4 | Obrolan Tengah Malam

1K 89 26
                                    

Narendra dan Larasati pun beranjak ke kamar mereka setelah Yvanna selesai berbicara. Yvanna sendiri kini beranjak ke dapur, untuk membuat susu cokelat kesukaannya dan berniat menikmatinya dengan roti selai srikaya sebelum tidur. Ben keluar dari ruangan gelap tempatnya berbaring sejak tadi. Ia berjalan perlahan ke arah dapur dan berdiri tepat di ambang pintu tanpa suara. Yvanna terlihat sedang menunggu air yang dimasaknya mendidih sambil mengoleskan selai srikaya ke atas roti tawar. Ben mengamati semua gerakan wanita itu dan tetap diam, hingga akhirnya Yvanna berbalik dan sadar bahwa Ben tengah menatapnya sejak tadi.

Keadaan jelas masih terasa sangat canggung bagi kedua insan tersebut. Namun Yvanna tampaknya tidak ingin lagi terjebak dalam kecanggungan yang berkepanjangan. Ia tak mengalihkan tatapannya yang bertemu dengan tatapan mata Ben. Ia tak mau lagi terhalang oleh rasa canggung, ia ingin sedikit mempertimbangkan saran dari Silvia.

"Kakak belum tidur? Kembali merasa lapar? Mau kubuatkan sesuatu?" tanya Yvanna sekaligus menawari Ben.

Ben pun bergerak dari ambang pintu, berjalan menuju ke arah meja yang ada tepat di tengah-tengah dapur tersebut. Ia duduk di kursi kosong sambil menatap ke arah Yvanna.

"Buatkan saja yang sedang kamu buat," jawab Ben, datar.

Yvanna pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia segera meraih piring dari dalam lemari dan membuatkan dua tumpuk roti tawar dengan selai srikaya untuk Ben. Setelah air yang dimasaknya mendidih, ia juga membuatkan susu cokelat untuk pria itu. Yvanna menyajikannya di meja, kemudian duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan Ben pada saat itu. Mereka berdua menikmati roti dan susu cokelat tersebut dalam diam, membuat rasa canggung kembali menguar di antara mereka.

"Aku tadi ada di ruang sebelah ketika kamu bicara dengan Ayah dan Ibumu," Ben mengakui.

Yvanna pun berhenti mengunyah roti tawarnya dan mengarahkan tatapannya kepada Ben. Ben juga ikut berhenti mengunyah dan membalas tatapan Yvanna kepadanya.

"Dan Kak Ben mendengar semua pembicaraanku dengan kedua orangtuaku, tadi?" tebak Yvanna.

"Mm ... aku mendengarnya."

Kembali hening selama beberapa saat. Yvanna meniup susu cokelat yang masih panas lalu meminumnya perlahan.

"Tolong jangan bocorkan pada Jojo dan Aris. Mereka berdua akan sangat khawatir terhadap keadaan Silvia dan akan memaksa untuk ikut campur dengan pekerjaanku. Bolehkah aku meminta seperti itu pada Kakak?" tanya Yvanna.

Ben menatapnya dalam diam selama beberapa saat.

"Mm," jawab Ben, hanya bergumam.

Yvanna pun kini bisa bernafas lega setelah mendengar jawaban itu, meski hanya berupa sebuah gumaman.

"Ada syaratnya," lanjut Ben.

Yvanna kini menatap Ben dengan penuh tanda tanya.

"Syarat? Syarat apa yang ingin Kakak ajukan kepadaku? Aku tidak punya apa-apa untuk menyuap Kakak agar tidak membocorkan rahasia tentang keadaan Silvia. Yang kaya raya adalah keluargaku, tepatnya kedua orangtuaku, bukan aku. Pendapatanku hanya sedikit, dari hasil menyelesaikan kasus-kasus tidak masuk akal yang kutangani," jujur Yvanna.

"Oh ya? Begitukah? Lalu kenapa kamu tidak meminta bayaran pada keluargaku setelah menyelesaikan masalah dalam keluarga kami? Kalau kamu mendapatkan uang hanya dari pekerjaan itu, maka seharusnya kamu juga meminta bayaran 'kan pada keluargaku?" tanya Ben.

"Aku tidak memungut bayaran pada sahabatku. Aku membantu Keluarga Adriatma karena ingin melindungi Aris dan Jojo dari marabahaya. Begitu pula dengan yang akan kulakukan pada Silvia. Aku tidak akan memungut bayaran atas hasil kerja kerasku pada sahabatku sendiri. Mereka orang-orang penting di dalam hidupku dan aku tidak bisa menilai mereka dengan uang. Sebanyak apa pun uang yang kudapatkan, tidak akan bisa membeli keberadaan mereka di sisiku. Itulah mengapa aku membantu Keluarga Adriatma dengan sukarela. Tolong jangan salah paham," jelas Yvanna.

"Apa aku terlihat seperti sedang salah paham terhadapmu? Aku bahkan belum mengatakan apa syarat yang akan kuajukan, untuk menutup mulutku agar tidak keceplosan bicara tentang masalah Silvia di depan Aris dan Jojo," balas Ben.

"Kalau begitu cepat katakan, apa syaratnya. Tolong jangan terlalu mahal jika ingin meminta uangku untuk menutup mulut Kakak," pinta Yvanna.

"Simpan saja uangmu, karena aku tidak butuh uangmu," saran Ben.

Yvanna pun tersenyum miring.

"Ah ... iya benar ... aku lupa kalau Kakak adalah orang kaya. Oke, baiklah. Apa syarat yang akan Kakak ajukan?"

Ben tahu kalau Yvanna saat itu tengah menyindirnya, namun ia memilih tidak peduli dengan sindiran itu. Ben lebih memilih segera mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya pada Yvanna. Yvanna menatap ponsel itu sesaat, lalu kembali menatap ke arah Ben.

"Untuk apa itu?" tanya Yvanna.

"Simpan nomor ponselmu di ponselku. Selama kamu berada di Garut, jangan lupa telepon aku setiap pagi dan jam tiga sore. Tugasmu adalah membangunkanku serta memberiku sapaan saat pagi dan mendengarku bercerita saat sore. Apa kamu paham?"

Yvanna mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat, lalu segera meraih ponsel Ben untuk menyimpan nomor teleponnya di sana.

"Bukankah syarat yang Kakak ajukan itu aneh?" Yvanna mengutarakan apa yang dipikirkannya. "Kalau Kakak butuh Psikolog, harusnya pergi ke rumah sakit. Tapi kalau Kakak butuh teman bicara, seharusnya Kakak mencari Istri agar hidup Kakak tidak kesepian. Meminta aku melakukan hal seperti itu, terdengar seperti aku ini adalah pelarian dari rasa sepi yang tengah Kakak rasakan."

Ben mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis.

"Cukup masuk akal," balas Ben.

Pria itu mengubah posisi duduknya hingga kini kedua sikunya menjadi bertumpu pada meja.

"Kamu boleh beranggapan begitu. Anggap saja aku ini seorang pria kesepian yang tidak mau bertemu Psikolog, tapi butuh untuk disembuhkan rasa kesepiannya. Saat meneleponku nanti, kamu boleh tidak menanggapi apa yang kubicarakan. Kamu hanya perlu mendengar saja. Tapi kalau kamu ingin menanggapi, maka aku akan mendengarkan tanggapan darimu atas apa yang kubicarakan. Anggap saja, kamu adalah tempat curhatku sekarang," ujar Ben.

Yvanna memikirkannya sejenak. Wanita itu merasa apa yang Ben katakan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan olehnya. Jika ingin menanggapi, maka ia boleh menanggapi. Namun jika tidak ingin, maka ia boleh diam saja.

"Oke, akan kulakukan seperti yang Kakak inginkan," Yvanna akhirnya menyetujui syarat tersebut.

Ben pun kembali menyimpan ponsel ke dalam saku piyama yang dipakainya. Yvanna segera menghabiskan susu cokelat dan rotinya agar bisa cepat kembali ke kamar untuk beristirahat.

"Kapan kamu akan ke Garut?" tanya Ben lagi.

"Besok pagi. Ibunya Silvia harus segera kuungsikan dari rumah yang ditempatinya saat ini," jawab Yvanna sambil mencuci gelas serta piring bekas roti.

Hening selama beberapa saat.

"Sesekali ... boleh aku datang ke rumahmu yang ada di Garut?"

Yvanna pun berhenti sejenak ketika sedang menggosok piring dengan spons. Ia pun kemudian melanjutkan pekerjaannya setelah mencerna pertanyaan dari Ben saat itu.

"Hanya sebatas pagar yang boleh Kakak pijak saat datang ke rumahku. Tidak boleh lebih daripada itu, kecuali Kakak tidak datang sendirian," jawab Yvanna.

Ben pun tersenyum diam-diam di belakang Yvanna tanpa memberikan protes atas jawaban wanita itu.

* * *

TUMBAL KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang