04 . DIERJA MASIH KECIL, PAK.
Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Dierja sejak pulang sekolah masih saja murung dan enggan untuk tersenyum. Padahal jam sudah menunjukan pukul delapan malam, dan bahkan Bapak pun sudah pulang kerja dari beberapa menit yang lalu.
Dierja bukan kesal karena Bapak tidak bisa datang ke sekolah, Dierja juga bukan marah karena Bapak tidak menanyakan bagaimana hari ini? senang atau tidak? Bukan. Dierja hanya bisa memikirkan satu hal yang sampai saat ini masih berputar-putar di kepalanya. Tentang kenapa Mama pergi, kenapa Bapak tidak pernah mau menjawab dan menceritakan semuanya agar Dierja juga paham, agar Dierja tidak perlu menanyakan hal yang serupa lagi dan berakhir membuat Bapak marah sampai memukulnya.
Padahal menurut Dierja, pertanyaan seperti itu tidak masalah dipertanyakan sebab Dierja kan juga anak Mama, anak Bapak. Dierja ingin mendapatkan kejelasan yang nantinya tidak akan membuatnya penasaran lagi. Tapi sepertinya, itu bukan hal yang sepele untuk Bapak. Karena setelah Dierja menanyakan tentang Mama, Bapak selalu marah-marah dan menyakiti Dierja. Malahan sampai Bang Jagat pun pernah ikut terkena imbasnya.
Seharusnya Dierja belajar dari kejadian sebelum-sebelumnya, namun karena jiwa penasaran bocah 7 tahun itu masih menggebu-gebu, alhasil di teras rumah, begitu Bapak menghampirinya dengan secangkir kopi panas, Dierja malah menanyakan hal serupa yang selalu bisa membuat Bapak naik pitam.
"Bapak."
"Dierja ingin tanya sesuatu sama Bapak, boleh?"
Tanpa menatap Dierja yang sedang duduk di kursi sebelah, Bapak mengangguk pelan.
"Tanya saja." Perlahan, Bapak mulai menyesap kopi panas itu dengan sangat hati-hati.
"Dierja ingin tanya soal Mama." Matanya tak lepas menatap Bapak yang kini mulai terlihat tidak suka. Dierja hapal betul bagaimana ekspresi ketika Bapak selalu tidak menyukai pertanyaan perihal Mama.
"Pak.. Kenapa Mama pergi?"
Suaranya tak begitu terdengar, Dierja sengaja mengecilkan volume suaranya agar Bapak tidak mendengar. Sebab Dierja juga takut kalau harus dimarahi Bapak lagi karena menanyakan pertanyaan yang sama terus menerus.
Sedangkan malam ini bisa saja menjadi malam paling indah sebelum pertanyaan dari mulut Dierja membuat dada Bapak memanas. Bapak yang baru saja menyesap kopi panas ditangannya semakin dibuat begejolak.
Tidak langsung menjawab, Bapak mati-matian menahan diri agar tidak terbawa suasana. Padahal di situ, Dierja sangat menunggu jawaban apa yang akan Bapak berikan. Atau justru, bukan hanya jawaban saja yang Dierja dapatkan, melainkan pukulan.
Dierja sudah siap. Dierja siap jika kemungkinan itu benar-benar terjadi setelah ini.
"Pak?" Anak itu menoleh, semakin menatap Bapak yang kini sedang mengeraskan rahangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dierja Gentala, 1997
FanfictionKehilangan kali ini adalah awal dari kerasnya hati dan kepalaku. Aku mendadak bisa menjadi monster yang paling menakutkan sekaligus mematikan untuk anak-anakku. Bahkan di saat mereka masih tak paham bagaimana cara semesta yang keji ini bekerja tanpa...