01 | Surat pertama untuk Mama

41.1K 3.5K 311
                                    

01

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

01. SURAT PERTAMA UNTUK MAMA.

Angin sore kini berhasil menyapu seluruh bagian wajah bocah laki-laki yang sedang sibuk mencabuti rumput kecil di atas gundukan tanah. Senyumannya tidak pernah lepas barang sedetikpun, bahkan dinginnya udara saat ini tak membuatnya beranjak dan memilih untuk pergi dari sana.

Dierja Gentala, bocah laki-laki berumur 7 tahun itu terlihat begitu sibuk bercengkerama dengan nisan bertuliskan–Ranti Ayudia, nisan milik sang Mama yang sudah bersedia mengorbankan nyawa nya demi Dierja, Mama yang bahkan wajah nya saja belum pernah Dierja lihat secara langsung

Tapi entah bagaimana bisa, di bawah langit sore yang temaram ini. Dierja merasakan hawa hangat di sekujur tubuh nya, seolah Mama tengah mendekapnya begitu erat.

Kepalanya menoleh ke samping kanan dan kini secara bergantian, mencari apa yang salah karena perasaan nyaman terus singgah di hati dan raga nya. Tapi dengan begitu saja. Dierja kembali tersenyum, matanya terpejam tenang sembari memeluk lutut nya sendiri.

"Mama peluk Dierja, ya? Mama disini sama Dierja, Ma?" seketika Dierja tertawa, kedua tangan kecilnya ia simpan tepat di wajah, merasa sangat malu karena mendapatkan peluk dari Mama.

"Dierja bawakan surat untuk Mama, loh. Semalam Dierja rinduuuuuuu sekali pada Mama. Dierja hampir nangis di samping abang yang sudah tidur, hahaha." tawa kecil terdengar begitu jelas dari mulut Dierja, bocah itu menutup mulut menggunakan kedua tangannya.

"Untung saja Bapak tidak tahu kalau Dierja belum tidur, bisa-bisa Dierja kena omel karena masih terjaga malam-malam–"ucapan Dierja terhenti, mendadak tetesan demi tetesan air jatuh mengenai baju seragam sekolah nya.

"Duuhh.. Hujan, Dierja harus pulang." bocah laki-laki itu beranjak setelah menyimpan secarik kertas dekat nisan Mama, "Surat nya jangan lupa dibaca, ya–"

"Dierja!"

seketika Dierja menoleh.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan turun begitu deras membasahi tubuh Dierja dan Jagat–yang kini sedang susah payah melindungi  adiknya dari guyuran hujan yang tidak pernah Dierja sangka akan sebesar ini.

"Yah, basah. Bapak bisa marah nanti." gumam Dierja dalam pelukan sang kakak.

Jelas mendengar itu jagat kembali mengeratkan pelukannya lagi agar baju dan tubuh Dierja tidak perlu basah apalagi sampai kedinginan.

"Bang Jagat, jangan erat-erat, Dierja tidak bisa jalan." Dierja mendongak, ia tatap wajah sang kakak yang sudah dipenuhi oleh air hujan.

Dierja Gentala, 1997 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang