Bab 9: Mood Breaker

30 4 0
                                    

Sophie mengumpat dan mengutuki dirinya sendiri sepanjang jalan. "Kau pikir akan semudah itu?! Kau belum tahu betapa kejamnya dunia pada orang seperti aku!" Kalimat tersebut ditujukan untuk Nicholas, namun ia tidak sanggup mengatakannya langsung di hadapannya.

"Well, ini memang salahku sendiri! Seharusnya kau berpikir lebih panjang sebelum menerima tawaran itu, Soph! Tapi mau bagaimana lagi, aku juga membutuhkan uang itu," lanjutnya kemudian setelah merasa agak lega mengomel.

Setibanya di toilet, ia mencuci tangan sambil mengaca untuk memastikan bahwa riasan wajah, pakaian yang ia kenakan, dan tatanan rambutnya tetap rapi seperti pertama kali ia tiba. Ia masih mengagumi gaun dan perhiasan yang ia kenakan di depan cermin ketika mood-nya tiba-tiba berubah oleh kehadiran seseorang.

"Well, well, well, lihatlah siapa yang ada di sini!" seorang wanita tiba-tiba muncul dari bilik toilet sambil berbicara ke arah Sophie.

Sophie menoleh dan terkejut mendapati sosok wanita yang bertubuh agak sintal sedang berdiri di hadapannya, namun ia berusaha menyembunyikan tatapan ngerinya. Tubuhnya perlahan mulai bergetar, tenggorokkannya serasa tercekat, dan nafasnya tidak menentu. "Mrs. Hamilton."

Wanita itu tidak lain adalah Grace Hamilton, ibu dari George Hamilton. Ia sedang berdiri di hadapan Sophie, terus mengamatinya dari atas sampai ke bawah tanpa sungkan sambil menyeringai sinis. "Ah, kau masih mengingatku rupanya. Omong-omong kapan terakhir kali kita bertemu? Empat? Lima tahun yang lalu?"

Sophie tidak menjawab sama sekali, ia hanya terdiam sambil mengalihkan pandangan matanya ke lantai. Ya, Tuhan! Cobaan apalagi ini?

"Setelah sekian lama tidak melihatmu, ternyata kau telah banyak berubah. Kulihat kau sudah lebih pintar menentukan sasaran, kau melepaskan permata untuk mendapatkan berlian. Benar-benar brilliant! Dan kau yang sekarang lebih... glamor, cantik, dan tampak kaya. Apakah ini hasil usahamu selama ini dari berhubungan dengan pria-pria kaya selain George? Mm... Lumayan juga!" Grace bahkan terang-terangan berjalan mengitari Sophie untuk menilai penampilannya. "Apakah ini juga hasil ajaran dari Ibumu, atau bakatnya hanya menurun dengan sendirinya padamu?"

Hati Sophie tercabik-cabik mendengar perkataan wanita itu, hatinya terasa sangat sakit terlebih ketika ia membawa-bawa Ibunya yang sudah meninggal. Kejadian lima tahun lalu seolah terjadi lagi, persis seperti yang ia khawatirkan. Air matanya hampir saja menetes dari kedua pelupuk matanya, namun ia berusaha keras menahannya. Ia tidak ingin wanita jahat itu merasa menang atas tuduhan yang tidak pernah Sophie lakukan. Ia bahkan tidak tahu apa sebenarnya penyebab utama hingga Ibu mantan kekasihnya itu sangat membencinya.

"Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin Anda katakan, aku permisi dulu." Sophie bermaksud pergi meninggalkan Mrs. Hamilton karena ia sudah tidak mampu membendung air matanya.

"Julia adalah seorang wanita hebat dan Nicholas adalah Cucu kesayangannya, satu-satunya penerus tahta Greyson. Aku ragu apakah ia masih akan tetap membiarkanmu berada di dekat Nicholas ketika mengetahui catatan buruk masa lalumu!"

Dan akhirnya, air matanya pun jatuh membasahi kedua pipinya. Ia langsung berlari keluar untuk menghindar dari Mrs. Hamilton. Oh, Tuhan! Aku ingin segera pergi dari tempat ini, aku sudah tidak kuat, tangis Sophie dalam hati sambil terus berjalan menuju ke ballroom.

Ia kemudian mempercepat langkahnya ketika melihat seorang anak kecil dengan gaun hijau ala peri jatuh tersungkur di hadapannya. Ia segera menolongnya berdiri sambil merapikan kembali pakaiannya. "Kau tidak apa-apa, Nona Kecil? Ada yang terluka?"

Gadis kecil itu bangkit berdiri dengan bantuan Sophie sambil melihat tongkat perinya yang bengkok karena tertindih tubuhnya ketika terjatuh tadi.

Sophie merapikan rambut pirang gadis itu sambil menghiburnya. "Tongkatmu rusak rupanya! Sini, biar kuperbaiki," ujarnya sambil tersenyum. Sophie berusaha mengembalikan posisi tongkat berbahan kawat lunak tersebut ke bentuk semula, tidak sempurna namun setidaknya tidak terlalu bengkok. "Bagaimana? Apa menurutmu tongkat ini sudah bisa berguna seperti semula?"

Gadis kecil itu pun tersenyum menatapnya, "terima kasih, Miss. Kau cantik sekali." Sophie ikut tersenyum mendengarnya. Lalu gadis kecil itu mengayunkan tongkatnya perlahan layaknya seorang peri yang sedang menyalurkan kekuatan sihir pada Sophie. "Kau akan selalu bahagia."

Sophie tampak terkejut melihat kepolosan gadis kecil itu, ia merasa terharu. "Wah, terima kasih! Kau mengabulkan permintaanku, Nona Peri Cantik!" Sophie memeluk pelan gadis kecil itu, sisa-sisa air mata pun jatuh menetes. "Omong-omong dimana orang tuamu?" Gadis kecil itu mengarahkan Sophie ke dalam ballroom. Ternyata, ia adalah putri dari salah satu tamu undangan acara Julia.

"Angela! Angela Greyson! Darimana saja kau, aku telah berkeliling mencarimu, kemana saja kau, Nak? Ibumu bisa marah besar padaku! Kau tidak apa-apa?" seorang wanita berusia empat puluhan tampak berlari menghampiri gadis kecil tersebut. "Oh, terima kasih banyak, Miss!"

"Dan kau?" Sophie ingin memastikan bahwa gadis kecil itu telah bersama orang yang benar-benar ia kenal.

"Oh, maaf, aku terlalu panik. Aku adalah Gretha, pengasuh sekaligus penjaga Angela dan saudara-saudaranya. Mereka sedang asyik bermain tiba-tiba Angela pergi tanpa sepengetahuanku. Oh, bukan, mungkin aku yang kurang teliti."

Sophie menyentuh pundak kiri pengasuh itu, bermaksud untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa, Gretha! Tidak perlu khawatir lagi, yang terpenting sekarang Angela telah kembali dengan aman. Kuharap kau bisa lebih hati-hati lagi ke depannya."

"Terima kasih, Miss! Kau tidak hanya cantik dan ramah, namun kau juga penolongku! Nick sangat beruntung telah mendapatkanmu. Kudoakan yang terbaik untuk kalian." Wanita itu menggenggam tangan kanan Sophie sambil menepuk-nepuk punggung tangannya. Sophie tidak tahu harus menjawab apa selain ucapan terima kasih, lalu berpamitan. Mendengar ucapan tulus tersebut, ia merasa semakin bersalah karena telah membohongi banyak orang yang sepertinya benar-benar perduli pada Nicholas.

Sekembalinya Sophie ke tempat duduknya, terdengar lantunan musik Waltz from Serenade for Strings karya Tchaikovsky, seorang komposer asal Rusia. Di area depan ballroom telah disediakan lantai kosong untuk berdansa. Julia yang telah mengganti pakaiannya, kini mengenakan sebuah gaun merah terang panjang berbahan sifon. Ia muncul dengan seorang pria bertuksedo hitam di kisaran usia empat puluhan yang tampak seperti guru dansanya. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak dari satu sudut lalu berputar hingga menuju ke sudut lainnya. Gaun panjang Julia yang berbahan ringan tersebut melambai-lambai anggun dan lembut seolah mengikuti alunan lagu.

Julia memang suka sekali berdansa dan bukan tanpa alasan, ia melakukannya karena ia memang benar-benar berbakat. Mereka menari dengan anggun dan apik mengitari lantai dansa tersebut. Hingga Sophie dapat merasakan, bukan hanya dirinya melainkan semua tamu pun ikut terlarut dalam pertunjukkan tersebut.

"Kau darimana? Kenapa lama sekali?" tanya Nicholas di sebelahnya, ia baru saja selesai berbincang dengan salah satu pamannya.

"Toilet," jawab Sophie singkat sambil sesekali menyeka kedua matanya untuk memastikan Nicholas tidak mengetahui kalau ia baru saja menangis.

Nicholas berusaha mengamati ekspresi wajah Sophie namun ruangan itu terlalu gelap, semua lampu dipadamkan kecuali lampu yang menyorot lantai dansa. Kini tidak hanya Julia, sang pembawa acara mempersilahkan para tamu undangan untuk ikut berdansa.

Beep. Beep.

Ponsel Nicholas bergetar. "Aku keluar sebentar, aku akan segera kembali."

Sophie pun mengangguk pelan, lalu menghela nafas panjang sepeninggal Nicholas. Ia kira ia bisa bernafas lega untuk sejenak. Namun ia tidak menyadari bahwa sedari tadi, sepasang mata telah mengawasi, menunggunya terbebas dari pantauan Nicholas. Sepasang mata dari seorang pria yang telah lama merindukannya.

***

90 Days With Mr. Perfect(ionist)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang