Prologue

2K 72 2
                                    

Seorang gadis tengah duduk di sebuah kursi dengan tangan menumpu di atas pagar pembatas balkon kamar miliknya. Tatapannya mengadah ke langit malam.

Memandangi bulan sabit entah mengapa membuatnya terasa tercekik hingga kesusahan bernapas. Angin yang berhembus kencang menerbangkan anak rambutnya.

Dingin, tapi gadis itu masih enggan beranjak dari sana. Dalam diam ia berpikir apakah dirinya memiliki kesalahan teramat besar sampai Tuhan memberikan coba berat padanya. Ia sama seperti gadis remaja pada umumnya yang masih suka mengeluh atas masalah-masalah yang menimpanya.

Kenapa harus aku? Aku tidak sekuat itu menanggung semua. Kurang lebih batinnya sering berkata demikian.

Sepi, telah menjadi temannya sejak lama. Sejak insiden tak di sangka itu terjadi menyebabkan dirinya di fitnah dan di benci oleh keluarga-nya.

Satu pun anggota keluarga tidak ada yang mempercayai meski ia menceritakan semuanya adalah kejujuran.  Tidak ada keluarga yang hangat lagi, kasih sayang yang tercurah dari mama serta papa.

Gadis itu hanya bisa mendengar suara canda tawa kedua orang tua dan kakak perempuannya menjadikan suasana rumah ramai serta berwarna.

Tetapi jika ia muncul di antara mereka canda tawa itu lenyap dan tatapan penuh kebencian di arahkan padanya.

Tidak di anggap sudah jadi hal biasa baginya, meski ia tak menampik rasanya tetap menyesakkan.

Bila di sekolah ia tak terlihat begitu menyedihkan sebab ia memiliki seorang sahabat.

Sosok sahabat yang menyayangi nya tulus, yang sering bertanya bagaimana keadaannya. Setidaknya ia masih memiliki beberapa orang yang bertahan di sisi nya, mempercayai nya.

Gadis itu bangkit dari duduknya melangkahkan kaki masuk ke kamar karena merasa kedinginan. Namun, saat ia ingin mendekati ranjang tatapan tak sengaja jatuh pada sebuah cermin full body di dekat meja rias.

Cermin yang memantulkan sosok tubuhnya yang ringkih serta kulit putihnya. Tangannya terangkat menyentuh pipi nya terdapat memar yang mulai menghilang.

Luka itu dapat kan tiga hari lalu dari sang papa, masih teringat jelas di kepalanya tanpa alasan yang jelas papa-nya melayangkan tamparan keras hingga ia terhempas ke lantai.

Sakit.

Bibirnya terangkat membentuk senyum miris, pupil matanya kembali bergetar.

Mengapa orang tua yang seharusnya menjadi panutan nya menyakiti nya tanpa segan. Gadis itu berbalik badan mendudukkan diri di lantai samping ranjang mengabaikan rasa dingin. Memeluk lututnya sendiri.

Perundungan, cemoohan, cacian, sudah menjadi makanan sehari-hari maupun di rumah atau sekolah.

Arunika, dia gadis itu. Karena kesalahpahaman yang membuatnya seperti sekarang. Di perlakukan sangat tidak baik, tidak di anggap sebagai anak.

Hampir semua orang membencinya, memandangnya rendah seolah Arunika hanya seonggok sampah.

Ingatan masa lalu tanpa di minta berputar di otaknya bagai kaset rusak.

Arunika dan Embun sedang bermain bola di sebuah taman bermain yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Waktu itu suasana di sana cukup sepi cuma ada kedua bersaudari tersebut.

Asik-asiknya bermain Arunika tak sengaja melempar bola yang mestinya di tangkap oleh Embun justru meleset ke jalan raya.

Arunika berinisiatif mengambil bola itu tapi Embun mencengahnya. Mengotot biar ia saja mengambil bola, Arunika tak bisa berbuat apa-apa kakaknya sangat keras kepala. Alhasil Arunika mengalah.

Ketika bola sudah berada ditangan Embun tiba-tiba dari kejauhan mobil sedan melaju kencang ke arah Embun. Arunika yang melihat itu membulatkan mata dan sontak berteriak.

"AWAS KAKK!!"

Brak

Bruk

Terlambat, kecelakaan itu terjadi sangat cepat. Waktu seakan berjalan lambat saat tubuh kecil Embun terpental jauh akibat tabrakan kuat. Bukannya berhenti untuk bertanggung jawab malah pemilik mobil melarikan diri.

Arunika berdiri lemas menyaksikan tragedi berdarah terjadi di hadapannya, di tambah yang mengalami sang kakak.

"EMBUN!" Suara  sang mama dan papa mengalihkan perhatian Arunika.

Kedua orang tua-nya itu tergopoh-gopoh dengan raut yang tak di mengerti Arunika menghampiri tubuh Embun yang tergeletak di aspal bersimbah darah.

Arunika dengan langkah kecilnya berlari ke arah Elina dan Devan dengan air mata membasahi pipi chubby nya. "Ma, pa, kak Embun tapi di tabrak sama mobil, mobilnya lari. Aru nggak bisa cegah. Tapi kak Embun baik-baik aja 'kan?" ujarnya beruntun.

Jemarinya menyentuh ujung baju sang mama tetapi wanita itu mengabaikan Arunika. Tak menyerah Arunika beralih menyentuh ujung kemeja yang di kenakan Devan, ia mendongak. "Pa, Kak Embun baik-baik aja 'kan? Mama nggak jawab Aru."

Respon dari Devan membuat Arunika tersentak kecil, Devan menepis tangan mungilnya. Belum lagi tatapan tajam bagai laser membuat Arunika gemetar sebab takut. Bocah itu menunduk dalam air matanya berjatuhan.

Itu pertama kalinya Devan menatapnya seperti itu. "Papa." cicitnya dengan suara bergetar.

"Pa, cari taksi. Kita harus secepatnya membawa Embun kerumah sakit!" desak Elina panik sambil terisak.

Bertepatan dengan Elina mendesak, taksi berhenti seolah mengerti bahwa mereka memerlukan. Tanpa mengatakan apapun Devan membopong tubuh kecil Embun di ikuti  Elina memasuki taksi yang pintunya telah di buka lebar.

Baru Arunika ingin menyusul juga taksi tersebut melaju cepat meninggalkan bocah perempuan dengan tatapan bingungnya.

Kenangan inilah yang paling ingin Arunika lupakan selamanya. Kenangan yang mengubah hidupnya.

Hingga saat ini.

————

A Little HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang