04

467 34 0
                                    

Mengingat kejadian kemarin yang menyebabkan ia menangis dalam waktu lumayan lama. Namun karena itu juga hatinya sedikit membaik, segala perasaan terluapkan.

Bekas tamparan keras sang papa semalam telah Arunika kompres agar tidak membengkak, pun dengan sudut bibirnya sedikit robek sudah Arunika olesi salep.

Arunika tidak membiarkan lukanya semakin parah jika tidak di obati. Begini-begini Arunika menyayangi dirinya sendiri. Bila bukan diri sendiri siapa lagi? Tidak mungkin Arunika bergantungan dengan orang lain.

Selagi gadis itu bisa melakukannya seorang diri maka Arunika tidak mau merepotkan siapapun. Orang yang masih peduli padanya.

Arunika melirik arloji masih sangat pagi udara saja masih terasa dingin, tetapi ini kebiasaan Arunika alasannya tentu demi kenyamanan. Mengindari lebih baik menurutnya.

Tiba di lantai dasar keadaan rumah sepi ia mewajarkan itu, sehari-hari Arunika memang demikian. Berjalan ke dapur Arunika langsung mendapati sosok bi Ijah tengah memasak sarapan pagi. Bau wangi masakan wanita paruh baya itu memasuki indra penciuman Arunika.

Cacing perutnya jadi meronta ingin segara di beri asupan.

"Pagi bi!" Sebelum berangkat ke sekolah Arunika selalu rutin ke dapur terlebih dahulu selain berpamitan Arunika juga mengambil bekal.

"Pagi juga nona!" Tanpa menoleh bi Ijah sudah mengetahui siapa pemilik suara. Bi ijah memilih menyelesaikan pekerjaannya dulu karena memang tinggal menyiapkan saja.

Begitu berbalik bi Ijah tertegun kala tak sengaja mata tertuju pada sudut bibir Arunika. Anak majikannya di siksa lagi? Tapi kali ini apa penyebabnya?

Dan mengapa ia tak menyadari sesuatu terjadi tadi malam, apa karena tidurnya sangat nyenyak.

Senyuman manis terpatri di bibir gadis itu kian menambah perasaan sesak di dada bi ijah, dirinya tidak ada ketika Arunika membutuhkannya.

Bi ijah lah saksi perjalanan hidup Arunika yang penuh dengan derita di akibatkan oleh keluarganya sendiri.

Malang sekali nasibnya. Tapi bi Ijah tahu Arunika tak suka di kasihani.

Ada rasa ingin menanyakan tetapi segera bi Ijah urungkan dengan ia bertanya sama saja membuka luka yang berusaha Arunika tutupi. Alhasil yang bi Ijah lakukan membalas senyuman Arunika. "Ini non bekalnya, udah ada botol minum juga."

Arunika sambut pemberian bi Ijah. "Makasih bibi," lalu Arunika simpan di dalam tas dan menatap bi Ijah lagi, "Oh iya bi, kalo mama atau papa nanyain Aru kemana bilangin udah berangkat sekolah." tuturnya lembut.

Bi Ijah terhenyak jangan untuk menanyakan keberadaan Arunika bila tak berada di rumah, peduli dengan anak kandung mereka saja tidak bahka jika sesuatu buruk menimpa Arunika bi Ijah yakin nyonya serta tuannya masih bersikap sama, acuh tak acuh. Sungguh miris. Bukan sok tahu begitulah pengamatannya setelah bertahun-tahun bekerja di rumah ini.

Walau begitu ia tetap merespon tak ingin membuat Arunika di hancurkan dengan kenyataan. "Iya non, nanti bibi sampein."

Arunika tersenyum lebar mengabaikan balasan bi Ijah yang tersirat keraguan. "Aru berangkat dulu." Arunika mencium punggung tangan bi Ijah.

"Non Aru, bibi salut nona bisa bertahan sampai sekarang. Dan bi Ijah berharap kebaikan akan segera menghampiri nona, nona pantas mendapatkannya." gumamnya dengan harapan besar, punggung gadis itu telah menjauh dari pandangannya.

Gadis tangguh serta kuat menyembunyikan sisi rapuhnya dengan senyuman lebar.

***

Senyuman di bibirnya perlahan luntur, Arunika menyadari jika pesannya tadi itu cuma sebuah harapan yang tidak akan pernah terjadi. "Berharap dan terus berharap, walau tau semuanya berakhir membuat hatiku kecewa."

A Little HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang