Sedih

434 52 2
                                    

Perasaan Taeyong carut marut ketika mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut anaknya. Lelaki itu mengerutkan wajahnya seraya mencakup wajah tirus itu dengan hati yang terasa getir.

"Siapa yang bilang kau gila, sayang? Tidak ada!"

Jeno menepis tangan ibunya lalu melengos dan menundukkan wajahnya, "aku dengar semua yang bubu dan tante Winwin bicarakan tadi." bocah itu terdiam sesaat, "bubu membicarakan soal dokter sikolog dan penyakit PTSD. Aku tau semua itu, bu!"

Dada Taeyong terasa seperti di cubit dari dalam saat Jeno mengatakan hal itu. Sungguh dia tidak bermaksud untuk mengaitkan isi obrolannya bersama Winwin dengan sesuatu yang Jeno sebut 'gila'.

"Bubu... tega pada ku!" Jeno mendesis putus asa.

Taeyong langsung bersimpuh di depan Jeno yang masih duduk ditepian kasur, lelaki itu segera menarik kedua tangan kurus anaknya lalu menggenggamnya dengan kuat. Air matanya kembali menetes tanpa sadar, bahkan dadanya terasa begitu sesak saat melihat tatapan kecewa yang anaknya layangkan.

"Bubu minta maaf, nak. Bubu tidak bermaksud berkata seperti itu!"

Taeyong menunduk dalam dengan bahu yang bergetar kuat, ia mencoba menahan tangisnya namun tidak bisa. Isakan itu terus keluar dari mulutnya tanpa bisa dikontrol bahkan saat Jeno meraih kedua bahunya, Taeyong tak kuasa mengangkat wajah ia merasa tidak sanggup untuk menatap wajah polos itu lagi.

"Maafkan bubu, sungguh...! Bubu tidak berniat mengecewakan mu, nak!"

"Bubu jangan menangis..."

Taeyong menggeleng kuat sambil mengusap kasar pipinya. Taeyong benar-benar merasa sudah menjadi seorang ibu yang jahat, dia ingin anaknya sembuh tapi tidak menghiraukan bagaimana perasaan si anak itu sendiri. Terlebih Taeyong sama sekali tidak menyadari bila sejak awal ia meninggalkan Jeno keluar kamar ternyata bocah itu tidak tidur sama sekali dan bodohnya lagi dia malah membicarakan hal sensitif seperti itu dengan orang lain tanpa memeriksa keadaan anaknya terlebih dahulu.

"Kalau bubu tidak berhenti menangis berarti aku anggap sebagai pengakuan kalau bubu memang sengaja menganggap ku sudah gila!"

Taeyong buru-buru menengadah dan menjumpai wajah dingin anaknya yang kini tengah memandangnya. Dia tidak menyangka, bahkan sekarang Jeno sudah berani mengancamnya dengan gertakan seperti itu.

Sekilas, dia seperti melihat Jaehyun ketika masih muda dulu saat dia tengah emosi atau kecewa, paras bocah itu terlalu identik dengan ayahnya walaupun saat ini Jeno terlihat jauh lebih kurus.

Lelaki itu mensusut sedikit ingusnya yang sempat ikut keluar saat air matanya menetes sambil mengusap mata dan menatap manik onyx itu dalam diam.

Jeno menarik nafas dalam lalu ikut duduk di samping ibunya seraya meraih kedua bahunya mendekat.

"Aku minta maaf karena sudah membuat bubu menangis, aku hanya kaget mengapa bubu dan daddy sampai bisa berpikir untuk membawa ku ke sikolog yang jelas-jelas diperuntukkan untuk pasien dengan gangguan kejiwaan!"

"Jeno, bila seseorang bertemu dengan sikolog bukan berarti dia gila, nak! Lagipula bubu dan daddy tidak pernah menganggap mu gila, kita hanya mengikuti prosedur kesehatan yang dokter Shin ajukan padamu."

"Dan bubu percaya itu?"

"Dengan segala kejadian yang sudah terjadi, bubu-" Taeyong langsung menghentikan kalimatnya saat ia baru saja menyadari satu hal penting yang sedang terjadi.

Bahwa Jeno sama sekali tidak merasakan semua kejanggalan yang dialaminya sebagai halusinasi tapi anak itu menganggapnya sebagai kenyataan yang tidak bisa dirasakan oleh keluarganya.

Wake Me Up || Sekuel SAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang