Hari ini, terjadi lagi.
Felix tahu, bahkan sangat tahu yang ia lakukan adalah salah. Tapi, ia tak punya pemikiran lain di kepalanya selain inilah satu-satunya cara menyingkirkan depresi kepalanya.
Tidak, Felix tidak menangis lagi seperti hari itu. Tidak juga menggunakan pisau untuk menoreh luka di atas lengannya. Ia hanya... Mengguyur diri di bawah air dingin di tengah malam, bermandikan hujan.
Anak laki-laki yang berdiri sendirian. Anak laki-laki yang dirundung luka dan ditimpuki beban. Felix yang malang... Tak pernah benar-benar punya teman, hanya bersahabatkan kesepian.
"Aku tahu, aku tahu orang memandangku rendah selama ini. Aku tahu mereka menatapku sebelah mata, dan aku tahu mereka menghina di belakang ketika lontarkan pujian di depan"
Di bawah derasnya hujan malam itu, tak ia pedulikan lagi dinginnya udara dan gelapnya dirgantara, yang ia tahu hanya berjalan mengikuti kemana arah kakinya.
Teringat perkataan Chandra tempo lalu, membuatnya seketika berdecih, "Memangnya siapa yang mau dengan laki-laki pengangguran? Juga penyakitan?"
Harusnya dengan itu ia sadar, bahwa hujan deras dan udara terlalu dingin bisa memicu asma nya kembali, tapi Felix tetaplah batu. Hingga langkah ringkih itu menuntunnya pada sebuah emperan toko usang di sudut jalan, ia akhirnya memilih berteduh di sana.
Ditatapnya luka-luka lebam akibat pukulan ayahnya tempo hari yang hampir kering, kini basah kembali.
Sungguh, Felix tak ingin menangis. Tapi, entah kenapa rasanya bulir bening itu jatuh meluruh tanpa dikomandonya kala hujan turun kian derasnya, membasahi luka di tangannya yang kini kembali mengucurkan darah segar, bersamaan dengan memerahnya pelupuk mata.
Berpura-pura kuat, berpura-pura tidak sakit. Felix berhasil, ia penipu ulung dalam membohongi orang-orang. Tapi di hadapan Tuhan, takkan ada yang tak terlihat.
Malam itu, di pinggir jalan, Felix tertidur dengan sejumput harapan dan doa pada Sang Kuasa, berharap esok paginya ia bisa melihat mentari yang tak lagi redup melainkan bersinar dengan terangnya.
....
"Felix! Felix, bangun!"
Suara yang berulang menyergap masuk ke rungunya secara samar, membuatnya perlahan membuka netra. Ia dapati wajah Chandra yang berjongkok di depannya.
"Ngapain tidur di sini? Kayak udah nggak punya rumah aja." Kelakar Chandra, namun tak berhasil membuat Felix tertawa.
Bangun dari tidurannya, Felix meringis tatkala luka-luka nya terasa pedih akibat sapuan hujan kemarin malam. Chandra yang melihat pun seperti tak sanggup menahan ringisan keluar dari mulutnya.
"Ayok pulang! Obati lukamu itu! Ngeri aku liatnya." Ekspresi jijik Chandra membuat Felix sadar, bahwa teman yang ia panggil teman ini hanyalah seseorang yang datang sekadar bertegur sapa, sebatas bercanda, bukanlah teman sesungguhnya yang bagai pelipur lara.
"Nggak usah. Aku nggak papa. Kak Chandra pulang aja!"
"Dih, diajakin pulang kok ngusir?"
"Nggak ngusir, cuma aku lagi pengen sendiri."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Beo Felix mengulangi perkataan Chandra. Ketika mulutnya hendak luncurkan jawaban semestinya, tiba-tiba ia urungkan, karena laki-laki itu sadar, ketika orang-orang bertanya padamu kenapa, mereka cenderung hanya penasaran ketimbang peduli. Maka dari itu, Felix urungkan beri jawaban dan hanya lempar senyum tipis sebagai jawaban.
"Bukan apa-apa. Cuma pengen sendiri aja, tolong"
Mau tak mau, Chandra bangkit dan menghela nafas, prihatin atas teman yang ia panggil teman tersebut.
Ditepuknya pundak Felix sebanyak dua kali, "Ya udah. Tapi kalo ada apa-apa dan butuh bantuan, cerita aja ya."
Felix hanya tersenyum menanggapi. Felix tahu, itu hanya kalimat klise sederhana yang tak jarang hanyalah berisi kebohongan tanpa kepedulian di dalamnya.
Selepas kepergian Chandra, Felix bangkit dan menepuk-nepuk bagian belakangnya yang kotor dan lusuh, lantas langkah ringkih itu kembali membawanya pada sebuah pada rumput di belakang desa, tempat yang ia kunjungi bersama Haris sebelumnya.
....
Pikirannya yang mengambang bersama awan tipis di atas sana, selalu bertanya-tanya tentang orang tuanya. Felix hanya ingin ditanya seperti anak-anak lainnya, pertanyaan seputar Apa yang kamu inginkan? atau cita-cita apa yang kamu impikan sesungguhnya?. Itu saja, seandainya mereka lebih peka.
Atau minimal setidaknya satu pertanyaan saja, yakni; Felix, apa kamu baik-baik saja?
Nyatanya, tidaklah pernah Felix dapatkan pertanyaan sederhana yang mempunyai impact luar biasa tersebut dari orang tua maupun orang terdekatnya. Sesederhana itu, Felix hanya ingin pelukan serta kehangatan diiringi tanya pemastian apakah dia baik-baik saja meski itu sekadar tanya palsu adanya, Felix tak apa. Setidaknya, sekali saja, Felix menginginkan kehangatan keluarga yang sesungguhnya.
"Aku lelah" monolognya yang tersapu angin.
Belum sempat ia merebahkan diri di atas rerumputan lembut itu, seorang gadis yang ia kenali sebagai teman adiknya berlari tergopoh menghampirinya.
"Reya?"
"Kak Felix! Sandara! Sandra, kak!"
"Sandra kenapa?!" Karena pembawaan Reya yang tergesa dan panik membuat Felix ikut cemas.
"Ayo pulang ke rumah!" Dengan itu, ditariknya si laki-laki mengikuti langkah seribu nya dengan berlari, menuju kediaman keluarga Halim.
Sesampainya di sana, Felix melihat barang-barang pecah seperti di lempar berserakan di sana-sini, serta cipratan darah yang mengotori lantai, lalu—
"Sandra?" Beo Felix tak percaya.
Kemudian, netranya melihat kedua orang tuanya dengan kondisi luka di bagian pipi kanan—ayahnya, dan luka di lengan kiri—ibunya.
Netra sekelam malam itu seketika menatap penuh gelap ke arah adiknya berada dengan beling kaca yang masih berada di tangan.
"Sandra, kamu---brengsek."
____________________
TO BE CONTINUE
_____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔
Teen FictionTentang Felix yang seperti bunga Krisan merah, serta depresinya yang menuai luka di tiap tetes darah. "Terkadang, orang yang terlihat paling bahagia, tersenyum dan baik-baik saja adalah orang yang sebenarnya terluka, bersembunyi dibalik kata 'tidak...