18

32 3 0
                                    

"Maksud lo?" tanya gue bingung, sumpah asli ini gue yang bego apa emang cewek ini yang aneh sih.

"You're mine. See you soon," ujarnya sambil mencolek genit dagu gue.

Kemudian dia kembali mengemudikan mobilnya yang bamper belakangnya gak kalah penyoknya dari mobil gue. Meninggalkan gue yang masih duduk mematung disana, di tengah ramainya lalu lintas jalan saat itu. Gak berapa lama kemudian, hape gue berdering tanda ada telepon masuk.

📞 My princess is calling

"Halo kesayangan abang, ada apa nih malem-malem telepon? Kangen ya?"

"Hiks, hiks, huhuhuhu ba-bang...."

"Jen, halo? Lo kenapa nangis? Dimana lo sekarang?" tanya gue panik.

"Huhuhuhuhu, hiks, hiks, ba-bang...."

Damn, gue paling gak bisa denger bunda ataupun Jeane nangis. Semanja-manjanya Jeane, dia gak akan se-helpless ini kalau kondisi dia sekarang lagi gak terdesak banget.

Tanpa buang waktu gue langsung lacak GPS dari hapenya Jeane, buat cari tau lokasinya sekarang ada dimana. Dan sekali lagi, terima kasih buat Google Map, gue kali ini bener-bener tertolong.

Gue lihat Jeane lagi di paksa sama laki-laki paruh baya buat masuk ke dalam mobilnya. Ini sudah jam 21.00 malam, bisa-bisanya laki-laki tua itu menyeret adik perempuan kesayangan gue dan buat dia menangis tersedu-sedu.

Buakk

Gue langsung lari keluar dari mobil gue dan menarik kerah baju laki-laki itu, hanya untuk menghujaninya dengan pukulan-pukulan mentah dari tangan kanan gue sedangkan tangan kiri gue yang tetap mencengkram kuat kerah bajunya.

Buakk

"Berani-beraninya lo nampakin diri lagi setelah semua yang lo lakuin, haa!"

Buakk

"Aku ini ayah kalian! Aku cuma mau ketemu sama anakku," ujarnya setelah membalas gue dengan satu pukulan yang membuat gue lumayan terhuyung mundur.

"Hahahaha," tawa gue garing sambil menyeka sisi bibir gue yang berdarah.

"Ayah? Anak? Gak tau malu banget ngomong kayak gitu. Coba sini pukul lagi, yang sebelah sini belum nih," sambung gue memasrahkan sisi pipi gue yang lainnya.

"Jey, ayah cuma pengen ketemu."

"Berhenti sebut diri lo sebagai Ayah! Gue muak banget dengernya. Ayah mana yang gak pernah sekalipun ngasih nafkah buat anak istrinya? Ayah mana yang gak pernah sekalipun ngasih kasih sayang seorang Ayah dan suami untuk anak istrinya? Ayah? Hahahaha jangan ngimpi, lo cuma pantes disebut benalu."

Gue menghampiri Jeane dan menggendongnya, karena badannya sudah gemetaran dan tersungkur lemas di tanah dengan isak tangisnya yang gak kunjung berhenti untuk membawanya masuk ke mobil gue.

"Kamu yang sopan bicara sama ayah! Kayak anak gak di didik sama ibunya aja."

Darah gue mendidih ke ubun-ubun, sampai gue lepas kendali, gagal untuk menahan emosi gue.

Gue kembali melangkahkan kaki gue cepat ke arah pria itu setelah mendudukan Jeane di bangku depan, hanya untuk kembali menghujani laki-laki paruh baya itu dengan pukulan-pukulan yang lebih keras dari sebelumnya.

Gue gak akan sudi memakai sebutan Anda-Saya untuk laki-laki paling gak tau diri dan gak tau malu ini. Gue bersumpah sampai kapanpun itu, gue gak akan pernah menganggapnya sebagai manusia.

"Udah bang, udah, ngeladenin dia gak akan ada habisnya. Ayo kita pulang aja," Jeane yang ternyata lari menghampiri gue dan langsung memeluk badan gue erat untuk menghentikan amukan gue ke pria itu.

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang