Bab 4: Dilemma

45 4 0
                                    

"Boleh aku tahu, why Sophie Harper?" tanya David sambil mengemudi. Nicholas sedang memejamkan mata untuk mengurangi sakit kepala yang menyerangnya dua hari terakhir ini.

"Seperti yang bisa kau lihat, ia wanita cemerlang, berbakat, penuh semangat, menyenangkan, dan cantik. Kuharap ia juga bisa bekerjasama dengan baik."

"Kenapa kau terdengar seperti sedang menggambarkan Miss Anastasia?" ucap David sambil mengerutkan kedua alisnya.

"Nora? Tentu saja tidak, mereka benar-benar berbeda. Nora sangat sederhana sementara Sophie sangat glamor dan modis, Nora sangat polos sementara Sophie sangat cerdik. Mereka jelas-jelas tidak sama."

"Kau tahu, kau tidak harus melakukan ini, Nick. Di luar sana ada ratusan wanita yang ingin menjadi istrimu! Kau bisa saja hidup bahagia dengan wanita yang benar-benar mencintaimu apa adanya. Dan seiring dengan berjalannya waktu, kau bisa belajar untuk mencintainya. Waktu dan cinta yang tulus akan menyembuhkan lukamu."

Seolah tidak menggubris perkataan David, Nicholas tetap memejamkan kedua matanya. Tentu saja, ini bukan kali pertama David memberikan wejangan pada Nicholas.

"Jangan buang waktumu lagi dengan menunggu dan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, Nick! Percayalah, kau pasti akan bisa hidup dengan bahagia dengan wanita lain asal kau mau belajar membuka hatimu," David berusaha menasehati Nicholas dengan sabar. "Nick? Kau dengar aku? "

Nicholas tetap diam tak bergeming sambil menyandarkan kepalanya.

David tampak bersungut-sungut melihat reaksi Nicholas tersebut. "Aku mengatakan semua ini demi kebaikanmu, kau tahu, kan?" David dapat menasehati Nicholas dengan santai karena mereka sudah sangat dekat. Nicholas bahkan sudah menganggapnya seperti pamannya sendiri. Namun meski demikian, mereka tetap berusaha untuk menghormati satu sama lain.

Nicholas menghela nafas panjang seolah memberi tanda bahwa ia sedang tidak ingin mendengar nasehat lagi. "Malam ini aku mau langsung pulang ke apartemen saja, aku sedang tidak ingin bertemu dengan Nenek."

"Aye, Sir!" jawab David patuh.

***

Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Sophie saat itu. Yang jelas, ia benar-benar merasa kesal terhadap pria yang hampir saja menjadi klien sekaligus rekannya tersebut.

30 menit sebelumnya, saat di restoran...

"Hmm... Darimana harus kumulai? Seorang wanita berperilaku hedonis dengan harga diri tinggi namun memiliki kondisi keuangan yang menyedihkan akibat pola hidup konsumerisme berlebih? Karir yang tidak bisa berkembang dengan baik karena kurangnya modal usaha? Berstatus single kurang lebih selama lima tahun sejak terakhir kali berpacaran dengan George Hamilton, putra tunggal Peter Hamilton?"

"Kau mencari tahu tentang kehidupan pribadiku?" sela Sophie terkejut.

"Well, sebelum bekerjasama denganmu aku harus mengetahui siapa kau, itu saja. Dan ternyata kau memang yang paling cocok untuk menjadi rekanku, bukankah begitu?"

Sophie bangkit berdiri sambil menahan amarah. "Terima kasih atas makan malamnya, tapi aku tidak tertarik untuk menjadi rekanmu, Tuan Nick! Selamat malam!" Ia sangat marah ketika mengetahui bahwa pria itu telah dengan lancang menggali informasi seputar kehidupan pribadinya.

"Kau hanya butuh waktu untuk berpikir dan meyakinkan dirimu bahwa tawaranku adalah satu-satunya jalan keluarmu, Miss Harper. Ini kartu namaku, jika kau berubah pikiran," tahan Nicholas sejenak.

90 Days With Mr. Perfect(ionist)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang