03

556 40 0
                                    

Tepat pukul enam sore Arunika masih berada di kafe miliknya bertujuan memantau para pekerja yang sudah dua minggu tidak Arunika pantau. Hari ini juga ia hanya mengikuti pelajaran pertama Arunika banyak menghabiskan waktu beristirahat di uks.

Bersyukur keadaannya kini jauh lebih baik. Untuk Mawar seusai urusannya selesai gadis itu lantas mencarinya bahkan mengirim spam pesan padanya. Arunika paham Mawar begitu karena mengkhawatirkannya yang tiba-tiba saja menghilang hingga pelajaran terakhir tanpa membawa tas, yang hanya Arunika bawa dompet juga ponsel.

Maka dari itu Arunika memberi alasan yang tepat agar Mawar mempercayai dan tidak nekat mendatanginya. Arunika bisa bernapas lega sahabatnya itu percaya dengan alasan yang sebenarnya tak sepenuh berbohong. Kejadian di kantin siang tadi tidak Arunika ceritakan, ia cuma tidak ingin melibatkan serta merepotkan Mawar lagi.

Cukup jadi urusannya saja dan tidak memperpanjang.

Dengan usaha kafe yang telah berjalan sewaktu Arunika duduk di bangku kelas dua SMP Arunika bisa bersekolah serta memenuhi kebutuhan lain. Bisa di bilang Arunika sudah mandiri.

Netranya melirik arloji berwarna putih di pergelangan tangan dua menit lagi pukul tujuh malam, itu artinya Arunika harus pulang. Dengan langkah gontai sang gadis menyusuri jalanan kota Jakarta yang selalu ramai.

Namun sayangnya di tengah keramaian Arunika merasa sepi. Ia menggeleng mengenyahkan perasaan tersebut.

Langit malam mulai bergumuruh tetapi sudah sepuluh menit berjalan angkot belum juga lewat. Jujur rasa takut menghampiri Arunika.

Ia kian mempercepat langkah kakinya dengan mata bergulir kesana kemari berharap menemukan kendaraan umum setidaknya ojek.

Sebenarnya bisa saja Arunika menghubungi pak ucup untuk menjemputnya, tapi lagi-lagi Arunika tak ingin merepotkan lelaki paruh baya yang telah bekerja bertahun-tahun lalu dengan orang tuanya.

Mengantarnya ke sekolah saja sudah lebih dari cukup.

Netra Arunika berbinar kala menemukan pangkalan ojek di sebrang sana. Melirik kanan kiri untuk menyebrang saat sepi Arunika berjalan cepat.

"Ojek mang."

"Kemana neng?"

Lantas Arunika menyebutkan alamat kediaman orang tuanya. Udara malam ini sangat dingin, ditambah hujan akan turun Arunika memeluk dirinya sendiri. "Abis dari mana neng, kok anak sekolah pulangnya selarut itu?" Mang ojek membuka percakapan, mungkin ia heran mengapa Arunika larut begini baru pulang.

Dan Arunika merespon seadanya. "Kerja mang, itung-itung ngurangin beban orangtua," ujarnya di selingi candaan.

Mang ojek tersebut mengangguk agak setuju dengan ucapannya. "Iya sih neng, tapi ada waktunya. Neng masih SMA sebaiknya selesai 'kan dulu, kalo udah lulus baru kerja. Itu saran saya sih."

Arunika merapatkan bibirnya, saran yang di beri tukang ojek ini memang benar tetapi Arunika memiliki Alasan. "Ya gimana lagi mang, saya butuh duit."

Tak ada lagi tanggapan darinya.

Arunika turun dari motor setelah membayar, ia pandangi bangunan mewah serta luas di depannya. Menghembuskan napas Arunika mendorong pagar yang rupanya belum di kunci.

Arunika memandang ragu pintu besar itu berusaha menyakinkan jika tak kan terjadi apa-apa ketika ia masuk nanti.

"Nggak di kunci—"

Plak!

Belum sempat memasuki rumah Arunika mendapat sambutan berupa tamparan keras. Pipinya terasa panas dan perih, sudut bibirnya pun mengeluarkan darah.

"Bagus, baru pulang jam segini. dari mana kamu, mau jadi jalang?!" Suara bariton yang berintonasi tinggi itu berhasil membuat dada Arunika berdenyut nyeri.

Gadis itu menunduk dalam senyum miris terulas di bibirnya, sudah Arunika duga ini terjadi.

Ternyata firasat tidak pernah meleset atau karena Arunika telah terbiasa mendapatkan itu?

"Atau kamu emang dari ngejalang, mau buat malu keluarga, hah!" Arunika masih menunduk tidak punya keberanian menatap wajah sang papa.

Tanpa aba-aba tangannya di tarik paksa masuk ke dalam rumah kemudian di hempaskam hingga Arunika tersungkur di depan kaki Devano.

Rasa sakit di lututnya akibat jatuh di sekolah tadi yang sempat hilang kembali terasa.

"KALO DITANYA ITU JAWAB!" Itu Elina yang membentaknya keras.

Tangannya bertumpu di ubin dingin mengepal kuat bahkan matanya kini telah memerah menahan tangis.

Arunika sama sekali tidak berniat menjawab sebab sekalipun dirinya jujur tidak akan ada yang percaya.

"SAYA TAU KAMU TIDAK BISU ARUNIKA!"

Arunika tetap pada pendiriannya memilih bungkam.

Elina yang kepalang kesal sang putri tidak menjawab pertanyaan suaminya itu, menarik kuat rambut panjang Arunika membuat sang pemilik terpaksa mendongak. "Dasar anak tidak tau sopan santun. Beraninya kamu mengabaikan suami saya."

"To-tolong lepas ini sakit ma." Elina tersenyum jahat melihat ekspresi permohonan Arunika, ia lepas secara kasar tidak sampai disitu Elina kembali menampar pipi Arunika tepat di bekas tamparan Devano tadi.

Puas dengan apa yang di lakukannya Elina mengajak Devano dan Embun melenggang pergi dari sana. Namun sebelum benar-benar pergi Devano sempat mengatakan dengan nada dingin dan tajam yang membuat Arunika semakin terhenyak.

"Itu pelajaran buat anak tidak tau diri seperti kamu."

Arunika merosot tubuhnya di belakang pintu kamar miliknya, setelah kepergian kedua orang tua beserta kakaknya Arunika lari menaiki tangga ke kamarnya.

Memeluk lutut Arunika menangis sejadi-jadinya bahunya bergetar hebat. Tangisan terdengar sangat menyakitkan dada nya terasa sesak Arunika pukul berharap rasa sesak menghilang.

"Sakit..." lirihnya. Fisiknya memang sakit tetapi hatinya lebih sakit. Arunika menyembunyikan wajah di lipatan lutut.

Jika Arunika boleh jujur Arunika memiliki rasa iri kepada kakaknya. Terkadang ada perasaan ingin berada di posisi Embun supaya mendapat kasih sayang dan perhatian Devano juga Elina.

Tidak seperti dirinya yang cuma mendapat perlakuan tidak layak, di benci, dan tak di anggap ada.

Namun itu cuma bisa menjadi sebatas keinginan seorang Arunika.

Apa memang Arunika pantas di benci?

Apa memang Arunika pantas di perlakukan tidak baik?

Apa Arunika memang layak tidak mendapat kebahagiaan walau sedikit saja?

Sebenarnya apa kesalahannya, sehingga Arunika harus menanggung semuanya?

Apa dosa Arunika memang sebesar itu?

Arunika lelah tetapi Arunika tidak mau menyerah.

————

A Little HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang