Sebuah rencana

1.8K 132 4
                                    

Kesel banget tapi tetep harus happy koyowo

Vania Agatha.

_-_-_-_

Setelah keluar dari taksi yang kutumpangi, simbok berjalan tergopoh gopoh memberitahuku kabar terpentingnya. Fakta tentang selesainya permasalahan antara Veno dan temannya sukses membuatku mengernyit. Aku merasa itu sedikit mencurigakan. Mengapa semua terjadi tiba-tiba. Padahal masih sangatlah kentara jelas bagaimana penolakan mentah-mentah yang kudapat saat pihak kami mengajaknya berdamai. Namun tidak dapat aku pungkiri bahwa perasaan lega sekaligus tenang hinggap begitu saja.

Pandanganku menatap nanar pintu kamar Veno yang senantiasa tertutup. Kamar Veno masih saja terkunci rapat. Kamarnya hanya dibuka saat simbok mengantar makanan dan mengambil pakaian kotor. Dirinya tidak mengijinkan aku maupun bunda untuk mendekati kamarnya meskipun hanya didepan pintu. Setelah kejadian hari itu dia terkesan mengurung dirinya. Aku yakin, itu karena rasa bersalahnya pada bunda. Aku menghela nafas berat. Kakak macam apa aku ini, jika tidak bisa membujuk adiknya sendiri.

_-_-_-_

Keluar dari kamar mandi tubuhku terasa sangat segar. Kegiatanku sekarang hanyalah berkutat dengan ponsel ditangan. Setelah beberapa jam menonaktifkan ponsel, aku memutuskan untuk mengaktifkannya kembali. Benar saja. Ratusan notif dari Mira dan Elena memenuhi kolom pesanku. Mereka pastinya ingin menuntut penjelasan dariku tentang kejadian melamunku tadi pagi. Jelas jelas hal itu sangat memalukan, mana mungkin aku berkata jujur pada mereka. Mereka akan mengolokku bak menelan ludah sendiri, mereka pasti akan menertawai ku habis habisan.

Langsung saja aku menekan ikon sampah untuk menghapus semua pesan yang berasal dari Mira dan Elena. Biar saja mereka meradang. Hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara sebenarnya.

"Masalah satu selesai timbul masalah yang lain" desahku.

Notif yang sudah lama tidak muncul, akhirnya muncul kembali. Tanpa memastikan siapa orangnya, akupun sudah tau dari pesan yang dikirimkannya. Pesannya berisi tuntutan jawaban dariku. Maukah diriku membantunya. Aku mendesah frustasi karena kebodohan ku yang telah melupakan hal semacam ini. Pastinya laki-laki setengah baya itu sangatlah berharap padaku. Harusnya saat pertama kali bertemu itulah aku sudah mengutarakan ketidakberdayaanku jika berhadapan dengan anaknya. Dan seharusnya sedikit memberi gambaran tentang betapa kejamnya putranya jika denganku.

Keinginanku untuk membalas pesannya dengan kalimat penolakan itupun urung tatkala wajah sendu yang ayah Deon berikan saat bertemu dulu terpajang begitu saja di kepalaku. Ingin sekali rasanya membantu. Tapi tentu saja keberanian ku setipis tisu. Tapi bukankah seharusnya ada banyak cara, termasuk cara agar bagaimana tidak ketahuan oleh Deon. Satu-satunya cara yang paling mudah adalah dengan mengorbankan orang lain agar dapat memancing kedatangan Deon. Namun pastinya orang itu tidak akan selamat. Orang itu akan berakhir mengenaskan. Tentu saja aku tidak Setega itu. Namun, aku juga tidak ingin jika harus mengorbankan diriku sendiri. Bisa mati aku.

Setelah membalas pesan dengan ketersediaanku untuk bertemu. Aku merebahkan diri dan menatap pada langit langit kamarku. Mula-mula pikiranku dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan terburuk jika Deon mengetahui hal ini. Namun bukan hal yang mustahil juga jika Deon malah senang bukan main dengan apa yang aku lakukan. Menyatukan kembali ikatan anak dan ayah yang sempat terputus, sangatlah hebat jika benar-benar terjadi. Seberapa bencinya anak pada orang tua, mestinya hal itu tidak bisa memutus tali hubungan begitu saja. Deon akan sangat menyesal dibelakang jika tetap bersikap begitu dan aku hanya ingin membuat penyesalan itu tidak terjadi. Aku saja ingin sekali bertemu dengan sosok ayah, lalu Deon dengan sikap bengisnya bersikap seakan tidak menginginkan hal itu. Tentu saja aku cukup tersinggung.

Sibuk dengan berbagai kemungkinan yang terjadi membuatku tanpa sadar tertidur pulas dan terbangun keesokan hari.

Pagi hari saja aku sudah mendapat mood buruk. Semua tentang Deon sepertinya sanggup membuat mood turun drastis seperti mimpi kali ini contohnya. Kenyataan memimpikan Deon tentu saja membuatku berdecak, mengapa di mimpi pun mesti bertemu. Dalam mimpi aku melihat sisi Deon yang lain. Mimpi itu berlatar dipinggir pantai saat senja tiba. Di mimpi Deon sangatlah romantis, dan sesekali tersenyum manis. Namun dalam mimpi bukanlah aku yang menjadi wanitanya. Hal yang membuatku kesal adalah di dalam mimpi aku diposisi sedang menangis memergoki mereka berdua. Apa-apaan itu. Bukankah mimpi seperti itu sangat tidak bermutu. Dan jika mimpi itu nyata, maka aku akan bersorak gembira.

Aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu sebelum mandi. Tentu saja hal ini mengundang amukan dari Bunda. Namun tetap saja, perutku butuh diisi.

"Dasar. Belum mandi udah sarapan" Bunda menyentil dahiku.

"Laper"

"Makanya kalau malem tuh makan" Ucap bunda seraya meletakkan seporsi bubur di atas nampan.

"Kemaren kenyang... emangnya rencana Veno keluar kapan Bun. Nggak tau apa ngurung diri aja nggak bisa ngrubah apa-apa"

"Nah itu tuh. Yang tadi kamu bilang coba deh omongin ke Veno. Siapa tau bujukan kamu mempan"

"Kemaren kenyang?"

"Ini masih pagi tapi kamu kenapa udah bikin kesel Bunda Van. Yang kamu bilang ngurung diri nggak akan ngrubah apa-apa itu kamu bisa omongin ke Veno"

"Bunda nyuruh Vani ngomong sama siapa? Sama pintu? Bunda aja nggak pernah didengerin apa lagi Vani" Sahutku terlampau santai hingga tidak menyadari raut wajah bunda telah berubah. Aku meringis kecil "Oke. Bakal Vani coba"

_-_-_-_

Setibanya di tempat entah mengapa keringat dingin menyambutku. Aku memandang sebuah papan tulisan berlapis emas yang terpampang luas didepan. Addison Group, sebuah perusahaan furniture ternama, yang berhasil menggaet penghargaan Asia's finest furniture selama sepuluh tahun terakhir berturut-turut. furniture yang dipasarkan terkenal akan kualitasnya yang sangat unggul dibandingkan dengan furniture yang lainnya. Pandanganku beralih pada setiap sudut di lantai dasar ini. Lantai ini penuh dengan berbagai furniture yang terlampau sangat bagusnya.

Seorang resepsionis menghampiriku memintaku untuk mengikuti langkahnya. Langkahnya membawaku ke sebuah pintu lift. Bibirku spontan melongo, lift dengan desain unik ini baru pertama kali kutemui. Pantas saja furniture dari mereka menjadi yang nomor satu di Asia. Bukan hanya itu, saat pintu lift terbuka yang terjadi malah lebih mengejutkan. Perabotan pintar, perabotan multifungsi dengan berbagai bentuk dari yang unik hingga terlampau cantik semua berada di sini. Beruntung sekali diriku bisa menginjakkan kaki ditempat seluar biasa ini.

"Pak Bara Memang sehebat ini dalam hal mendesain" Ucap sang resepsionis bak cenayang.

Resepsionis bilang, ruangan didepan adalah tempat dimana pemilik perusahaan ini telah menunggu. Tanpa sadar aku menghirup nafas dalam sambil menekankan dalam hati bahwa ini pilihan yang benar. Lagipula hal pertama yang membuatku melakukan ini adalah untuk bisa lepas dari Deon dan yang kedua hanyalah sekedar membantu.

_-_-_-_

Yok bisa yok 100 vote🥰🥰

Vote+komen+follow

Terimakasih.

Love The CriminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang