13🥀 A place where I can complain

14 6 0
                                    

"Mereka yang bagiku palsu, tak sepenuhnya begitu. Hingga akhirnya aku sadar dan tahu, yang kubutuhkan adalah tempat berkeluh kesah, mengistirahatkan lelah.
Sebuah tempat----di mana aku bisa bercerita."

.....

Cahaya matahari senja melewati kaca jendela tepat di samping bunga krisantemum merah yang ku tanam di dalam vas.

Perkara cinta, biarlah terpendam di dasar lubuk hati saja. Bukannya aku menyerah, hanya saja... Aku merasa tak pantas untuk orang seseorang yang begitu sempurna ketika aku jauh di bawah nya.

Memang perkara Aji yang mendapati kontak Ariel dengan emo love di ponselku tempo itu sedikit... Memalukan, tapi begitulah kenyataannya. Aku menyukainya sampai mau tenggelam rasanya.

Tok! Tok!

Ketukan pintu terdengar. Sepertinya itu ayah.

"Masuk!"

"Felix!" Dan sebuah pelukan spontan ku dapat, dan orangnya bukanlah ayah.

"Lino? Kok bisa---"

"Kurang ajar ya lu! Udah dapet kerjaan baru teman lama dilupain." Keluhnya.

"Bukannya gitu," aku menjelaskan. "Nomor lu kagak aktif lagi, gimana gue mau ngasih kabar coba."

Lino terlihat berpikir sebentar, kemudian nyengir tanpa dosa, "Hehe, lupa. Gue ganti nomor soalnya."

"Nah, salahnya di elu, bukan gue."

"Iya, iya, maaf."

"Bentar, macem mana lu bisa masuk?"

"Sandra yang bukain pintu sekalian persilahkan masuk ke sini."

Aku menghela nafas.

"Kenapa?" Tanya Lino yang kini duduk di tepi kasur, menatapku rumit yang duduk di kursi samping meja dekat jendela. "Lu ada masalah sama adek lu?"

Aku tersenyum singkat, "Nggak penting. Lupain aja."

Lino memberiku tatapan rumit yang lagi-lagi terlihat menyebalkan itu, "Serius?"

"Iya."

"Nggak kenapa-kenapa?"

"Apanya?"

"Elu lah!"

"Gue kenapa?" Tunjuk ku pada diri sendiri. "Gue baik-baik aja kok." Jawabku, pasalnya pertanyaan Lino membuatku bingung.

Laki-laki di depanku ini hanya mengibaskan tangan. Menganggap percakapan sebelumnya seolah tiada, menggantinya dengan topik menyenangkan.

Hingga pada akhirnya tak terasa jam dinding menunjukkan waktu pukul 7 malam. Kalau untuk anak perempuan sih... Obrolan kami bisa disebut curhat.

Di antara semua teman-teman ku, aku tidak tahu yang mana yang bisa benar-benar dipercaya. Tapi, setidaknya, aku lega bisa menceritakan beberapa keping beban di dalam diri yang sulit ku ungkap pada keluarga.

Sebuah tempat... Di mana aku bisa bercerita.

....

Pagi yang cerah, awan tanpa mendung dan langit yang terlihat indah, tak bisa menjadi penengah antara hawa kelam yang mengelilingi ku kini.

Di mulai dari Chandra, "Kenapa lu gak pernah bilang?!"

Kemudian Haris, "Dari awal gue emang udah curiga." Putra semata wayang keluarga Januar itu menatapku marah.

"Keterlaluan lu ya, Lix! Bisa-bisanya gue gak tau semua ini!" Adalah Lino yang ingin menggeplak kepala ku, namun ditahan Haris.

Terakhir Aji, "Lu anggap gue apa? Kita kan udah lama kenal, Lix! Seminggu yang lalu."

Seketika seluruh mata tertuju pada Aji.

"Apa?" Tanya sang pelaku tanpa dosa.

Plak!

Itu Chandra, menggeplak kepala Aji dengan tidak elitnya, kemudian berkata, "Elu yang baru kenal seminggu aja nggak nyangka! Apalagi kita teman-teman yang udah kenal lama."

Aku memasang ekspresi datar, "Jadi inti dari kalian nyegat gue yang abis dari toko kelontong di pinggir jalan gini buat ceramah?"

"Wah, bener-bener nih anak---" Aji menyingsingkan lengan baju, padahal bajunya tipe Sleeve less.

"Sejak kapan, Lix? Sejak kapan elu self harm?" Itu Chandra, bertanya dengan nada tenang yang berusaha ia kendalikan.

Aku mendengus dalam hati. Mereka yang katanya teman, katanya sahabat, tak pernah tahu apa yang ku alami. Membuatku curiga mereka hanyalah penasaran ketimbang peduli.

Meletakkan kantong plastik berisi belanjaan titipan ibu ke atas tanah, aku menyingkap lengan jaket yang ku kenakan, tersenyum simetris pada mereka kemudian, "Udah lama. Dan udah lama juga gue nggak pernah lakuin itu lagi." Kataku yang membuat Aji dan Lino membelalakkan mata, Chandra yang terlihat memijit pelipisnya dan Haris yang menatapku rumit dengan helaan nafas lelah.

Melihat eskpresi mereka, terlintas ide di kepala ku, "Karena udah lama, rasanya jadi kangen pengen ngegores silet lagi," kataku yang sebenarnya tertawa dalam hati.

Aku mungkin sembuh, tapi bekas luka yang tertinggal itu... Baik fisik maupun batin, takkan pernah bisa hilang sepenuhnya.

Ya, akhirnya mengerti mengapa pekerjaan seorang psikolog begitu berat dan penuh sabar, juga hati-hati.

"Jangan ngadi-ngadi Lix!" Aji memukul bahuku keras.

"Sakit, gundul!" Reflek ku.

"Gue gak gundul! Ganteng berambut macem Han Jisung gini di kata gundul, Cih!"

"Gue udah bilang kan---" suara Chandra, "dari dulu malahan, kalo ada apa-apa cerita, kalo pun nggak bisa bantu, seenggaknya dengan lu cerita bisa ngeringanin beban yang ada di pikiran lu sedikit banyaknya." Sorot mata yang tertua itu menatapku layu, seolah kecewa, membuat ku merasa bersalah.

"Jangan kira kita nggak peduli, Lix." Haris berujar. "Gue emang julid orangnya, tapi bukan berarti gue temen yang gak punya simpati."

"Nah, dengerin!" Aji adalah kubu koar-koar.

"Kita emang ketemunya di tempat kerja, tapi gue bukan temen yang mau enaknya aja. Kita peduli, Lix. Kita semua." Perkataan Lino disambut anggukan oleh semuanya.

Hingga akhirnya mereka semua mengajak ku duduk di warung makan kecil yang terletak di pinggir jalan---mengajak ku bercengkrama, meluapkan semua emosi yang terpendam begitu lama, hingga rasa cemas yang menghantui ku setiap masa.

Aku sadar... Yang ku butuhkan adalah teman---tempat tuk bercerita.

____________________

TO BE CONTINUE
____________________

HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang