02. MAMA ITU YANG BAGAIMANA
WAJAHNYA, BANG?Dierja tahu apa kesalahannya, Dierja juga tahu bagaimana resiko kalau sampai Bapak tahu baju seragamnya masih basah akibat mandi hujan kemarin sore. Padahal dari semalam Dierja sudah percaya kalau baju seragam merah putihnya itu pasti akan cepat kering jika disimpan dibelakang kulkas. Tapi nyatanya tidak seperti itu, tubuh Dierja ikut dingin karena seragam yang dia pakai masih setengah kering, yang artinya baju itu semestinya tidak boleh Dierja pakai karena bisa-bisa nanti masuk angin.
Bang Jagat yang pertama tahu soal itu, dan bang Jagat pula lah yang lebih terlihat tidak tenang. Bukan cuma karena takut Dierja masuk angin saja, tapi Jagat lebih takut kalau sampai Bapak tahu. Bapak itu laki-laki yang tegas, Bapak selalu mengajarkan disiplin dan paling tidak suka anak yang tidak bisa diatur.
Sudah lima menit berlalu, Jagat masih saja menatap Dierja yang bahkan terlihat sudah sangat pasrah. Dierja anak yang jujur, selalu mau mangakui kesalahannya yang kadang Bapak saja bisa tersenyum karena kejujuran bocah itu. Umur nya masih 7 tahun, tapi berkat didikkan Bapak yang bisa dibilang kelewatan ini juga lah yang membuat Dierja seperti ini. Kalau merasa salah, Dierja selalu menghampiri Bapak, mengungkapkan semua kesalahannya tanpa Bapak sendiri yang memintanya untuk jujur.
Bapak sebetulnya sudah tahu dari semalam, tapi karena badannya terlanjur lelah dan sedikit terhibur melihat kedua putranya sibuk belajar, alhasil rasa kesal pada Dierja karena -berani-beraninya bocah itu menyimpan baju basah di belakang kulkas yang jelas-jelas banyak kabel-pun akhirnya bisa ditahan.
Tapi tidak untuk pagi ini, dengan langkah tegasnya Bapak menghampiri Dierja dan Jagat yang sudah lebih dulu duduk manis di meja makan. Keduanya masih sama-sama bungkam sambil menunggu kedatangan Bapak, walaupun Jagat dari awal sudah curi-curi pandang pada Dierja yang bahkan terlihat tenang.
"Selamat pagi, Bapak!" Dierja tersenyum begitu melihat Bapak, tangannya diangkat setinggi pelipis-memberi posisi hormat pada laki-laki setengah baya itu.
"Pagi." Gio tersenyum kecil, matanya menatap begatian ke arah Dierja dan Jagat.
"Selamat pagi, Bapak." Itu Jagat, suaranya terdengar lebih kecil dari Dierja yang terlalu bersemangat.
Lantas hening kembali menyelimuti setelah Bapak memutuskan duduk di kursi yang berhadapan dengan Dierja. Matanya masih ditujukan untuk bocah itu, tatapan yang selalu Bapak perlihatkan kalau sedang marah atau kesal.
"Dierja tahu kesalahan Dierja apa?"
Mendengar pertanyaan itu, malah tangan Jagat yang mulai berkeringat dingin. Padahal Bapak tidak melakukan apa-apa, dan Dierja pun bukan tipe anak yang akan melawan. Tapi justru itu lah yang Jagat khawatirkan. Dierja terlalu jujur dan polos, ingin sekali Jagat ajarkan caranya berbohong dan caranya menghindari hukuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dierja Gentala, 1997
Fiksi PenggemarKehilangan kali ini adalah awal dari kerasnya hati dan kepalaku. Aku mendadak bisa menjadi monster yang paling menakutkan sekaligus mematikan untuk anak-anakku. Bahkan di saat mereka masih tak paham bagaimana cara semesta yang keji ini bekerja tanpa...