09

344 25 0
                                    

Suara hujan deras di sertai petir menjadi musik tersendiri bagi Arunika di sore menjelang magrib ini. Hembusan angin kencang bertiup menggerakkan dedaunan pepohonan yang dapat di lihat Arunika melalui jendela kaca ruang kerja sekaligus kamar miliknya.

Gadis itu mengeratkan hoodie biru langit yang di kenakan nya sembari pandangan menerawang lurus.

Helaan napas berat keluar dari bibirnya, pikirannya kini di penuhi bagaimana cara agar dia bisa pulang di tengah hujan deras begini.

Jika Arunika tidak pulang bisa di pastikan esoknya Arunika akan mendapat hukuman dari sang papa, tak peduli dirinya mempunyai alasan.

Bagaimana juga di mata orang tuanya Arunika selalu salah.

Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti padahal sudah sejak siang tadi. Bisa saja sebenarnya Arunika nekat pulang tapi Arunika tidak sebodoh itu membahayakan dirinya sendiri.

Pulang atau tidaknya dia tidak ada yang menunggunya apalagi mengkhawatirkannya, Arunika pulang hanya untuk di marah.

Keberadaannya di kafe juga bukan tanpa alasan Arunika ingin mengecek para pekerjanya di sini.

Malam ini dengan terpaksa Arunika harus menginap.

"Seperti hari-hari sebelumnya besok aku pasti bisa melaluinya. Semangat Aru!" Arunika mengepalkan tangannya ke atas memberi semangat pada dirinya. Lagipula dirinya sudah terbiasa menerima hukuman-hukuman yang katanya kecil itu supaya Arunika jera.

Masih pada posisinya Arunika merasakan tetesan air membasahi pipinya, bukan air hujan melainkan air mata.

Tanpa alasan dadanya terasa sesak seperti terhimpit sesuatu hingga rasanya Arunika kesulitan bernapas, air mata itu kembali jatuh berkali-kali layaknya hujan yang turun sekarang.

Arunika menunduk, tangannya meremat ujung Hoodie kuat.

"Mama, papa, Aru kangen, kangen kalian..." Dengan nada yang merintih seolah menunjukkan kesakitan di deritanya semenjak insiden membuat Arunika trauma.

Ada banyak makna rindu yang di maksud gadis itu. Salah satunya Arunika merindukan keluarga harmonis nya yang dulu.

Dan yang paling di rindukan seorang Arunika adalah mendiang sang nenek.

Dimana hari Arunika kehilangan sang nenek disitu juga Arunika kehilangan semuanya, kasih sayang orang tua dan kebahagiaan.

Kenangan demi kenangan dari yang baik maupun buruk berputar kembali tanpa diminta diingatan Arunika menyebabkan kepalanya serasa mau pecah.

Arunika menjambak rambutnya sendiri berharap otaknya berhenti mengingat memori yang di dominasi memori menyakitkan.

"To-tolong berhenti, sa-sakit..."

Tiga menit waktu berlalu sangat lama sakit di kepalanya kini berangsur-angsur berkurang seiring otaknya berhenti berpikir lagi, tersisa air mata yang masih saja menetes.

Arunika mengusap airnya matanya kemudian menarik napas panjang lalu mengeluarkan melalu hidung.

Jika di tanya apa yang paling di benci oleh Arunika adalah kejadian beberapa saat lalu.

Otak yang tak sejalan dengan hatinya.

***

Kicauan burung di pagi hari ini menemani perjalanan Arunika menuju halte bus. Dengan langkah santai menapak di aspal yang basah akibat hujan kemarin, entah berhenti di jam berapa.

Cuaca cukup cerah meski dingin masih terasa.

Setiba Arunika di halte bertepatan dengan bus yang berhenti, tanpa basa-basi lagi Arunika masuk memilih tempat duduk yang membuat nyaman.

Gadis itu menyandarkan punggung di sandaran dengan manik terjurus ke luar jendela bus yang kembali berjalan.

Berjalan dengan langkah lunglai begitu sampai di sekolah yang masih tampak sepi ini.

"Kenapa nggak beli aja?" Mawar menyarankan saat mengetahui penyebab wajah gusar Arunika di pagi menjelang siang ini.

Gadis itu melupakan membawa topi padahal sebentar lagi upacara benderan akan di laksanakan.

Arunika menggeleng. "Sayang uangnya loh Maw kalo beli baru." keluhnya pelan.

Kini Mawar mangut-mangut mengerti. "Pake uang aku aja, cepat beli sekarang sebelum upacara mulai nih." tuturnya seraya mengulur uang tetapi malah di tolak oleh sang empunya.

"Makasih, tapi aku nggak mau ngerepotin kamu terus."

"Tapi—" Kening Arunika mengernyitkan melihat ekspresi Mawar yang mendadak berubah walau hanya sedetik sebelum gadis itu buru-buru pamit entah kemana.

"Loh—" Arunika yang tadinya hendak berteriak memanggil Mawar harus terhenti akibat sebuah topi mendarat di kepalanya dari arah belakang.

Sejenak Arunika terdiam kaget, ingin melihat pelaku gadis berbalik badan saat itu pula bola matanya melebar sempurna.

"Kamu—"

"Pakai, jangan di lepas. Lo bisa di hukum nanti." Suara berat itu mengalun menyapa indera pendengar Arunika. Sempat bersitatap beberapa saat Arunika berkedip, baru membuka mulut pemuda itu dengan santai berjalan meninggalkannya.

"Topinya.."

"Huh, dia udah pergi. Aku kaget tadi tiba-tiba si Damara berdiri di belakang kamu, rupanya mau ngasih topi."

Arunika reflek menoleh ke samping ketika mendengar suara milik sahabatnya.

"Damara?"

•••

A Little HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang