Nggak capek apa ganteng mulu
Vania Agatha.
_-_-_-_
Bunyi lonceng pada pintu kafe berbunyi bersamaan dengan masuknya sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Aku memandang jam tangan lalu menghela nafas. Memang sudah waktunya aku pergi dari sini.
Langkahku kupercepat untuk mencapai halte diseberang jalan. Seperti biasa, jalanan ini selalu ramai. Aku duduk dibangku halte dan perhatianku tertuju pada kendaraan beroda dua yang dengan lincah menyalip si roda empat tanpa henti, meskipun kadangkala aku terkejut dengan suara klaksonnya.
Lama-lama entah mengapa suhu di tubuhku meningkat. Tanganku dengan sigap beralih menjadi kipas. Memang cuaca tidak dapat diprediksi, pagi tadi mendung lalu cuaca menjadi sangat terik di siang hari ditambah hari ini aku memakai kemeja yang kujadikan sebagai outer, tentu saja membuatku gerah setengah mati.
Melihat gerombolan anak sekolah sedang membawa ponsel mereka ditangan membuatku teringat sesuatu. Sejak aksi melarikan diri dari Mira dan Elena tadi aku memang belum membuka ponselku sama sekali dan tentu saja pak Yan belum aku hubungi.
"Van.....Van..bisa-bisanya belum ngabarin udah nungguin" Ucapku dengan lemas.
Aku memutuskan membuka ponsel untuk menghubungi pak Yan. Pandanganku masih saja tertuju pada kendaraan di badan jalan. Tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berhenti didepan halte tempatku berdiri. Tentu saja hal itu memancing bunyi klakson kendaraan lain dibelakangnya. Siapa yang tidak tersulut emosi jika arus yang seharusnya berjalan lancar menjadi tersendat ketika si pemilik mobil mewah itu menghentikan laju mobilnya.
Akhirnya yang ditunggu orang-orang di halte ini tiba termasuk diriku juga. Pemilik mobil mewah itu menurunkan kaca mobilnya. Orang-orang bersiap mengeluarkan sumpah serapahnya namun diurungkan saat melihat siapa gerangan pemilik mobil mewah didepan. Nafasku tercekat, aku sama sekali tidak berpikiran negatif sedikitpun.
Baik anak muda maupun orang tua yang berhasil melihat pemilik mobil mewah didepan sana langsung berpura-pura tidak melihat dan memilih tidak mempermasalahkan, padahal bukannya mereka tadi juga ikut tersulut emosi?
Pandangan Deon beralih menatapku. Aku mengernyit tidak mengerti maksud Deon kali ini. Dia sama sekali tidak berucap sepatah katapun padaku. Aku melihat bibirnya berdecak, apa aku salah lagi. Apa dia memintaku untuk naik ke mobilnya itu. Salah, dia bukan meminta namun memerintah.
Bersamaan dengan langkahku yang kiat mendekat, panggilan teleponku akhirnya terhubung dengan pak Yan.
"Halo mbak Vani maaf ya tadi pak Yan ke toilet, mau dijemput sekarang mbak?" Tanya pak Yan.
"Eh enggak usah pak Yan soalnya Vani mau pulang sama temen aja, udah ya pak Yan maaf loh udah ganggu waktunya"
Aku langsung menutup sambungan dengan cepat. Tatapan Deon masih saja mengintimidasi diriku. Sayup-sayup terdengar suara yang membicarakan kami meskipun terdengar sangatlah lirih, seperti biasa aku membiarkan hal itu. Dengan cepat aku menghampiri mobilnya lalu masuk kedalam. Wangi maskulin tercium kuat kala aku berhasil mendudukkan diri disebelahnya. Apa ini, padahal aku bisa saja menolak perintah Deon dengan alasan pak Yan sudah dalam perjalanan. Namun entahlah, mengapa aku malah dengan mudahnya mengikuti kemauannya kali ini.
Jalanan kembali lancar sesaat mobil yang Deon kendarai melaju dengan kecepatan tinggi. Hal ini tidak luput dari perhatian pengguna jalan, terlebih mobil yang Deon kendarai ini terlihat sangat-sangatlah mencolok dibandingkan kendaraan lain.
Aku tidak tahu kemana dia akan membawaku dan akupun tidak mempunyai niatan untuk sekedar bertanya padanya. Jujur saja aku terlalu hanyut dengan apa yang kutumpangi saat ini. Memang bukan hal yang baru buatku jika menaiki mobil mewah seperti ini sejak bersama Deon. Namun kali ini sungguh berbeda, ini adalah mobil yang kuyakini keluaran paling terbaru dari yang terbaru. Lihatlah berbagai fitur canggih ini wahai Vania. Tapi sayangnya aku tidak bisa memamerkan keberuntunganku kali ini pada orang sekitarku.
Beruntung sekali kesadaran ku telah kembali ke permukaan. Dengan cepat aku merubah ekspresi kagumku pada mobil ini. Pandanganku beralih pada jalanan depan sambil sesekali melirik kearah samping. Dia, entahlah tapi Deon entah mengapa selalu terlihat memukau. Penampilannya itu, dari tatanan rambut baju hingga sepatu, apakah dia mempunyai tim khusus hanya untuk mengurus penampilannya tiap hari?
Mobil Deon memasuki basement sebuah gedung yang digadang gadang menjadi gedung tertinggi di ibukota. Aku baru teringat jika elena pernah beberapa kali membicarakan tentang gedung apartemen ini. Dahiku mengernyit, apakah Deon tinggal di apartemen ini? Lalu apakah dia mengajakku bermalam disini?? Aku berdecak. Pikiranku masih sama kacaunya seperti siang tadi.
Deon keluar dari mobil tanpa berbicara. Aku pikir karena dia ingin aku tetap berada di mobil sehingga diam saja tanpa berbicara, namun ternyata ketukan di kaca mobil menyadarkanku. Aku keluar dari mobil lalu mengikuti langkah lebar Deon dari belakang. Tak tahu mengapa wajah marah bunda muncul di kepalaku. Langkahku seketika terhenti tepat saat Deon berhasil memasuki lift.
Dia menatapku sambil menaikkan alisnya.
"Berhenti nyuruh-nyuruh gue sesuka lo, kali ini gue gamau lagi" Ucapku tegas.Deon semakin menaikkan alisnya kemudian berjalan mendekat. Tak urung itu membuatku memundurkan tubuhku hingga cekalan kasar di lengan menghentikan langkahku.
"Basement disini luas. Kalau lo mau keluar lo butuh tanda pengenal. Dan mobil gue kunci. Kalau ada yang mau apa-apain lo nangis darahpun lo yang disalahin"
Akhirnya dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya lagi.
Pintu lift terbuka tepat dilantai 40. Aku berniat mengikuti langkah Deon dari belakang, namun dia malah berhenti lalu berbalik menatapku tajam. Apa lagi kali ini.
"Lo disini. Jangan kemana-mana sampe gue balik" Ucapnya.
"Gue disini? Tapi kenapa nggak ikut lo aja? Kenapa?" Tuturku.
Deon berdecak "Gue rasa lo udah cukup umur buat ngartiin apa itu privasi" Putus Deon.
Deon melenggang pergi tanpa memikirkan bagaimana diriku ditempat asing. Aku menatap tak percaya dengan bibir terbuka. Badan tegapnya menghilang seiring dirinya melewati lorong panjang berbelok. Jika begini apa bedanya dengan berada dalam basement tadi.
Aku berdecak sambil berkacak pinggang. Jika dirinya butuh privasi lalu mengapa membawaku kesini. Lagipula, sedikitpun aku tidak pernah ingin berurusan dengannya apalagi membeberkan tempat tinggalnya, sama sekali tidak menarik buatku.
40 menit aku masih bertahan dengan posisi ku. Berdiri disamping pintu lift bagaikan sebuah patung selamat datang. Kupikir hanya butuh beberapa menit saja. Kupikir tidak akan selama ini. Namun nyatanya aku lupa sedang berurusan dengan siapa. Lagi-lagi aku berdecak. Aku menyerah, kuputuskan untuk duduk bersimpuh saja dilantai. Untung saja, sampai dengan saat ini belum ada satupun orang yang terlihat dilantai ini sehingga aku tidak perlu khawatir akan terciduk kala terlihat seperti gelandangan. Apakah lantai ini hanya diisi Deon saja? Tapi aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah Deon cepat kembali.
_-_-_-_
Yey bisa up lagi dong..minta doanya ya man teman supaya tetep bisa konsisten🤗jangan lupa vote tiap part ya biar makin semangat akunyaa. sampai ketemu dipart selanjutnya babayyy🥰
Vote+komen+follow
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love The Criminal
RomansaDipaksa jadi pacar dari seorang kriminal? Ini adalah kehidupan Vani yang mendadak berubah drastis setelah tragedi pemaksaan Deon. Semua orang menjadi segan padanya. Mengenalnya. Dan bahkan terkesan takut padanya, karena dia pacar dari seorang krimin...