3 | Menceritakan Segalanya

1K 96 11
                                    

Silvia sudah tertidur ketika Yvanna keluar dari kamar mandi, usai membersihkan make-up serta berganti pakaian. Wanita itu terlihat sangat lelah, jadi Yvanna memutuskan tidak akan mengusiknya. Ia menarik selimut agar Silvia merasa hangat dan nyaman. Yvanna sendiri segera keluar kembali dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun masih ada beberapa orang di bawah yang belum tidur. Larasati melihat kedatangan putri ketiganya tersebut dan tersenyum ke arahnya.

"Silvia mana, Sayang? Kok kamu turun ke bawah sendirian?" tanya Larasati.

"Silvia sudah tidur duluan, Bu. Dia sepertinya kecapekan," jawab Yvanna.

"Oh, begitu. Lalu kenapa kamu enggak ikut tidur bersamanya? Apakah kamu masih merasa lapar?"

"Enggak, Bu. Aku sudah kenyang. Aku kembali turun karena ingin bicara dengan Ibu dan Ayah," jelas Yvanna mengenai tujuannya saat itu.

Narendra yang sedang berbicara dengan Bagus di ruang tengah pun, mendadak berhenti saat mendengar apa yang dikatakan oleh Yvanna. Yvanna tidak bermaksud mengganggu obrolan antara Ayahnya dengan Bagus pada saat itu, namun wanita itu jelas tidak punya pilihan dan kesempatan lain selain saat itu. Jika Silvia tahu apa rencananya, maka Silvia jelas takkan pernah setuju dan menolak dengan keras. Bagaimana pun, Silvia tahu kalau Yvanna adalah anak yang paling disayang di dalam Keluarga Harmoko. Yang mana karena hal tersebut Silvia selama ini tidak ingin melibatkan Yvanna dalam urusannya yang pelik.

"Bicaralah dengan Yvanna, Kak. Mungkin ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Aku istirahat dulu, besok kita lanjutkan lagi obrolan yang tadi," ujar Bagus.

"Ya, sebaiknya memang begitu. Silakan beristirahat, Dek," balas Narendra.

Yvanna merasa sangat lega karena Bagus cukup pengertian dengan keinginannya. Setelah Bagus pergi ke kamar tamu di lantai tiga, barulah Narendra memberi tanda pada Yvanna untuk mendekat kepadanya. Larasati ikut melangkah bersama Yvanna dan duduk tepat di samping suaminya.

"Ayo, katakan pada Ayah dan Ibu. Ada masalah apa sehingga kamu ingin membicarakannya dengan kami malam-malam begini?" tanya Narendra sambil mengusap kepala Yvanna dengan lembut.

Yvanna diam selama beberapa saat. Ia benar-benar merasa harus mempersiapkan diri. Mewaspadai jika kemungkinan akan mendapat penentangan dari Ayah dan Ibunya malam itu.

"Begini Ayah ... Ibu ... Silvia pulang dari Singapura dan memutuskan akan kembali tinggal di Indonesia karena saat ini Ibunya sedang sakit," ujar Yvanna, memulai.

Narendra dan Larasati pun kini saling menatap satu sama lain ketika akhirnya mendengar hal tersebut.

"Ibunya Silvia sakit apa, Nak? Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang pada kami?" tanya Larasati yang selama ini sudah menganggap Silvia seperti putrinya sendiri.

"Itulah yang ingin aku ceritakan pada Ayah dan Ibu saat ini," jawab Yvanna. "Sakit Ibunya Silvia bukan sakit yang bisa dijelaskan secara medis. Ibunya Silvia sudah memeriksakan diri ke Dokter, tapi Dokter tidak menemukan ada gejala suatu penyakit di dalam dirinya. Ini berkaitan dengan masalah yang Silvia hadapi sejak dia lulus SMA, Bu. Sakitnya Bibi Erna berkaitan dengan perginya Silvia ke Singapura untuk menghindari malapetaka," jelas Yvanna.

"Malapetaka apa maksudmu, Nak? Coba jelaskan dengan lebih rinci agar Ayah dan Ibu mengerti maksudmu," pinta Narendra dengan lembut.

Yvanna kembali diam sejenak seperti tadi dan berusaha menenangkan dirinya sebelum lanjut bercerita. Ben--yang saat itu belum tidur dan masih berbaring di ruang sebelah--mendengarkan dengan seksama dalam kegelapan.

"Jadi ... dua belas tahun yang lalu ketika aku dan Silvia baru lulus SMA, salah satu sepupu Silvia tiba-tiba saja sakit secara tidak wajar dan tidak ditemukan apa penyebabnya. Perlahan tapi pasti, penyakit tidak jelas itu pun akhirnya membunuh sepupu Silvia lalu menjangkiti sepupunya yang lain. Hal itu terjadi terus-menerus, berpindah-pindah, hingga akhirnya dua tahun kemudian Bibi Erna mengusir kedua anaknya, yaitu Silvia dan Kakak laki-lakinya untuk pergi dari rumah mereka. Menurut Silvia, Ibunya merasa anak-anaknya akan aman dari penyakit tidak jelas itu jika tidak tinggal di tanah warisan milik Kakek buyutnya. Dan hal itu terbukti benar adanya. Ketika Silvia memilih tinggal di Singapura dan Kakak laki-lakinya tinggal di tempat lain, keluarga mereka baik-baik saja dan tidak terjangkiti oleh penyakit tidak jelas itu. Hanya yang jadi permasalahan sekarang adalah, setelah delapan tahun berlalu akhirnya sepupu-sepupu Silvia yang tersisa tidak ada yang selamat. Semuanya meninggal akibat terjangkit penyakit tidak jelas itu. Dan sekarang, penyakit itu mulai menyerang kepada orangtua yang masih tinggal di sana."

Larasati dan Narendra terlihat sangat shock usai mendengar kenyataan itu. Mereka tampak tidak pernah menduga kalau Silvia yang begitu ceria ternyata memiliki kehidupan yang sangat sulit.

"Berarti selama dua belas tahun ini, Silvia selalu memendam masalahnya sendirian? Dia baru memberitahu kamu malam ini?" tanya Narendra.

Yvanna pun menganggukkan kepalanya.

"Lalu, apa Silvia tahu siapa pelakunya?" Larasati terlihat lebih antusias akan masalah itu.

"Kecurigaan Silvia selama ini adalah, salah satu Paman atau salah satu Bibinya telah melakukan persekutuan dengan Iblis sehingga harus menumbalkan semua anak-anak di dalam keluarga besar mereka. Hanya saja, Silvia tetap tidak tahu siapa orang tersebut yang bahkan tega menumbalkan anaknya sendiri. Karena menurut Silvia, tidak ada satu pun dari salah satu Paman atau Bibinya yang terlihat menjadi kaya raya setelah melakukan persekutuan itu. Mereka tampak biasa-biasa saja dan tidak tampak ada yang berubah sama sekali. Aku curiga, mereka telah melakukan ritual tumbal keluarga. Namun untuk memperkuat kecurigaanku itu, aku harus datang sendiri ke sana bersama Silvia agar bisa menemukan siapa pelakunya di dalam keluarga tersebut," jawab Yvanna, sekaligus menyampaikan niatnya membantu Silvia.

Narendra dan Larasati pun akhirnya tahu apa tujuan pembicaraan yang Yvanna lakukan kepada mereka malam itu.

"Jadi, kamu berniat ingin membantu Silvia dan pergi lagi ke Garut?" tanya Narendra.

"Iya, Yah. Itulah niatku, sekaligus untuk membantu merawat Ibunya Silvia yang sedang sakit."

"Tapi Silvia 'kan tidak boleh tinggal di tanah warisan milik Kakek buyutnya. Kalau dia memaksa tinggal di sana bersama kamu, maka nanti pasti akan terjadi sesuatu yang buruk, Sayang," Larasati memberikan pendapatnya.

"Maka dari itu aku mau meminta izin pada Ayah dan Ibu untuk menggunakan rumah lama kita yang ada di Garut. Aku dan Silvia bisa membawa Bibi Erna ke sana agar bisa dirawat dengan baik serta jauh dari tanah warisan milik Kakek buyutnya Silvia. Itu satu-satunya ide yang terpikirkan olehku setelah berbincang dengan Silvia, tadi. Sekarang bagaimana menurut Ayah dan Ibu? Apakah aku akan diberi izin untuk menggunakan rumah lama kita?" tanya Yvanna.

"Tapi kamu baru pulang dari Garut tiga hari yang lalu, Nak. Masa sih kamu harus kembali pergi ke sana? Ibu masih kangen loh sama kamu," ungkap Larasati dengan jujur.

Yvanna pun tersenyum lalu bangkit untuk memeluk Ibunya dengan erat.

"Ayolah, Bu ... hanya beberapa hari saja kok. Insya Allah aku akan menuntaskan masalah Silvia dalam beberapa hari saja. Aku akan langsung pulang lagi ke sini setelah urusannya selesai," bujuk Yvanna dengan manis.

Narendra pun terkikik geli saat melihat putri ketiganya tengah membujuk. Larasati pun kini menoleh ke arah suaminya seakan meminta pertimbangan.

"Sudah, biarkan saja Yvanna pergi. Toh Tika, Manda, dan Lili tetap akan ikut bersama dia ke sana," ujar Narendra, meyakinkan istrinya.

* * *

TUMBAL KELUARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang