14. "Bantu Nia agar setuju menikahi Arta,"

242 17 1
                                    

Tarik nafas panjang...
Buang...
Tarik nafas lagi...
Hembuskan...
Ingat deburan ombak di pantai nun jauh di sana...
Bayangkan birunya laut dan angkasa yang berpadu...

Ayo Aryan, kamu pasti bisa tenang. Video relaksasi di youtube itu pasti berguna. Ayo, kamu bisa!

"Argh!" gagal tenang. Video relaksasi di youtube itu abal-abal. Buktinya Aryan kini malah bertambah kesal. Apalagi wajahnya sudah memerah dengan nafas kembang kempis.

"Kenapa sih?" gadis itu ikut menggerutu melihat kekalutan Aryan.

"Kenapa? kamu tanya kenapa?" Wah, Aryan tidak percaya ini. Mana bisa gadis itu tenang-tenang saja setelah bertengkar hebat dengan ayahnya, sedangkan dirinya saja sudah dilanda kekalutan luar biasa karena terseret dalam kasus ini. Dirinya yang seputih kain kafan, suci tanpa noda, jadi kotor karena diseret-seret dalam permasalahan Rania. Sial.

"Udahlah, lupain aja, Papa emang gitu. Pasti besok udah baik lagi," ujarnya santai sambil mengemut sendok eskrimnya.

"Lupain gimana hah?" Mata Aryan semakin melotot. Tangannya sudah nangkring di pinggang, persis seperti pose ibu-ibu hamil. "Papa pasti bakalan nyembelih gue hidup-hidup, Nia..." serunya geram.

"Nggak akan," lagi, gadis menyebalkan itu berlagak sok tahu, seakan ia bisa meramal peristiwa di masa depan. "percaya sama aku," ujarnya.

"Percaya gimana hah? Lo udah nge-bahayain hidup gue. Mana bisa gue percaya?" balasnya berapi-api.

Rania berdecak kesal. "Aku udah punya rencana, kamu diem aja. Nurut sama aku! dijamin semuanya beres,"

Alis Aryan terangkat, "Apa jaminannya?"

Alis Rania juga ikut terangkat, merasa tertantang. "Seluruh tabungan direkeningku boleh kamu ambil kalau rencana ini gagal."

👀👀👀

Kalau rencana yang dimaksud Rania adalah flexing kepintaran, kemapanan, dan kegantengan, Aryan pilih mundur saja. Rania sudah gila! benar-benar gila. Mana mungkin ia akan menang jika lawannya seorang Arta. Arta yang good looking, rapi, wangi, kelihatan pintar, dan dari model kendaraannya saja dapat diprediksi berdompet tebal. Aryan sudah buluk, nggak pinter, dan cuma punya uang lima puluh ribu harus diadu sama Arta yang wow itu. Ini namanya menyembelih diri sendiri.

Dan lagi...
Hah, Aryan tak tahu harus berkata apa lagi. Tadi pagi dirinya sudah mengulur urat dengan Arta dan Papa, dan kini sepertinya akan terulang lagi. Akibat Rania yang ngereog karena tak mau pulang bareng Arta dan nangis guling-guling minta pulang bareng Aryan, kini saat sampai dirumah gadis itu, keduanya sudah dicegat oleh Papa dan Arta. Dari raut Papa yang memerah dengan mata menyipit, Aryan tahu bahwa dirinya tak akan selamat kali ini.

"Nia, psst," tangannya menyikut Rania yang berdiri disebelahnya. Gadis itu terlihat biasa-biasa saja, sama sekali tak ada tanda-tanda takut atau gelisah. Berbanding terbalik dengan dirinya yang sudah gemetaran sampai kebelet pipis.

"Nia!" Aryan mengerjap kaget saat suara menggelegar Papa terdengar. Jantungnya langsung merosot sampai telapak kaki. "Tadi pagi Papa bilang apa sama kamu?"

Rania memutar bola matanya, kentara sekali dirinya sudah muak. "Emangnya Papa bilang apa?" tanyanya balik sambil mencabut permen jempol dari mulutnya. Nada suaranya santai sekali, sama sekali tak terpengaruh gertakan Papa.

"Kamu sudah janji bakalan pulang sama Arta kan?"

Alis Rania terangkat, "Emang iya?"

"Rania!" bentak Papa keras.

Mulutnya berdecak kesal, raut wajahnya berubah serius. Jika sudah begini, Aryan yakin akan terjadi perdebatan sengit. Ia hafal sekali bentukan Rania kalau sedang marah. "Bisa nggak sih Papa nggak usah ikut campur kehidupanku? dari kecil sampai sekarang Papa sama Ibu selalu ikut campur. Rania nggak pernah bisa bebas berekspresi, harus selalu menuruti keinginan kalian. Nia capek." ia mengatakannga dengan sangat tenang, sama sekali tak ada nada tinggi didalamnya. Wah, Aryan kagum sekali. Kalau sedang seperti ini, Rania kelihatan cantik sekali. Rania yang serius, berani, sedang marah namun tetap bisa tenang. Wah, nggak tahu Aryan harus ngomong 'wah' berapa kali untuk mendeskripsikan betapa kagumnya dia kepada Rania. Apalagi Aryan tahu sepak terjang gadis itu sejak brojol ke dunia. Kalau jadi Aryan, kalian pasti juga akan terpesona.

Tapi kini, bukan hanya dirinya saja yang terpesona. Lelaki di seberangnya, yang hanya berdiri tegak di sana, juga turut memandang Rania dengan pandangan penuh pesona. Sorot matanya tak lepas dari Rania sejak tadi, bahkan tanpa kedip. Sial, hati Aryan rasanya terbakar. Sekarang malah ganti dirinya yang ingin memaki-maki lelaki itu. Ingin rasanya bilang bahwa hanya dia yang boleh kagum pada Rania.

"Nia!" teriakan Papa mengembalikan Aryan dari lamunannya. Lelaki itu baru sadar kalau Rania sudah tak ada di tempatnya semula. Gadis itu sudah melenggang pergi entah kemana. Kini hanya tersisa dirinya, Papa, dan lelaki itu.

Papa memijat pelipisnya, pusing akibat menghadapi sikap Rania yang sekeras batu. "Papa," Aryan berangsur membantu Papa duduk.

"Papa mau minum?" tawarnya. Namun baru saja dirinya menawari, lelaki itu sudah mengangsurkan segelas teh hangat yang entah datang dari mana.

"Makasih, Arta," Aryan tersenyum kecut. Batinnya berteriak histeris. Hal sepele seperti ini saja dirinya kalah dari Arta.

"Maafin Papa ya," Aryan seketika mendongak. "kalian malah ngelihat Papa berantem sama Nia terus." Papa meletakkan cangkirnya. "Anak itu emang keras banget, Aryan pasti sudah hafal sikap Rania, iya kan?"

Mendengar Papa mengajaknya mengobrol, Aryan tersenyum senang, artinya Papa tidak jadi marah kepadanya. "Iya, Pa."

"Maafin Papa ya, Aryan, tadi pagi malah marah-marah ke kamu, padahal kamu nggak salah apa-apa,"

"Santai aja, Pa. Aryan udah biasa ngehadapin Nia yang kayak gini." lelaki itu sedikit menyombong. Aryan tentu lebih mengenal Rania dibanding Arta. Keduanya yang sudah bestie-an sejak lahir kedunia, masa mau dipisahkan oleh lelaki katro macam Arta. Cih.

"Maafin Papa juga ya, Arta. Setiap kamu datang ke rumah, selalu saja disambut drama unfaedahnya Nia. Papa sampai sakit kepala lihatnya," curhat Papa lagi.

Arta balas tersenyum kalem. "Nggak apa-apa Om, Arta paham posisinya Rania. Dia pasti kaget dan histeris." Sumpah, Aryan hanya bisa melihat pencitraan. Manis sekali mulut Arta, apalagi ditambah gula-gula dari ekpresinya yang bisa dikatakan.... eww, Aryan mau muntah rasanya.

Halah, bilang saja kamu iri dengki.

Nggak munafik, Aryan iri dan dengki. Ya, bagaimana lagi, dari segi manapun Arta lebih tinggi darinya, apalagi ditambah status Arta dan Rania, didukung dengan sikap Papa yang sangat-sangat mendukung keduanya. Aryan ya jelas iri dan dengki!

Tunggu dulu!
Tapi, kenapa dirinya harus iri dan dengki? Memangnya dirinya punya hak untuk iri dan dengki? Katanya dirinya dan Rania hanya bestie-an, ups.

Hei sadar!

Aryan menunduk lesu. Sadar diri, sadar posisi. Toh dia juga nggak suka Rania kan, jadi kenapa harus ambil pusing?

Tapi, Aryan tidak bisa bohong jika Rania lepas dari genggamannya. Terbiasa berada di sekitar gadis itu membuatnya kecanduan. Sehari saja ia tak bertemu Rania, rasanya lehernya tercekik. Ia tak bisa bernafas. Rania adalah nafasnya.

"Aryan, nak!" Aryan mendongak, menatal Papa yang kini sedang menatapnya serius.

"Kamu mau nolong Papa?" tanya Papa.

Aryan mengangguk dalam. "Tentu, Pa,"

"Kamu mau Rania bahagia 'kan?" Jantung Aryan bertalu cepat. Perasaannya semakin tak enak. Sepertinya ia tahu apa yang akan Papa minta darinya. Sesuatu mungkin akan tercabut dari hidupnya.

"Ma-u" Suara Aryan berubah kecil, persis seperti suara tikus. Tangannya tertaut karena gugup. Ku mohon, jangan!

Papa tersenyum lebar. "Bantu Nia agar setuju menikahi Arta,"

Aryan lemas.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang