Jalan Kunang-Kunang

254 7 0
                                    

A Short story written by Calista Raissa Putri ssamuaachi
SMPN 41 Jakarta


Sedari kecil, aku memiliki banyak sekali pertanyaan tentang dunia. Itupun didukung dengan latar belakang keluargaku. Ayah menjadi salah satu pendiri perusahaan mobil di Indonesia, dan bunda adalah ibu rumah tangga yang berpengetahuan luas.

"Bunda, kalau mobil punya mesin apa kita juga punya mesin?" Rasa penasaran yang begitu kuat tak bisa menghindari mulutku bertanya.

"Ada, Mala. Di sini, jantungmu. Bahkan ia adalah mesin terkuat di dunia," jawab bunda sembari menunjuk rongga dada sebelah kiriku.

Aku yang dulu sangat senang dengan jawaban dari bunda selalu mengingat dan merasa bangga akan hal itu.

Sampai dimana aku menginjak Sekolah Menengah Pertama. Ketika anak seusiaku  masih ragu untuk menentukan cita-cita di masa depan. Aku yang akan pertama kali mengangkat tangan dan berucap, "Mala ingin menjadi dokter jantung!"

Dengan tekad dan niat yang kuat sedari kecil, juga dukungan dari ayah dan bunda untuk aku menggapai cita-cita. Akhirnya setelah melewati jalur akselerasi di Sekolah Menengah Akhir aku pun diterima di universitas favorit dengan fakultas kedokteran dan jurusan impianku, spesialis jantung.

Walau tidak bisa menikmati apa itu beasiswa, karena ayah dan bunda yang terbilang mampu, namun aku sangat senang peluangku menggapai cita-citaku besar!

Tak menyia-nyiakan apa yang sudah didapat, aku pun memulai perjalanan menjadi mahasiwa. Semester 1... Semester 2... Semester 3... ‘Ku lalui dengan hati yang ringan, semua lelah yang ada tak sedikitpun menghalangi ambisi untuk tetap berjalan.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Baru saja ingin beralih di semester 4, perusahaan ayah bangkrut. Memang, sedari aku masuk kuliah omset ayah mengalami penurunan namun tidak terlalu pesat. Ayah masih bisa mengatasi itu dengan kerja kerasnya. Jadi, aku tidak membayangkan akan hal ini terjadi.

Semua teman-teman memberi dukungan, begitupun dengan dosen-dosen yang mengenalku. Tapi aku tahu, jika melanjutkan berkuliah akan banyak dampak untuk ekonomi keluarga. Mengetahui bahwa uang bayaran kuliah yang tinggi tidak bisa hanya bunda yang mengurus dengan tabungannya. Aku memang punya tabungan, namun masih kurang cukup untuk membiayai sampai akhir.

Sempat nekat untuk melanjutkan kuliah, namun baru saja 2 minggu dengan pengeluaran praktik yang lumayan mahal membuatku bimbang. Ini tidak bisa dilanjut, aku harus putus kuliah. Akan aku usahakan untuk secepatnya kembali, agar ayah dan bunda yang sudah mulai berumur dapat melihat aku menjadi dokter jantung.

"Putriku Mala, ini adalah keputusan terbesar yang harus kau pilih. Maaf jika ini berat untukmu, ayah dan bunda hanya bisa mendukung apa keputusan terbaik," tutur ayah.

Aku mengajukan surat pengunduran diri ke pihak kampus, berharap akan mudah prosesnya. Tuhan mengabulkan harapan ini, pihak kampus menyetujui.

Temanku, Aura memberikan bantuan kenalan pamannya yang mendirikan usaha makanan ringan lumayan terpandang di mata masyarakat, beruntungnya pabrik mereka sedang mencari pekerja.

Aku memang tidak mendapatkan posisi yang tinggi namun upah yang diberikan perbulan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Susah sebenernya, bekerja di bidang yang tidak matching dengan latar pendidikanku. Namun, apa boleh buat jika takdir sudah bertindak?

Selama 1 tahun aku jalani dengan susah payah, sedih dan senang. Walau begitu, aku tetap berusaha maksimal dalam bekerja. Tak mudah karena lingkup yang berbeda dari kuliah. Ditambah faktor pekerja lain lebih tua daripada diriku. Jadi terkadang suka merasa kesepian.

Suatu saat, Aura berkunjung ke tempat itu dengan paman dan temannya, selaku owner dari usaha yang membiayai hidupku setahun ini. Pak Genta namanya.

Pak Genta merupakan sosok yang baik dan ramah, kemampuan berbicaranya juga tinggi. Pak Genta memang sudah berumur 45 tahun, namun auranya memancarkan anak muda yang gigih dan penuh semangat.

Beliau sangat menginspirasi diriku untuk menjadi pribadi yang lebih gigih dalam bekerja agar bisa mencapai mimpiku.

Setelah melakukan pertemuan singkat itu, Pak Genta jadi lebih sering ke pabrik untuk mengecek kinerja pegawai-pegawai.

Suatu hari Pak Genta melakukan kunjungan seperti biasa, namun aku dipanggil ke ruangan pribadinya. Pikiranku berkecamuk, apakah kinerjaku buruk dan ingin diberhentikan? Segala persepsi buruk terus berseliweran di pikiranku.

"Mala, bagaimana jika aku membiayai kuliahmu sampai tamat?" Pertanyaan pertama yang mampu membuatku tertegun beberapa saat.

Ini bukan mimpi, kan? Sebuah keajaiban untuk diriku mendapatkan kesempatan melanjutkan apa yang aku perjuangkan selama ini? Tuhan begitu baik. Tapi

"Pak, apa penawaran ini merupakan sebuah simbiosis mutualisme? Jika iya saya akan menerima, namun jika hanya saya yang merasakan keuntungan maaf terima kasih, Pak." Senyuman tipis merekah, aku takut menyinggung perasaan Pak Genta.

Ternyata, Pak Genta memiliki alasan khusus. Dirinya mengidap penyakit jantung koroner yang membuatnya tidak banyak melakukan aktivitas di pabrik. Karena itupun, Pak Genta melihat aku sebagai orang yang memang harus menggapai mimpinya. Pak Genta ingin membantuku, sebagaimana dokter-dokter jantung telah membantu dirinya.

Setelah berfikir lama aku pun menyetujuinya, dengan syarat masih bisa membantu di pabrik jika memiliki waktu luang namun tidak harus dibayar.

Akhirnya aku kembali ke dunia perkuliahan, ku fokuskan diri hanya untuk menuntut ilmu. Pak Genta rutin menanyakan kebutuhanku, terkadang diri ini masih kurang enak untuk mengatakan namun memang harus dikatakan. Ayah dan bunda juga yang menjadi pondasi dari kekuatanku saat itu.

Usaha tidak mengkhianati hasil. Setelah beberapa tahun aku lulus dengan nilai yang tinggi. Banyak rumah sakit ternama yang menjadi saran dosenku untuk bekerja. Namun, sudah ku niatkan aku akan mengurus Pak Genta. Kondisi beliau melemah setelah aku lulus, jadi ku putuskan untuk merawat dirinya.

Pak Genta berfikir jika aku harusnya langsung ke rumah sakit untuk bekerja, namun Pak Genta tidak punya tenaga untuk menolak keinganku. Ayah dan bunda setuju jika aku merawat Pak Genta, menjadi dokter pribadinya

Di beberapa waktu setelah aku menjadi dokter pribadinya, Pak Genta berusaha kuat melawan penyakitnya. Ditambah usianya yang sudah menua, dirinya semakin lemas.

Sampai dimana, Pak Genta menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang.

Aku sedih karena baru sebentar aku membalas jasanya, namun bersyukur juga karena sempat membantu Pak Genta  dalam melawan penyakitnya.

Setelah itu, aku bekerja di salah satu rumah sakit besar di ibukota. Dan aku menjalankan hidup sesuai dengan harapan. Membantu pasien yang memiliki penyakit jantung, mengurus orang tua di masa tuanya, menjadi perempuan yang cerdas juga bertanggung jawab. Walau lelah dan berliku-liku usahanya, namun hasil yang ku dapat tak main-main nikmatnya.

Hari ini, diriku sudah bisa berkata, sembari memeluk ayah dan bunda yang menungguku di rumah.

"Ayah bunda, Dokter Jantung kalian sudah pulang!"

Setapak SemangatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang