Bila kau bertemu dengan Nick, Cucuku, tolong jangan katakan apapun padanya mengenai kontrak yang kutawarkan padamu, karena ia pasti akan langsung menolaknya. Lakukan saja wawancara secara alami, seolah seperti sedang melakukan kencan buta. Maka ia akan memakluminya.
Kalimat itu terus terngiang di kepala Sophie sepanjang perjalanan, bahkan sejak kemarin. Entah apa yang ada di dalam pikirannya ketika ia menyetujui untuk melakukan wawancara hari ini. Namun menyesal pun percuma karena kini Sophie telah berdiri tepat di depan Mademoiselle Fin, restoran yang dimaksud oleh Julia.
Perutnya serasa terpelintir dan detak jantungnya meningkat sepersekian detik. Oh, semua tentu akan terasa lebih mudah kalau saja Wendy tidak pergi ke Dallas untuk menemui calon mertuanya.
Sophie mengaca sejenak untuk memastikan rambut panjang coklat tua peacan-nya masih tetap terjepit rapi di bagian belakang kepala dan hanya menyisakan beberapa helai rambut yang terjuntai bebas ala messy look di kedua sisi wajahnya. Ia melihat sekilas ke pakaian yang ia kenakan, atasan berwarna mustard dengan lengan tujuh per delapan dan aksen drapping sederhana di area dada, rok tujuh per delapan asimetrik berwarna hitam, dan high heels Love 85 coklat tua keluaran Jimmy Choo kesayangannya, untuk memastikan mereka telah bersinergi dengan baik.
Baiklah, easy peasy lemon squeezy, kau pasti bisa, Soph!
Ia pun memutuskan untuk langsung masuk ke dalam setelah seorang pelayan wanita menyambutnya dengan sopan sambil membukakan pintu masuk dari besi berwarna hitam yang tampak sangat berat. Kini ia berada di dalam restoran Perancis bernuansa hitam dan emas yang jelas tampak berkelas itu.
Meski ini adalah kali pertama ia mengunjungi restoran tersebut, namun beberapa klien high end-nya sudah seringkali membicarakannya. Mereka bahkan sering berkumpul dengan teman-temannya di sana untuk sekedar ber-high tea ria.
"Anda datang sendiri, Miss?"
"Aku sudah ada janji dengan seorang teman di ruang Dandelion."
"Oh, baik! Mari, saya antar." Sang pelayan mengantar Sophie menuju ke sebuah ruangan VIP.
Baiklah, Soph, kau harus siap sekalipun ia seorang pria bermata satu, atau pria kerdil berambut jarang2, atau bahkan pria gemuk dan bau. Ingatlah bahwa ini hanyalah bagian dari pekerjaanmu, bukan kencan buta yang sesungguhnya!
Sophie menghirup dan membuang nafas beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Entah apa yang membuat hatinya tidak tenang kala itu, apakah karena ia belum pernah melakukan wawancara sendiri sebelumnya, karena itu bagian Wendy, atau karena ia takut menghadapi kenyataan bahwa klien pertamanya itu akan sangat di luar ekspektasinya, atau mungkin karena ia diminta untuk "seolah-olah" melakukan kencan buta. Karena kencan buta adalah hal terakhir yang ingin dilakukan untuk dirinya sendiri. Meski secara teknis ia sendiri menjalankan bisnis jasa perjodohan, namun ia tidak pernah membayangkan dirinya untuk bertemu dengan jodohnya sendiri melalui sebuah kencan buta.
"Ruang Dandelion, silahkan Miss." Pelayan itu membukakan pintu untuknya. Tampak seorang pria dengan setelan jas hitam duduk menghadap ke arahnya. Tubuh pria itu tampak sintal, yah, meskipun tubuhnya tidak gemuk.
Apa ini yang dimaksud Julia aku tidak boleh menaruh perasaan padanya? Oh, ayolah, mungkin ia tak seburuk yang kubayangkan, tapi bukankah aku layak untuk mendapatkan yang lebih baik? Kalau hanya seperti ini, kurasa aku tidak perlu khawatir. Ada banyak klienku yang berpenampilan jauh lebih baik darinya dan semua berjalan dengan lancar dan baik-baik saja.
Pria itu berdiri dan menyambutnya dengan senyuman ramah. "Miss Harper?"
Ia mengangguk. "Panggil saja Sophie." Sophie melangkah masuk dengan perasaan yang lebih tenang dan percaya diri. "Omong-omong, kaukah Nick?"
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Days With Mr. Perfect(ionist)
RomansaNicholas Greyson, seorang pewaris tahta kerajaan bisnis keluarga Greyson yang terkenal tampan dan single harus bertemu dengan Sophie Harper, seorang personal stylist sekaligus matchmaker yang ironisnya tidak beruntung dalam dunia percintaannya sendi...