09🥀 I'm Pain

11 5 1
                                    

“Aku adalah rasa sakit itu sendiri.”

_________________________________

HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS
_________________________________

****

"Ngapain, Lix?"

"Ha?"

"Itu-kamu lagi nulis apaan?"

"Oh ini-" yang ditanya berkoor ria. "List job yang bakal aku lamar,"

"Widih, mau kerja nih ceritanya?" Chandra ikut mendudukkan diri di sebelah pemuda jangkung tersebut sembari menyedot pop ice rasa alpukat nya.

Entahlah. Chandra selalu kemanapun dengan minuman 5ribuan itu-tak terpisahkan seperti jiwa dan raganya. Hilih.

Felix mengangguk, "Iya. Sekalian mau cari pengalaman juga"

"Dompet udah tipis banget, ya?" Pertanyaan Chandra kali ini diikuti bunyi sedotan yang nyaring-karena minumannya sudah mulai habis-ralat, tinggal es batunya doang.

"Hehe, tau aja"

"Kerja ikut sama sepupuku, mau?" Laki-laki berkulit putih pucat itu menggoyangkan gelas minumannya, berharap es batu di dalamnya mencair agar bisa ia sedot lagi.

"Kerja apa?"

"SPG"

Felix mendengus setelahnya "Bilang aja jadi sales."

"Nah, itu tau" yang dibalas tawa kecil oleh sang teman. "Gimana?"

"Nggak deh, kak. Aku nggak pintar speaking soalnya. Kerjaan gitu pasti pake target, kan?"

Chandra mengangguk, membuat Felix tersenyum lesu.

....

Selama 19 tahun hidupnya, Felix tak pernah berpikir sedikitpun tentang dua kata yang lumayan marak di kalangan mental illness, yakni bunuh diri. Tapi hari ini, Felix berada pada ambang batasnya. Laki-laki itu kumat lagi.

Katanya---ia takkan menyentuh silet-silet itu lagi.

Katanya ia ingin berubah.

Katanya ia ingin menjadi seorang yang lebih baik lagi dan keluar dari pintu merah.

Tapi.... Semudah itu dirinya dihempaskan lagi. Ia frustasi. Tak ada yang mengerti Felix selain Tuhan dan dirinya sendiri.

Memang, apa sih yang diinginkan laki-laki ini?

Sebenarnya... Felix pun tak tahu. Felix pun bingung. Ia mencari yang namanya jati diri, namun tak kunjung ia temukan. Selalu berakhir pada jalan buntu yang kelam.

Ditatapnya serpihan gelas kaca di lantai, berikut air putih yang tumpah bercampur darah.

"Sandra..."

Pun hari ini, adik yang begitu disayanginya, menaburkan serpihan kaca pada lukanya yang tak sembuh itu.

Hari ini mereka bertengkar, tak jelas soal apa, seperti biasanya perseteruan saudara, tapi Sandra luar biasa---luar biasa menyakiti Felix dengan kata-katanya.

Felix tak ingin mengingat lebih jauh tentang apa yang dikatakan sang adik padanya, tapi setiap untaian teriak, caci dan maki begitu terngiang jelas di telinganya; perihal Sandra yang muak melihat Felix di rumah ini, mengatakan Felix adalah parasit tak tahu diri, sampai sumpah serapah beserta bantingan gelas kaca kala untuk perihal sepele; Felix tak sengaja memakan kue Velvet miliknya.

Kemana adiknya yang manis yang dulu digendong dan dipangkunya? Kemana adiknya yang kemarin-kemarin menasehati Felix dengan petuah bak orang tua?

Dunia, memang cepat berubah rupanya.

Menarik nafas dalam, Felix abaikan serpihan gelas kaca yang berserak dengan melewatinya---menginjaknya dengan kaki telanjang.

"Sekali lagi."

Orang normal... Akan berteriak. Orang normal akan kesakitan dan menjerit, tapi Felix?

"Astaga!" Felix yang berniat melangkah menuju dapur, menghentikan langkah mendengar teriakan di belakangnya.

Seketika itu juga, laki-laki itu berbalik dan mendapati---

"Haris?! Ngapain di sini? Gimana bisa masuk?!"

Nada Felix masih tersulut emosi, tapi berusaha menetralkannya dengan menghela nafas kemudian.

"Nggak penting gimana bisa masuk. Itu ngapain lagi, sih? Kaki berdarah-darah lagi, capek gue liatnya."

"Ya kalo capek jangan diliat."

"Pinter banget tuh mulut nyahut." Dengus Haris.

"Bodoamat, gue---"

"Bentar, gue kudu laporin ini ke bapak lu."

"Heh! Jan ngadi-ngadi, ris!"

Telat. Suara sambungan telepon dari ponsel Sang teman tersambung sudah.

.....

Brakk!

Tubuhnya terhuyung, terantuk tembok dengan keras saat ayahnya menerjangnya dengan sebuah tinju di pipi kanan.

"Kamu ngapain ngelukain diri begini, hah?!" Seru Sang Ayah tak sabaran, hendak memukul Felix lagi jikalau saja Sang Ibu tidak menghalau.

Felix tidak menangis, tidak meringis sama sekali meski rasanya tulang wajahnya terasa patah. Ia tatap datar netra pualam sang Ayah, sampaikan sesuatu dengan sirat yang tak dimengerti oleh yang lebih tua.

"Jawab!!!"

Felix masih bergeming, pun dengan satu tinjuan lagi di wajah kirinya berbarengan dengan teriakan histeris Sang Ibu melihat anaknya dipukul, lagi.

"Jawab Felix!" Seru ayahnya begitu berapi-api.

"Ayah, ibu." Panggilnya.

Hening ketika dua orang manusia itu menunggu kalimat lanjutan Sang anak, tapi sayang Felix tak meneruskan kalimatnya, hanya gelengan kepala putus asa yang ia tunjukkan.

Andai ayahnya tau, andai ibunya tau, luka Felix lebih dari yang terlihat.

Andai mereka tahu, luka mental Felix yang tak mereka lihat, ternganga lebar dengan darah yang mengucur tiap harinya tanpa henti.

___________________

TO BE CONTINUE
___________________

HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang