"Bersama Krisan merah di genggaman, aku tumbang dengan secercah harapan yang tak pernah tersampaikan"
______________________________
HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS
______________________________Song Playlist :
Beautiful Scars - Maximillian****
"Udah, Sandra, jangan nangis lagi"
"Ya gimana nggak nangis coba, aku liatnya gini aja udah ngilu. Kak Felix nggak ngerasa sakit gitu, ha?!" Sandra terus terisak sejak tadi, sembari mencabut silet-silet yang tertancap di telapak kaki ku.
"Enggak,"
Bukkk!
"Enteng banget nyahutnya, kek yang nggak ada beban!" Dumelnya.
Beban apanya? Aku bahkan sudah mati rasa. Terlalu sering merasakan yang namanya sakit, seolah hal berdarah begini bukan apa-apa.
"Kak," panggilnya yang kini tengah membubuhkan alkohol dengan kapas di kakiku.
Aku yang bersandar di headboard ranjang, melepaskan dekapan tangan, menoleh ke arahnya, "Apa?"
"Jangan gini lagi,"
"Kamu nggak haru--"
"Sandra mohon, Sandra nggak mau liat kakak seperti ini lagi. Sandra tau sejak lama kakak menyimpan puluhan benda kecil tajam itu di bawah ranjang, dan Sandra bukan anak kecil lagi yang nggak tahu arti semua itu, kak" Adikku satu-satunya itu menatapku lekat, kutemukan sirat kecewa di netra pualam nya itu.
Aku menggeleng, "Kamu nggak ngerti" pungkasku.
"Iya, Sandra emang nggak ngerti kakak. Sandra nggak bisa mengerti permasalahan apa yang kakak punya, tapi, yang Sandra minta tolong jangan sakiti diri kakak lagi, apapun itu. Sandra mohon" adikku itu menangis lagi. Sungguh, rasanya menyakitkan melihatnya mengurai air mata.
Aku mengulas senyum pedih, lalu mengusap pelan puncak kepalanya, "Kakak nggak janji,"
"Jangan kasih tau ibu, ayah juga" ucapku, melunturkan senyum.
"Tapi---"
"Itupun kalau kamu masih mau liat kakak hidup di dunia," Oke, aku tahu ini keterlaluan, tapi aku tak punya cara lain untuk membungkamnya.
"Kak, nggak begini cara---" ucapan itu terhenti, tatkala tanganku yang ringkih ini kembali meremat kuat perut bagian kiri, disusul nafas pendek yang turun naik.
Ah, sesak nafas lagi.
"Kakak!" Pekiknya panik. "Kakak kenapa?!"
Ia kalang kabut sendiri, sementara aku yang kini beralih menekan kuat area dada, tersenyum lemah.
"Kakak baik-baik aja,"
"Apanya yang baik-baik aja?!" Oh wow, baru pertama kali ini aku melihat emosinya yang demikian besar. "Ayo ke dokter kak! Sekarang!"
"Nggak, Sandra" tolakku. "Nggak ada gunanya,"
"Kamu nggak perlu bertindak apapun. Kakak baik-baik aja,"
"Tapi kan---"
"Tolong, Sandra, tinggalin kakak. Kakak mau sendiri," pintaku, tersenyum manis meyakinkannya.
Mulanya ia ragu, namun melihat nafasku yang tidak terengah-engah seperti tadi, ditambah tanganku yang meremat perut yang sakit tidak hinggap di sana lagi, ia menghembuskan nafas pasrah.
"Baik," ia mengangguk. "Sandra harap itu benar. Panggil Sandra kalo butuh apa-apa,"
Setelah kepergiannya, senyum yang terpatri berganti menjadi gigitan di bibir bawah. Aku kembali menjatuhkan diri di atas kasur, berguling ke sembarang arah, meremat kuat perutku yang sakit lagi, diiringi nafas sesak yang tadi kutahan agar terlihat baik-baik saja.
Kurasa, aku berada di ambang nya.
Rasanya kakiku yang terbalut perban itu seolah tidak ada rasanya, hanya ada sakit di perut dan dada yang menghujam ku tiada ampun.
Nafasku putus-putus dan berat, begitu menyakitkan. Perutku bergejolak sakit, sungguh tak nyaman. Namun, kupaksakan bangkit berdiri, hingga langkahku yang pincang tiba di halaman belakang rumah.
Aku berlutut menatap bunga itu... Bunga darah. Bunga yang ku tanam dengan segenap rasa luka yang berjejer rapi memenuhi barisan pagar belakang rumah. Bunga yang ku benci tapi juga tak kuasa tuk ku pungkuri... Bahwa aku hidup bagai kelopaknya yang semerah darah.
Krisantemum merah.
Aku mengukir senyum pahit dengan berat, mencabut satu tangkai bunga itu, mengutuk kelopak indahnya, lalu berteriak keras, "HUAAAHHHHHHHHH!!!"
Entah kebetulan macam apa, hujan tiba-tiba turun dengan deras, seolah mengolok ku yang begitu payah, padahal langit tidak mendung dan awan berseri cerah. Aku tertawa miris, seperti orang gila.
"Kenapa?" lirihku, menangis lagi. "KENAPAAA?!!"
Air hujan yang turun, mengguyur luka pada perban kakiku yang kotor bercampur darah, menyamarkan air mata dan raunganku yang putus asa.
Lalu, dengan tragisnya petir menyambar di cakrawala, kilatan cahaya penuh petaka itu menyambangi kanvas putih yang kini berubah kelam.
Air mataku semakin deras, seiring hujan dan gemuruh yang kian lebat. Bersama setangkai Krisan merah digenggaman, aku jatuh dengan lara di tengah dinginnya senja, terbungkus angin kencang. Hingga nafasku yang memburu terasa tiada daya, aku tumbang, dengan secercah harapan yang tak pernah tersampaikan.
"Tolong, seseorang..."
___________________
TO BE CONTINUE
___________________
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS CHRYSANTHEMUM'S RED PETALS✔
Teen FictionTentang Felix yang seperti bunga Krisan merah, serta depresinya yang menuai luka di tiap tetes darah. "Terkadang, orang yang terlihat paling bahagia, tersenyum dan baik-baik saja adalah orang yang sebenarnya terluka, bersembunyi dibalik kata 'tidak...