Kehilangan kali ini adalah awal dari kerasnya hati dan kepalaku. Aku mendadak bisa menjadi monster yang paling menakutkan sekaligus mematikan untuk anak-anakku. Bahkan di saat mereka masih tak paham bagaimana cara semesta yang keji ini bekerja tanpa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
05 . PAGI YANG REDUP.
Pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah, Dierja menghampiri Bapak di dalam kamar yang masih siap-siap. Dengan alasan untuk meminta maaf pada Bapak atas pertanyaannya semalam. Dan Bapak pun tidak memperpanjang masalah, Bapak memaafkan Dierja sembari memeluk tubuh mungilnya. Dierja terharu sekali sampai tanpa sadar matanya berkaca-kaca begitu Bapak dekap.
"Maafkan Dierja ya, Pak. Dierja semalam sedang rindu Mama saja, tidak sengaja ingin bikin Bapak marah dan kesal." Matanya ikut tersenyum. Dierja membalas pelukan Bapak tak kalah erat.
"Maaf, ya, Pak. Sekali lagi Dierja minta maaf."
Bapak mengangguk pelan. Lantas pelukan itu dilepas setelah Bapak mengusap puncak kepala Dierja. Sedangkan Jagat yang melihat itu semua di ambang pintu kamar Bapak, hanya bisa tersenyum. Jagat bangga sekali punya adik seperti Dierja yang hatinya begitu lembut dan tulus.
"Tidak apa-apa. Tapi jangan diulangi lagi, ya. Nanti Bapak bisa lebih marah dari ini."
Bapak memperingati Dierja agar tidak menanyakan hal yang sama lagi, sebab Bapak juga bingung harus menjawab apa selain marah. Bapak tidak ingin menyalahkan Dierja karena sudah terlahir di dunia dan membuat Mama pergi untuk selamanya. Tetapi Dierja malah selalu menanyakan hal yang paling Bapak hindari.
Tidak mungkin Bapak akan terang-terangan menyalahkannya yang bahkan Bapak sendiri pun tahu bahwa itu bukan salah Dierja. Itu takdir, itu sudah kehendak Tuhan. Maka dari itu, Bapak paling tidak suka Dierja bertanya perihal Mama. Bapak selalu bingung dan berakhir naik pitam karena dari dalam dirinya, Bapak masih sering menyalahkan Dierja. Bapak harus kehilangan belahan jiwanya karena Dierja.
Padahal tidak. Bapak tahu itu. Entahlah, Bapak juga bingung. Ternyata menjadi orang tua tunggal benar-benar sulit. Tak jarang juga Bapak hilang kendali. Bapak sering main fisik, dan berakhir menangis di dalam kamar karena merasa benci pada dirinya sendiri.
"Janji!"
Lagi, Bapak tersenyum setelah mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Dierja.
"Ya sudah, sekarang Dierja siap-siap mandi dengan abang, ya."
Serentak, Dierja begitupun Jagat yang masih berdiri di ambang pintu kamar Bapak, memberikan posisi hormat. Kemudian tanpa menunggu lama, Dierja berlari kecil menghampiri Jagat setelah mengecup pipi kiri Bapak sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau memaafkannya.
"Jangan bercanda di dalam kamar mandi, ya, bang. Dierja nya dituntun, jangan dibiarkan jalan sendirian, licin."
"Siap, laksanakan, Bapak!" Jagat masih memberikan posisi hormat yang langsung mendapatkan anggukan dari Bapak.
Setelah itu, Jagat pun langsung membawa Dierja ke kamar mandi dengan senyuman yang tidak pernah lepas. Jagat senang karena Dierja tidak pernah merasa malu dan gengsi untuk meminta maaf. Bahkan Jagat saja kalah kalau soal kerendahan hati jika dibandingkan dengan Dierja. Jagat juga berani bersumpah kalau tidak ada anak yang sebaik Dierja diantara anak-anak yang ia kenal.