan. Wanita itu berambut coklat sebahu, memakai kemeja pendek dan rok selutut. Ia tersenyum ke arah kamera. Sementara itu belakangnya, seorang pria yang wajahnya begitu mirip dengan Aldon Decker berdiri menyentuh bahu wanita itu. Kontras dengan si wanita yang tampak lemah lembut, pria itu kelihatan arogan dan mengintimidasi.

Damian terkekeh melihat foto tersebut. "Siapa mereka? jangan bilang mereka ini orang tuanya si Aldon itu?"

Foto itu memang kelihatan sudah lumayan tua. Di ujung bawah foto itu, dekat dengan bingkai pigura terdapat sebuah tulisan huruf D dengan tinta merah.

"D? Decker?" gumam Damian.

Damian mengitari meja berisi banyak pigura foto tersebut. Di sebelah foto pasangan itu, ada pigura yang lebih kecil. Di dalam pigura tersebut, terdapat empat anak laki-laki yang difoto bersama. Salah satu dari anak laki-laki itu duduk di sebuah sofa single, sementara tiga lainnya berdiri mengelilingi anak itu. Tiga anak yang berdiri itu tampak menyunggingkan senyum lebar ke kamera, sementara si anak yang duduk di sofa berwajah datar, dan sorot matanya tajam. Sama seperti foto pasangan sebelumnya, di bagian bawah terdapat tulisan huruf D.

Damian menemukan foto lain lagi. Foto keluarga lengkap. Sepasang suami istri dan empat orang anak laki-laki. Sama seperti foto yang sebelumnya, si anak laki-laki yang paling kecil duduk bersebelahan dengan orang tuanya, sementara tiga orang anak laki-laki lainnya berdiri.

"Kenapa hanya dia yang diperlakukan istimewa?"

Jika memang foto-foto itu adalah keluarga Aldon Decker, maka anak yang diperlakukan sangat istimewa di setiap foto tersebut mungkin adalah dirinya. Namun, mengapa?

"Tapi mereka ini tampak seperti gambaran keluarga yang harmonis, hm..."

Damian seketika terkekeh menyadari ucapannya sendiri. Di rumah, ia pun memiliki banyak foto keluarga semacam ini, dan kalau dipikir-pikir, posisi Damian juga sama dengan salah satu dari anak laki-laki di foto tersebut. Bedanya, saudara Damian perempuan semua. Dalam setiap foto keluarga, Damian selalu berada di posisi tengah, duduk di kursi, atau dipangku oleh ibunya ketika kecil, sementara kakak-kakak perempuannya berdiri di sisi kanan dan kiri dirinya. Foto-foto di rumahnya juga tampak seperti gambaran keluarga bahagia, tetapi kenyataannya berbanding terbalik.

Jemari Damian terus menyusuri meja penuh foto itu. Sampai kemudian matanya menangkap satu pigura yang tertutup. Berbeda dengan pigura lain yang ukurannya lumayan besar, satu pigura yang tertutup itu ukurannya lumayan kecil. Damian yang penasaran membuka pigura itu, lalu kedua matanya seketika membelalak kaget.

"Huh? Ini 'kan..."

Damian refleks menjatuhkan pigura itu. Kaca dari pigura tersebut pecah berkeping-keping. Jemari Damian seketika bergetar hebat, pun napasnya mulai memburu.

"Dia... Dia yang..."

"Bagaimana caranya kau masuk ke ruangan ini?"

Damian tersentak. Ia menoleh ke sumber suara dan Aldon Decker telah berdiri beberapa langkah tak jauh darinya.

"A-Aldon..."

Aldon Decker mendekat, ia melihat satu pigura yang jatuh dan pecah di lantai gara-gara Damian.

"Aku tanya padamu, bagaimana caramu bisa masuk ke ruangan ini?"

Aldon Decker mencengkeram pergelangan tangan Damian. Pria itu bisa merasakan tubuh Damian yang tremor hebat, seolah ia baru saja melihat hantu yang menakutkan.

Aldon Decker mengernyit. "Ada apa denganmu?"

Apa Damia sangat ketakutan karena ketahuan menyelinap ke ruangan ini sampai-sampai ia bergetar hebat seperti itu? Aldon Decker tidak berniat untuk memarahinya, ia hanya bertanya bagaimana Damian bisa masuk ke ruangan yang jelas-jelas hanya Aldon Decker saja yang tahu jalan masuk dan keluarnya. Bahkan Carlo yang sudah lama bekerja dengannya saja tidak tahu mengenai ruangan ini.

"Damian?"

Secara tiba-tiba, Damian menghambur dan langsung memeluk Aldon Decker. Ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pria itu, membuat Aldon Decker malah semakin kebingungan.

"What the heck are you doing?"

Damian menggigit bibirnya. 'Tidak... Tidak mungkin. Aku pasti salah lihat. Orang itu... orang di foto itu...'

Damian terus membatin. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Foto dalam pigura kecil itu menunjukkan wajah Aldon Decker dewasa, tetapi ia kelihatan lebih muda. Kemungkinan, foto itu diambil beberapa tahun yang lalu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Damian, melainkan salah satu dari tiga orang pria yang berdiri di sisi kanan dan kirinya.

Salah satu dari mereka, adalah pria yang Damian tikam dengan pisau beberapa tahun lalu di masa SMA-nya. Insiden yang membuat ayahnya murka dan berusaha menutupinya hingga saat ini, bahwa pewaris keluarga Wijaya pernah membunuh orang.

○●○

A/N: Hai~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Plaything | YAOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang