Prologue

1.4K 112 8
                                    

(NAME)'S P.O.V

Setiap manusia pastinya menginginkan keadilan, 'kan? Aku juga mau itu, tapi ayahku tak pernah memberikan hal semacam itu.

Aku tau, aku adalah anak pertama. Kakak tertua. Aku juga tau, aku harus bisa mengalah untuk adikku. Tapi, bukan berarti aku harus selalu mengalah. Itu tidak adil.

Apa kau senang jika hanya adikmu yang diutamakan, diberikan perhatian serta kasih sayang, sedangkan aku merasa tidak dianggap ada lagi.

Aku ingin perhatiannya lagi, meski hanya sebentar.

Kalian tak bisa menyingkirkanku secara perlahan seperti ini. Hanya karena aku sudah besar, jadi tak perlu dimanja? Itu namanya bukan manja. Aku tetap manusia sampai aku tiada.

Aku tetap membutuhkan perhatian darimu, ayah.

(NAME)'S P.O.V END

Langit sore ini tampak mengabu, tapi itu tidak meyakinkan jika akan turun hujan. Walau begitu, angin dingin berhembus dengan sedikit kencang dan membuat dedaunan pohon menari-nari. Pada suasana beginilah seharusnya orang-orang beristirahat di dalam gelungan selimut. Bukannya memulai masalah.

"Nak, ayah ingin mengatakan sesuatu," ucap sang ayah.

"Mengatakan apa?" sahut (Name)

"Ayah akan menikah lagi."

(Name) tak memberi respons apapun setelah Deon, ayahnya, mengatakan hal itu. Hanya ekspresi terdiam yang terlihat.

"Ayah tau kamu kecewa, tapi nenek kamu yang menyuruh agar ayah menikah lagi." ucap Deon lagi.

"Satu aja, gak cukup?"

"Bukannya begitu ..."

'Pasti dapat adik tiri lagi.' batin (Name)

"Dia janda?" tebak (Name)

"Iya,"

"Punya anak? Cewek?"

Deon dibuat terdiam sambil bergumam. Entah kenapa anaknya ini benar, apa karena sebelumnya ia juga mendapat ibu tiri serta adik tiri dari hasil pernikahan itu?

"Ya sudah, terserah ayah mau nikah berapa kali pun itu." (Name) pun langsung pergi dari situ.

"Nak-"

===

"Kakakmu mana?" tanya Deon pada anak keduanya yang merupakan adik tiri (Name).

"Aku gak tau. Emangnya kenapa, ayah?" sahut Ryan, si adik tiri tersebut.

"Suruh kakakmu ke sini." ujar Deon

"... Nanti juga dia datang sendiri, tungguin aja, yah." sahut Ryan. Begitu katanya, sebab ia tak berniat memanggil kakaknya itu.

"Nah, itu, dia datang." ujarnya saat melihat (Name) datang dari arah tangga.

(Name) hanya menatap dengan bingung ke arah mereka bertiga yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Sini, nak." ucap Deon, (Name) pun menghampiri mereka.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.

"Liya, Ryan, dan juga (Name). Mereka berdua adalah anggota baru keluarga kita." ujar Deon, memperkenalkan dua orang perempuan yang masuk ke rumah mereka setelah bel pintu tadi berbunyi.

Suasana pun jadi hening sejenak.

"Kenapa kamu mau-maunya, sih, disuruh nikah lagi? Aku aja gak cukup untuk kamu?" ucap Liya, sang istri sah atau katakan saja ibunya Ryan.

Deon menghela napasnya. "Gimana, ya, ini demi ibuku."

"Tetap aja-"

"Halah, mereka masih di sini, pah? Kenapa gak diusir aja," ucap calon istrinya Deon tiba-tiba. Wanita itu bernama Elnia.

"Apa maksudmu? Kalian hanya pendatang baru, jangan sok." cibir Liya

"Tolong jangan ribut. Ini sudah malam." sela Deon

(Name) dan Ryan hanya diam di tempat masing-masing. Ryan menatap kakak barunya, namanya Ela.

"Mamah, mereka kakak dan adik baru aku?" tanya Ela, anak remajanya Elnia.

"Iya, sayang." ucap Elnia

'Sok imut banget, dah.' batin Ryan, merasa geli melihat Ela.

"Baiklah, biar aku tunjukkan kamar kalian." ucap Deon

"Aku mau sekamar sama kamu, pah." ujar Elnia

"Enak aja, aku sudah sekamar sama Deon." sahut Liya

"Iya, iya, boleh." ucap Deon, terdengar pasrah.

"Kalau aku, dimana, pah?" sela Ela

"Di lantai tiga, searah dengan kamar kakak dan adikmu."

"Baiklah."

Lain halnya dengan (Name), ia tak ada melakukan apapun daritadi, bahkan untuk sekedar mendekat. Ia sudah mulai merasakan hawa ibu tiri yang biasa ia lihat dari drama televisi. Lebih baik ia diam dengan pikiran yang ramai.

KEESOKAN HARI

"Heh, nama lo Ryan, 'kan?"

Tak tau apa salahnya, Ryan malah harus berpapasan dengan kakak tirinya. Padahal, kemarin gadis itu tampak kalem dan imut-imut, sekarang malah beda banget.

"Gua mau tukar kamar, gua mau di kamar lo. Gua lihat kamar lo bagus." ucap Ela dengan seenaknya pada Ryan.

"Lah, terus gua mau? Udah dikasih tempat tidur yang layak tuh minimal kalem. Daripada lo tidur di ruang tamu." sahut Ryan dengan tidak halus.

"Ihh! Pokoknya aku mau di kamar itu. Yang lebih kecil dari aku, harus menurut sama aku."

"Idih, ogah."

Ryan, meski dia laki-laki dia memiliki mulut yang pedas. Tak jarang ia menang saat melakukan adu argumen. Bahkan jika ada perselisihan diantara temannya, ia yang akan debat hingga pihaknya menang.

"Ryan!" ucap Ela dengan nada merengek, tak lupa dengan kaki yang ia hentakkan.

"Dasar lonte." ejek Ryan

"Ada apa ini pagi-pagi?" tanya Elnia yang kebetulan lewat, dan melihat pertengkaran kecil dua remaja itu.

"Itu, mah! Ryan!" ucap Ela, mulai mengadu pada ibunya.

"Apa yang kamu lakukan pada anak saya?" tanya Elnia, seolah Ryan yang bersalah dan patut dipojokkan.

"Jaga matanya, ya, buk. Takutnya itu nanti jatuh kalau dipelototin. Dia tadi yang mulai duluan." ucap Ryan

"Aku mau kamar dia, mah, aku gak suka dengan kamar yang diberi papah."

"Oh, begitu. Heh, kamu! Ngalah dong sama kakak, lagipula dia itu cewek,"

"Baru tau ada aturan adik mengalah dengan kakak."

"Udah, tinggal bertukar aja susah!" ucap Elnia

"Aku gak peduli! Cuma kamar, malah ribut, dasar cabe layu." Setelahnya, Ryan segera melenggang pergi dari sana. Meladeni kedua perempuan itu sama saja dengan menghabiskan energi untuk hal sia-sia.

"Hmphh! Mah, kenapa papah enggak mengusir mereka? Cuma penganggu." ujar Ela

"Papa kamu keras kepala, mana mau usir jalang dan anak-anaknya itu. Buat apa juga masih disayang."

"Aaahh, papah pilih kasih!"

To Be Continued

Unfair [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang