11 | Upaya Awal

947 91 16
                                    

Silvia berpamitan kepada para Paman dan Bibinya untuk membawa Erna pergi dengan dalih akan dirawat di rumah sakit. Mereka semua mengantarkan Erna sampai masuk ke dalam mobil milik Yvanna dan bahkan tidak lupa membekalinya dengan uang seadanya.

"Ini untuk tambah-tambah beli obat jika nanti Dokter akan memberikan resep," ujar Juma.

"Jangan repot-repot, Kang," ujar Erna sambil berusaha menolak dengan halus.

"Ambil. Biar ringan beban Silvia. Biar dia enggak perlu bingung mikirin biaya," paksa Juma sambil menangis dan memeluk Adik bungsunya.

"Silvia yang sabar ya, Insya Allah pasti Ibu kamu akan sembuh. Jangan menyerah. Pokoknya perjuangkan saja terus," dukung Warni sambil memeluk Silvia sekali lagi.

"Iya, Bi. Aku pasti akan usahakan yang terbaik untuk Ibu," balas Silvia sambil ikut memeluk Warni.

Mereka segera meninggalkan Desa Tarogong Kaler dan langsung menuju kembali ke Desa Bayongbong, tempat tinggal Keluarga Harmoko yang lama. Erna tidak banyak bertanya dan segera terlelap tak lama kemudian. Suara nafas Erna terdengar jauh lebih tenang dan tidak memburu seperti saat pertama mereka bertemu. Saat itu jam baru menunjukkan pukul dua belas lewat lima menit.

"Sebentar lagi waktu shalat dzuhur akan tiba," ujar Manda.

"Iya, benar. Nanti kita shalat berjamaah saja di rumah saat sampai. Kondisi Bibi Erna tidak memungkinkan untuk kita mampir di masjid terdekat," tanggap Lili yang sejak tadi terus memeriksa denyut nadi Erna yang ada di sisinya.

Silvia terus merangkul Ibunya dari sisi yang lain. Membiarkan Erna tertidur sejenak sebelum mereka sampai ke rumah Yvanna. Ada pesan masuk ke ponsel milik Yvanna yang terletak pada penyangga di dekat kemudi. Nama pengirimnya terlihat dengan jelas pada layar sehingga membuat Tika segera membukanya begitu saja. Yvanna jelas tahu betul kalau Tika takkan bisa dicegah, dan hal itu membuatnya menyesal karena telah menyimpan ponsel di sana.

"Jangan lupa shalat dzuhur, di mana pun kamu berada. Pengirimnya Mas surga," tutur Tika ketika membacakan isi pesan itu.

Manda, Lili, dan bahkan Silvia jelas berusaha keras untuk menahan diri agar tidak tertawa. Tika saat itu langsung menatap Yvanna yang ada di sampingnya. Ia mencoba mengamati ekspresi Adiknya tersebut, namun dirinya hanya mendapatkan ekspresi datar Yvanna yang biasanya.

"Kamu yakin kalau itu hanya teman? Kalau lebih daripada teman juga enggak apa-apa kok, Dek. Jujur sajalah sama aku. Dia lebih dari teman, 'kan?" tanya Tika.

"Hanya teman, Kak. Tidak lebih," jawab Yvanna, sama seperti jawaban yang diberikannya pada Manda.

"Dia seperhatian itu sama kamu dan kamu menyebutnya hanya teman? Coba dipikir-pikir lagi, mungkin kamu salah mengartikan hubungan dengan pria itu. Mungkin dia enggak cuma cocok jadi teman," Tika memberi masukan.

Yvanna hanya diam saja dan tak menanggapi. Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi Ben agar tak salah paham karena dirinya tengah sulit untuk membalas pesan.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Ben di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam, Kak. Maaf aku masih di jalan dan sedang menyetir, jadi aku enggak bisa balas pesan dari Kakak. Kakak juga jangan lupa shalat. Perbanyak ibadah," pesan Yvanna tanpa basa-basi.

"Mm ... terima kasih sudah balas mengingatkan. Hati-hati dijalan. Aku tunggu teleponmu yang selanjutnya," balas Ben.

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Tika benar-benar melongo setelah tahu kalau Yvanna menelepon pria itu hanya untuk balik mengingatkan agar tidak lupa shalat. Manda yang duduk di kursi paling belakang kini hanya bisa menggerutu dengan gemas sendirian akibat apa yang Yvanna lakukan.

"Wah ... sepertinya ada yang salah dengan hatinya Yvanna. Enggak beres ini," ungkap Tika terang-terangan.

Mobil mereka kini telah sampai di halaman rumah dan terparkir dengan rapi di dalam gerbang. Erna dibangunkan, wanita paruh baya itu terlihat agak bingung karena mereka saat itu tidak berhenti di rumah sakit. Silvia hanya memberinya sedikit penjelasan yang cukup mudah agar Erna mengerti. Erna pun kini segera ditempatkan di kamar yang telah mereka sediakan. Mak Siti membawa tas berisi pakaian milik Erna sekaligus menyimpankannya ke dalam lemari.

"Bibi shalat berjamaah bersama kami, ya. Bibi shalatnya di tempat tidur saja jika tidak sanggup berdiri lama. Bibi bisa shalat sambil duduk di tempat tidur ini," ajak Yvanna.

"Iya, Nak. Bibi shalat di sini saja, yang penting berjamaah dengan kalian," Erna setuju dengan apa yang Yvanna usulkan.

Mereka pun segera bergantian mengambil air wudhu. Silvia membantu Ibunya agar bisa berwudhu dengan benar meski agak kesulitan, setelah itu ia kembali membawanya ke tempat tidur dan memakaikannya mukena. Tika memimpin shalat berjamaah kali itu. Mereka menjalankan shalat dengan khusyuk dan memohon pertolongan kepada Allah agar apa yang tengah mereka lalui saat itu bisa dilalui dengan mudah dan tanpa hambatan. Usai shalat dzuhur, Mak Siti pun menyajikan makanan untuk semua orang. Tika, Yvanna, Manda, dan Lili sengaja ikut makan di kamar tamu, agar Silvia dan Erna tidak merasa terasingkan.

"Bibi harus makan yang banyak ya, biar cepat sembuh," saran Tika.

"Betul itu, Bibi. Nanti setelah selesai makan, baru kondisi Bibi akan diperiksa oleh Adik kami," tambah Manda sambil menunjuk ke arah Lili.

"Masya Allah, Bibi merasa seperti sedang dikelilingi oleh banyak anak saat ini. Benar-benar tidak lagi terasa sepi sama sekali," ungkap Erna.

"Insya Allah di sini Bibi tidak akan merasa sepi, tenang saja. Ada kami berempat yang akan menemani Bibi bergantian, ada juga Mak Siti yang akan menemani Bibi jika kami harus keluar dan mengurus sesuatu. Pokoknya di sini akan sangat aman untuk Bibi agar bisa menjalani pengobatan sampai sembuh," janji Manda dengan ekspresi konyolnya yang menggemaskan.

Erna pun tertawa pelan sambil menangkup wajah Manda dengan kedua tangannya. Yvanna masuk tak lama kemudian ke kamar itu sambil membawakan teh hangat untuk Erna. Erna menerimanya dan langsung meminumnya seperti tadi. Wanita paruh baya itu tampak sangat senang meminum teh buatan Yvanna seraya menikmati bubur ayam yang Mak Siti sajikan. Yvanna pun duduk di sofa yang ada di kamar itu, meski harus berdesakan dengan Manda, Lili, dan Tika. Ia menyantap makan siangnya dengan perlahan sambil memperhatikan kedua pundak Erna yang kini mulai tak tampak mengeluarkan asap hitam pekat seperti tadi. Asap hitam itu mulai menghilang perlahan-lahan, dan untuk membuatnya benar-benar hilang ia harus segera menemukan siapa pelaku sebenarnya yang melakukan ritual tumbal keluarga.

Mak Siti muncul di ambang pintu kamar itu dan mengetuknya pelan agar tidak ada yang merasa kaget dengan kedatangannya.

"Ada apa Mak Siti?" tanya Manda.

"Itu, hapenya Nak Yvanna bunyi. Ada telepon dari he ... he ... he ...."

"Heaven!!!" lanjut Tika, Manda, Silvia, dan Lili dengan kompak.

Mengetahui hal itu membuat Yvanna segera bangkit dari sofa dan berlari untuk mengambil ponselnya di dapur.

"Coba dikasih nama 'surga' saja, Yv! Kasihan Mak Siti enggak bisa baca nama temanmu itu!" saran Silvia.

* * *

TUMBAL KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang