Yvanna sudah hampir selesai memasak bersama Mak Siti ketika Silvia datang ke dapur untuk menyerahkan ponsel wanita itu. Ponsel Yvanna sejak tadi dipakai untuk merekam kesaksian dari Erna, yang nanti akan ditunjukkan oleh keluarga besarnya. Maka dari itu sejak tadi ponsel tersebut ada pada Silvia.
"Rekamannya ada di sana," ujar Silvia.
"Mm ... akan kugunakan rekaman itu untuk diperlihatkan pada Paman dan Bibimu nanti. Bisa tolong selesaikan gorengan perkedel jagungnya? Aku mau telepon seseorang dulu," pinta Yvanna.
"Siapa? Mas Surga?" tebak Silvia, sambil berusaha menahan tawa.
"Enggak usah ikut-ikutan sama Kak Tika. Lihat saja gorengan perkedel jagungnya, jangan sampai gosong," saran Yvanna.
"Iya ... iya ... aku enggak akan ikuti cara Kak Tika menyindirmu. Sudah sana, telepon Mas Surgamu itu biar dia enggak kesiangan shalat subuh," balas Silvia.
Yvanna pun tersenyum dan langsung pergi ke lantai atas agar tak ada yang mendengarnya menelepon Ben. Nada sambung terdengar beberapa kali di telinga Yvanna dan tak lama kemudian Ben pun mengangkatnya.
"Halo, assalamu'alaikum," sapa Ben, terdengar masih mengantuk.
"Wa'alaikumsalam. Tiga menit lagi adzan subuh akan berkumandang. Sebaiknya Kakak segera bangun dan langsung ke kamar mandi," ujar Yvanna.
"Mm ... memangnya kamu sudah mandi?" tanya Ben, masih bermalas-malasan.
"Sudah. Aku juga sudah selesai memasak dan yang lainnya sudah hampir selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sebaiknya Kakak benar-benar bangun, jangan sampai nanti terlambat pergi ke kantor," jawab Yvanna.
"Ya, aku sudah benar-benar bangun sekarang. Kamu masak apa pagi ini?" tanya Ben lagi sambil meraih handuknya.
"Sayur asam, perkedel jagung, tumis ikan peda, dan juga sambal goreng. Kenapa? Kakak mau kubawakan sarapan?" tawar Yvanna.
"Jangan, nanti kamu kerepotan kalau harus membawakan aku sarapan. Karena pastinya kamu akan membawakan juga untuk orang satu rumahku, bukan hanya untukku," tolak Ben.
"Yakin?"
"Mm ... yakin."
"Kalau Kakak berubah pikiran, segera telepon aku sebelum aku pergi dari rumah. Pekerjaanku harus diselesaikan hari ini, atau keberadaan Bibi Erna akan kembali ditemukan oleh si pelaku," Yvanna memberikan opsi pada Ben.
"Aku mau mandi. Kututup dulu teleponnya. Assalamu'alaikum," pamit Ben tanpa menanggapi opsi yang Yvanna katakan.
"Wa'alaikumsalam."
Yvanna pun memutus sambungan telepon pada ponselnya. Ben sama sekali tidak menanggapi tawarannya, dan Yvanna merasa kalau Ben mungkin tidak suka dengan masakannya. Hal itu membuatnya memilih menyimpan ponselnya dengan cepat ke dalam saku, lalu turun kembali ke bawah untuk menyibukkan diri. Ia tak ingin mengingat-ingat tanggapan Ben yang cukup dingin pagi ini.
Ben turun dari lantai atas setelah selesai shalat subuh dan berpakaian. Semua keperluannya yang akan dibawa ke kantor sudah benar-benar siap. Ia memasukan ponselnya ke dalam saku celana berbahan kain yang dipakainya karena akan memakai dasi di depan cermin yang ada di lantai bawah. Pada saat yang sama, ia melihat di meja makan hanya ada roti tawar dan selai yang disajikan oleh Nania bersama kopi.
"Aku sama Ibu belum sempat belanja. Jadi hari ini kita sarapan roti tawar saja dulu, ya," ujar Nania kepada Ben dan Jojo.
"Kenapa Kakak enggak bilang dari semalam kalau enggak ada bahan untuk memasak? Padahal aku atau Kak Ben bisa pergi ke minimarket untuk belanja semalam, kalau Kak Nia bilang," keluh Jojo dengan wajah lemas.
"Jangan ribut! Ibu enggak tahu kalau aku lupa pergi berbelanja, padahal Ibu sudah menyuruhku kemarin. Lagian aku juga capek dan butuh istirahat. Masa mau memasak dan mengurus rumah terus," balas Nania, ikut mengeluh.
Ayuni, Bagus, dan Arini yang baru saja masuk ke rumah itu hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar apa yang Nania katakan sebagai pembelaan. Damar, Zian, dan Aris tak berani berkomentar karena takut Nania mengamuk. Ben segera mengeluarkan kembali ponselnya dari saku dan segera pergi ke teras rumah untuk menelepon Yvanna. Yvanna mengangkatnya tak lama kemudian.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Aku berubah pikiran. Boleh aku minta masakan yang kamu buat pagi ini?" tanya Ben terdengar sangat frustrasi.
"Ya, tentu saja boleh. Tunggulah, akan kukemaskan lebih dulu baru kuantar ke rumahmu," jawab Yvanna.
"Biar aku saja yang ambil," cegah Ben.
"Jangan, nanti kamu terlambat pergi kerja," tolak Yvanna.
Sambungan telepon itu pun terputus tiba-tiba, hingga membuat Ben kaget dan menatap pada layar ponselnya selama beberapa saat. Di rumah Keluarga Harmoko, Yvanna kini sedang buru-buru mengemas makanan untuk dibawanya ke rumah Keluarga Adriatma. Tika kembali menatapnya dan kembali ingin tahu semua makanan itu untuk siapa.
"Kali ini Mas Surga ...."
"Kak Ben yang meneleponku, mereka semua di sana belum sarapan," potong Yvanna dengan cepat.
"Oh ... aku pikir Mas Surga yang barusan meneleponmu," Tika pun buru-buru berlari keluar dari dapur bersama Silvia yang ditariknya dengan sengaja.
Yvanna meraih kunci mobil dan segera melaju menuju rumah Keluarga Adriatma. Ben tampak sudah menunggu di teras ketika ia tiba. Mata Yvanna langsung tertuju pada dasi yang terpasang di leher Ben, yang sama sekali belum terlihat rapi. Yvanna berjalan mendekat dan menyerahkan dua rantang makanan kepada pria itu.
"Ini sarapannya. Berikan juga pada Bibi Ayuni agar Paman Bagus, Kak Damar, Kak Zian, dan Aris bisa ikut sarapan," ujar Yvanna.
Ben pun terlihat menghela nafasnya dengan berat dan memasang wajah penuh rasa tidak enak di hadapan Yvanna.
"Apa kataku, kamu pasti akan memikirkan semua orang sehingga akan membawa banyak sekali makanan untuk kami," ujar Ben.
Yvanna melangkah lebih dekat pada Ben dan membetulkan dasi pria itu agar benar-benar rapi.
"Jangan egois. Kita memang harus memikirkan orang lain juga dalam kehidupan ini. Karena tanpa adanya orang lain dalam kehidupan kita, maka hidup kita akan terasa sangat sepi," jelas Yvanna agar Ben paham akan arti peduli terhadap sesama.
Setelah selesai membetulkan dasi pria itu, Yvanna pun segera berpamitan dan kembali ke rumahnya. Ben masih saja terpaku di tempatnya, usai menerima perlakuan yang sangat hangat dari Yvanna. Ia segera masuk ke dalam rumah dan meminta Nania mengambil piring serta mangkuk.
"Yvanna membawakan kita makanan lagi? Kamu memintanya?" tanya Arini yang terlihat kaget bersama Ayuni.
"Iya, Bu. Yvanna membawakan kita makanan lagi, aku yang memintanya. Dia juga membawakan makanan untuk Bibi Ayuni, agar Paman Bagus, Kak Damar, Zian, dan Aris bisa sarapan bersama kita," jawab Ben apa adanya.
Damar pun segera membantu Ben membuka kedua rantang itu dan memindahkan isinya pada piring serta mangkuk yang Nania bawa dari dapur.
"Yvanna punya asisten rumah tangga di rumahnya yang ada di sini, tapi dia masih juga selalu bekerja sama dengan Kak Tika, Manda, dan Lili untuk urusan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka berempat enggak pernah mengeluh satu kali pun, belum pernah aku mendengarnya," ujar Aris, sedikit menyindir Nania.
Nania diam saja dan tak mengatakan apa pun.
"Sudahlah Aris. Makan saja, Dek," ujar Ben, pelan. "Cara didik orangtua mereka berbeda dengan cara didik Almarhum Ayahku yang begitu memanjakan anak perempuannya. Beruntungnya, Naya tidak terlena dengan cara didik Almarhum Ayahku hingga kini bisa berbaur dengan mudah di keluarga Suaminya," tambah Ben, cukup untuk menjadi pecutan bagi Nania.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL KELUARGA
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 2 Mengisahkan tentang perjalanan Yvanna yang selanjutnya, setelah selesai mengurus permasalahan Keluarga Adriatma. Kali ini sahabatnya yang lain--yang sudah lama tidak muncul di hadapannya--meminta bantuan atas...