"Babang varo ganteng banget,"
"Dion juga nggak kalah ganteng tuh."
"Indah sekali ciptaan Tuhan."
"Jadikan aku pacarmu bang,"
Begitu tiba di kantin seru-seruan seperti itulah selalu menyambut circle Damara.
Alvaro dan Dion hanya senyam-senyum saja sambil menyugarkan rambut ke belakang, bermaksud tebar pesona. "Liat tuh, pesona gue emang nggak bisa di ragukan lagi." Alvaro melirik sinis Dion yang tengah memamerkan senyum yang menurutnya menyebalkan.
"Dih bukan lo doang gue juga tuh, Liat cewek-cewek ngeliatin gue apalagi gue kan lebih tamvan." ujar Alavro tak mau kalah
"Ke geer-an banget jadi human," Tak sadarkah keduanya sama saja. Memang cocok sekali berkawan.
"Iri bilang kawan,"
"Dih, iri sama lo, sorry nggak lepel."
"Jalan woii ngapain berdiri doang, mau jadi penjaga pintu kalian berdua?" Suara yang berasal dari belakang mengejutkan duo sekawan tersebut.
"Anying, lo ngagetin, untung gue nggak punya riwayat jantung, kalo punya bisa berabe mana belum nikah lagi," celetuk Alvaro penuh dramatis.
Sementara pelaku memutar bola mata malas, tidak heran lagi karena terkadang Alvaro memang suka men-drama. "Dama sama sagu mana?" Ia malah bertanya hal lain, lagi malas meladeni tingkah cowok itu.
Dengan kompak Alvaro juga Dion menunjuk kedua temannya dengan dagu pada sebuah meja yang terletak di pojok kantin, bersampingan dengan jendela. "Noh!"
"Eh gue baru sadar dua cewek tuh siapa? Kayak nggak asing," Dion memicingkan mata memperjelas penglihatannya.
"Entah, kesana aja lah yok biar tau pasti."
Ketika jarak telah dekat baru mereka dapat melihat dengan jelas, Dion mangut-mangut. "Udah gue tebak sih. Kalo bukan Embun sama Vina siapa lagi yang berani nyamperin Dama." tutur Dion sekenanya.
Tanpa basa-basi lagi ketiga orang tersebut mengambil tempat di depan Damara dan Sagara.
Damara fokus menikmati makannya sedangkan gadis di depannya tepat di sebelah Nathan memandangi wajah Damara memuja. Siapapun tahu bagaimana sosok primadona sekolah menyukai cowok di hadapannya.
Semua tingkah gadis itu tak luput dari pengamatan ketiganya terkecuali Sagara si kutub utara, yang tak pernah peduli dengan sekitar seolah ia mempunyai dunia sendiri.
Tak tahan akhirnya Alvaro berdeham agak keras, namun agak sia-sia sebab kedua gadis yang tanpa di undang duduk di bangku mereka tidak menggubris sama sekali. "Ngapain kalian berdua disini?"
"Punya mata kan, ya makanlah," Vina menjawab dengan nada sewot.
"Ck, gue tau tapi kenapa harus disini?" tanya Alvaro dengan nada yang sama, tatapan matanya pun tersirat tidak suka.
"Suka-suka kita dong, ini kantin siapapun bebas milih duduk dimana."
Alvaro sedikit kewalahan meladeni Vina dan akhirnya ia menutup mulut.
"Embun dari tadi natap lo mulu, nggak risih apa?" Nathan sedikit merasa heran pasalnya wajah tanpa ekspresi Damara tidak dapat di tebak.
Kini atensi Embun teralih tatapan sengit ia layangkan kearah Nathan. "Apa sih, kok lo yang repot." Bukan Embun yang menjawab melainkan Vina.
Meski Damara terlihat tak peduli dalam diamnya ia merasa risih di perhatikan sedemikian rupa, tapi rasa malasnya untuk bersuara lebih mendominasi jadi Damara memilih diam.
***
Sedangkan di sisi lain Arunika sedang asik dengan makanannya, semula ketenangan yang di terimanya sebelum suara yang paling tak mau Arunika temui menyapanya.
"Si cupu rupanya disini, pantasan di cari kemana-mana nggak ketemu, buat pegal kaki gue aja," bentakan yang di lontarkan dari salah satu teman Vina tersebut memekakkan telinga Arunika.
Walau begitu Arunika masih berusaha tidak peduli dengan kehadiran ketiga orang lainnya, Arunika tetap mengunyah makanannya meski kini terasa sulit.
Karena respon yang di berikan Arunika demikian berhasil menyulut emosi mereka. Bentakan yang lebih keras kembali di terima Arunika membuat gadis berjengit kaget. "Kalo di tanya jawab cupu, punya nyali apa lo berani abaikan kita-kita!"
Penampilan Arunika tidak cupu entah apa alasan dirinya sering di sebut begitu.
Akhirnya Arunika memilih menyudahi acara makannya menyimpan kotak bekal di dalam tas kembali. Arunika tampak sangat tenang tidak ada riak ketakutan meskipun aura yang di rasanya kini berbeda.
Lebih tepatnya Arunika tengah menguasai diri.
Lantas gadis itu berdiri hendak pergi lebih baik mengalah, dia hanya ingin ketenangan tapi tampaknya keinginannya tak pernah memihak
Namun baru beberapa langkah, tubuhnya terhuyung ke depan hingga jatuh bersimpuh tepat di bawah teman laki-laki Vina.
Memang tidak memiliki hati sudah sengaja melakukannya kini Arunika di tertawakan.
"Rasain hahaha, emang enak. Suruh siapa sok-sokan nyuekin kita. Dasar cupu gak tau diri!"
Nancy berjalan mendekat pada Arunika yang masih dalam posisinya, tanpa beban jemari lentiknya menarik kuat rambut panjang Arunika yang terurai memaksa Arunika agar mendongak.
Nancy tersenyum puas melihat raut wajah Arunika yang menahan sakit. "Masih mau melawan, bitch?!"
Jambakan yang di dapatnya tidak main-main rasanya rambut Arunika hendak copot ditambah lututnya yang sakit pasti kembali memar.
Kasian sekali bukan.
Mati-matian menahan air matanya agar tak jatuh. Mereka sama sekali tak membiarkan hidupnya tenang sehari saja.
Kepalanya mulai pusing.
"To-tolong le-lepas," pintanya dengan suara lirih tapi masih bisa di dengar Nancy dan dua laki-laki itu.
Ia melepaskan jambakannya kuat sampai kepala Arunika tertoreh.
Arunika kira hanya sampai di sana nyatanya dugaannya salah, sepertinya mereka belum puas dengan penderitaan yang di terimanya.
Cowok yang tak diketahui namanya tersebut berjongkok lalu tangannya terangkat mencengkram kuat pipi gadis malang tersebut, menjadi wajah keduanya berhadapan.
Tatapan kebencian juga jijik seolah Arunika adalah makhluk menjijikan, dengan jelas Arunika lihat. "Jangan sok cantik lo," desisnya tajam.
Mulut sang gadis masih setia bungkam.
Menahan perih dari tusukkan kuku panjang cowok itu yang menancap di pipinya, bisa di pastikan berdarah.
Selanjutnya cowok itu melepaskan cengkramannya kemudian berdiri seakan tidak puas melihat gadis bully-an kesakitan ia menginjak tangan Arunika, memutar sepatunya.
Puas dengan tindakannya cowok itu mengangkat kakinya. "Hadiah dari gue, enak kan?"
"Jelas enaklah itu dari tadi si cupu diam aja pasti dia nikmatin."
"Jujur aja nih ya Nan, gue masih nggak percaya kalo dia adiknya Embun soalnya beda jauh ibarat bumi sama langit. Kakaknya bidadari sementara adeknya seonggok sampah yang sama sekali nggak berharga,"
Arunika menggigit bibirnya mendengar hinaan itu dengan kepala tertunduk.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Hope
De TodoDidalam hidup Arunika hanya ada dua wish list yang sangat mau ia capai. Ingin bahagia dan dicintai kembali kedua orang tuanya. Apa keinginannya itu muluk-muluk sampai rasanya sulit untuk dikabulkan? Sejak peristiwa mengerikan menimpa keluarganya mem...