06

442 31 0
                                    

Damara tengah duduk seorang diri di sebuah sofa yang tersedia di rooftop sekolah. Jam pelajaran saat ini sedang berlangsung tetapi bukannya mengikuti pelajaran Damara justru bersantai disini.

Sibuk berkelud dengan pemikirannya yang beberapa bulan ini sosok gadis berhasil menyita perhatiannya.

Arunika.

Entah apa yang terjadi dengan dirinya, yang jelas Damara tidak bisa tepiskan.

Helaan napas berat keluar dari mulutnya, netra hitam miliknya menatap lurus langit berawan.

Sampai suara seseorang mengalihkan fokus. Tanpa menengok sang pelaku pun pemuda itu mengetahuinya.

"Ck, lo kesini nggak ngajak kita-kita,"

"Iya tuh, ngapain menyendiri disini. Lagi banyak pikiran kah?" timpal lainnya.

Nathan berdeham pelan sebelum berbicara. "Bdw akhir-akhir ini gue perhatiin ada yang beda dari lo,"

Masih dengan posisi yang sama Damara menjawab. "Apa?" balasnya singkat.

"Lo ... Lagi suka sama seseorang ya?" Mendapat pertanyaan demikian membuat Damara bertanya-tanya pada hatinya.

Apakah benar yang dikatakan Nathan?

Dirinya sedang menyukai seseorang?

"Kebiasaan lo kalo di tanya diem aja. Herman gue."

"Serius lo bjirr? Dama suka orang, siapa tuh?" sahut Alvaro dengan heboh raut wajah pemuda itu tampak bersemangat.

"Dama kan kulkas berjalan Nat, jadi bukan hal mengherankan lagi." Di detik berikutnya mata Dion terbelalak lebar ekspresi kini tak jauh berbeda dari Alvaro, seperti mendapatkan jackpot, "Gue tau siapaa!"

"Siapa?"

"Yang suka ngejar-ngejar si Dama, primadona sini. Pasti dia," Dion tersenyum pongah merasa yakin dengan tebakannya.

Sagara yang sejak tadi hanya mengamati kini mulai ikut bersuara. "Lo percaya sama makhluk satu itu?" Sagara menunjuk Dion menggunakan dagunya.

"Percaya sama dia musyrik," lanjutnya tanpa ekspresi.

Dion memegang dadanya dramatis lalu berkata. "ngejleb banget sekali ngomong lo sagu. Ya meski gue tau sih kalo tebakan gue tadi mustahil, tapi hati siapa yang tau—"

"Salah," suara bernada tegas berasal dari Damara tersebut membuat semuanya menoleh kearahnya.

Alvaro serta Nathan mengulum bibir agar tawa tidak pecah penyebabnya adalah Dion,  menurut keduanya ekpresi pemuda itu lucu.

Namun gagal, Nathan terbahak. "Mampus lo, malu nggak tuh!" Mengingat Dion yang dengan percaya dirinya dengan tebakannya semakin pecahlah tawa Nathan.

Dion memandang Nathan sengit, lantas ia lempar bekas bungkus snack yang sudah di bentuk bola. "Masih mau ketawa lo? Nggak ada yang lucu ya dugong." sungutnya.

***

Jam istirahat telah tiba saat ini Arunika dan Mawar masih berada di dalam kelas, hanya tersisa mereka berdua. Yang lain pasti sudah berbondong-bondong ke kantin.

"Aru, ayo ke kantin. Lapar nih," Sejak tadi cacing perut berdemo minta diisi segera, Mawar tak sabar memakan dua mangkok bakso membayangkan saja hampir membuat iler Mawar jatuh.

"Aku bawa bekal, Maw. lagipula kamu tau aku nggak suka keramaian."

Mawar terdiam seperti dugaannya, tetapi Mawar mengerti akan itu. Kemudian Mawar mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas layaknya mencari sesuatu.

Karenanya Arunika mengerut dahi. "Maw, kamu nyari siapa? Kalo mau ke kantin, sana. Aku nggak papa sendiri."

Melihat tatapan Mawar yang mengkhawatirkannya itu lantas Arunika tersenyum menenangkan. "Iya. Kamu yakin sama aku. Lagian Vina sama circlenya pasti ke kantin jadi nggak ada yang perlu kamu khawatir kan."

Mendengarnya ingatan Mawar berputar ke masa lalu di mana mereka berteman baik, kemana-mana selalu bersama, tidak pernah bertengkar jikapun ada cuma berselisih paham setelahnya kembali seperti semula. Pun merasa beruntung memiliki satu sama lain.

Namun semenjak insiden kala itu semuanya berubah, salah satu diantara mereka begitu membenci Arunika. Ternyata kepercayaan untuk Arunika hanya secuil sehingga yang belum tentu kebenaran di percayai nya.

Dan tentu orang itu mengetahui bagaimana sifat asli Arunika tapi sama sekali tidak mempengaruhi.

Tetap membenci Arunika seolah Arunika lah yang paling bersalah dan tak pantas mendapatkan kata maaf.

Mawar tersenyum miris.

Akhirnya Mawar mengangguk, tidak mungkin juga ia memaksa Arunika untuk hal yang tidak gadis itu sukai.

"Ada yang mau di titip nggak? Sekalian aja." Arunika menggeleng pelan, "Yaudah aku ke kantin sebentar ya. Kamu jangan kemana-mana." Peringat Mawar. Arunika mengancungkan jempolnya.

Arunika menatap punggung Mawar yang menghilang di balik pintu lalu kembali duduk untuk memakan bekalnya.

Tanpa di sadari gadis itu seseorang memerhatikannya dengan tatapan rumit di balik jendela kaca kelas.

Kemudian berlalu dari sana dengan mulut yang setia bungkam.

•••

A Little HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang