14🥀 Frangipani Flower

19 6 1
                                    

"Buahnya taro sini, ya, nak" Kata ibu meletakkan piring berisi potongan buah pepaya di samping meja nakas tempat tidurku.

"Iya, bu, makasih"

Setelahnya ibu keluar dari kamar, menyisakan aku yang terbaring dengan infus di tangan menatap langit-langit kamar.

Aku sakit, lagi.

Tak menentu, dalam kurun waktu setahun ini aku sering jatuh sakit dengan berbagai judul, entah itu hanya demam, flu perut, penyakit kronis ku yang kambuh, tapi ya begitulah... Semuanya aku jalani dengan tabah.

Aku bahkan sudah tak bekerja lagi di cafe nya milik Aji karena mengundurkan diri, menyadari kondisi tubuhku yang kian memburuk dari hari ke hari.

Memangnya mau bagaimana lagi?

Mengeluh? Itu takkan membuatku sembuh.

Menangis? Aku sudah lelah.

Aku menatap luka-luka lama bekas silet yang kini mulai pudar. Benar, aku sudah tak menyentuh benda kecil tajam itu lagi, tapi keinginan untuk menyayat itu masih ada, terkadang menggebu apalagi saat aku dalam kondisi paling teruk. Tapi, logika di kepala ku memenangkan pikiran jahat itu tuk beberapa kali.

Aku bersyukur, aku bukan lagi Felix yang sakit secara mental, tapi kini sakit fisik yang menjadi permasalahan.

Akankah aku... Bisa sembuh dan kembali normal?

....

Bunga kemuning layu menjatuhi tanah kuburan.

Semua orang berduka, tak terkecuali Sandra.

Felix, kini telah tiada.

Waktu yang berlalu, tak bisa direka ulang. Hanya penyesalan yang memutar---mengaduk-ngaduk perasaan dan ingatan.

"Aku masih nggak nyangka," Chandra menyeka air matanya, menatap nanar ke arah nisan baru yang bertuliskan sebauh nama---Felixiano Halim di atasnya.

Haris mengusap punggungnya, turut merasakan hal yang sama; kehilangan, "Aku juga. Padahal baru seminggu yang lalu kita ngerujak di teras rumahnya,"

Sementara Aji yang biasanya banyak bicara, malah hanya terdiam. Masih belum menerima fakta bahwa mantan karyawan nya itu telah pergi meninggalkan dunia.

Seingatnya Felix sehat-sehat saja. Maksudnya secara fisik, lain mental. Kok bisa?

Lain lagi dengan Lino, pria itu seolah menampakkan aurat gelap yang tertuju pada seorang gadis yang masih bersimpuh di depan pusara bersama kedua orang tuanya; Sandra.

"Gue ngerasa ada yang nggak beres sama kematian Felix," Ujarnya pelan, namun didengar oleh Chandra.

"Maksud lo apaan?" Chandra berbisik.

Lino mendecak, "Ikut gue! Sekalian ajak yang lain,"

Lelaki bersurai coklat itu pamit lebih dulu. Mau tak mau Chandra dan yang lain melakukan hal yang sama usai berdoa dan mohon undur diri lebih dulu pada ayah dan ibu Felix yang masih setia berlinang air mata.

....

"Emang apa sih, No? Perasaan nggak ada yang aneh sama adiknya Felix. Kok lu bisa mikir gitu?" Ujar Chan sangsi.

"Apaan, anjir? Ngapa nyuruh kita keluar dari area pemakaman lebih dulu?" Aji, tak terima sinar matahari yang lebih menyengat di sini.

"Dari awal gue udah nggak suka sama tu cewek dan apa yang gue liat di bawah kotak sampah kamar Felix seolah menguatkan prasangka jelek gue,"

"Ini pada bahas apa sih?" Haris yang memang tidak mengerti, menggaruk belakang kepalanya.

"Dengerin gue," Lino bersuara. "Kematian Felix gue curiga dia nggak meninggal secara alamiah,"

"Maksud lo?" Haris yang memang suka menonton drama, mencurigai satu hal.

"Dia dibunuh?" Aji mengerutkan kening. "Nggak mungkin. Lagian nggak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh Felix, sekalipun keluarga nya nutupin, pastinya ketahuan, kan?"

Chandra mengangguki.

Lino menghela nafas, lalu menjelaskan, "Felix udah berhenti selfharm, kan? Dan kita semua tahu itu. Lalu ini apa?"

Sebuah botol kecil bening ukuran sangat mini terjulur ke hadapan mereka. Lino sempat mengantongi benda mencurigakan itu sesaat saat semua orang mengurusi jenazah Felix.

"Apaan, njir? Wadah bekas minyak wangi?"

Haris menggeplak kepala Aji, "Wadah bekas minyak palamu! Itu botol racun, goblok!"

"Bukan racun sih keknya," Chandra mengambil benda kecil itu dari tangan Lino, mengamatinya, "Ini zat kimia,"

"Sama aja. Berbahaya, kan?" Ujar Lino.

Chandra masih fokus mengamati, sampai ia menemukan tulisan kecil tercetak di bawah botol kaca bening tersebut.

"Arsenik?!" Chandra tak percaya ini.

"Apaan, njir?" Aji merasa bodoh sendiri.

"Hah? Yang bener aja?" Haris selaku orang pintar nomor tiga diantara semuanya, merebut benda itu dari tangan Chandra.

"Woah, gila, ini mematikan, njir! Lebih bahaya dari sianida karena nggak akan bisa terdeteksi,"

"Jadi?" Aji mulai mengerti.

"Trus dari mana lu bisa nyimpulin ini berkaitan dengan adiknya Felix, si Sandra?" Chandra berfokus pada Lino.

"Gue liat dia kemarin di toko obat ujung jalan buntu,"

"Loh, itukan toko obat ilegal, bukannya udah di palang---garis kuning sama polisi? Seingat gue pemilik tokonya juga udah ketangkep," Kata Aji, syok.

Semua saling memandang kemudian. Mencurigai dua kemungkinan.

____________________

THE END
____________________

HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang