Rania menghembuskan nafas kesal. Seharian ini hudupnya terasa seperti di neraka. Panas. Apalagi saat bertemu dengan Bapak Awan terbormat, rasanya sama seperti bertemu dengan malaikat penjaga neraka. Mengerikan.
Rania berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Awan. Bukan tanpa alasan, wanita itu benar-benar enggan menatap Awan. Rasa kesal, marah, dan sakit hatinya bercampur menjadi satu. Wanita mana yang tidak marah jika hanya dijadikan permainan semata. Ya, walaupun dari awal pertemuan wanita itu sudah membenci Awan, tapi setidaknya lelaki itu bisa mencoba mengurangi rasa benci Rania padanya, bukan malah sebaliknya. Sudah benci, masih juga dipermainkan. Sempurna sekali.
Rania berani bertaruh babwa Awan tengah menyiapkan sesuatu yang buruk untuknya. Pasalnya, kelakuan lelaki itu terbilang aneh sejak ia mendeklarasikan perang padanya. Apalagi kelakuannya pagi tadi saat acara kuis dadakan. Ia heran setengah mati mengapa lelaki itu malah membahas cinta, bukan malah materi kuliah mereka. Ia sangat yakin bahwa lelaki itu sudah mulai gila. Gila karena obsesinya untuk mempermaiknan wanita.
"Pokoknya kalau Pak Awan manggil, jangan nengok. Kalau Pak Awan ngomong, cuekin. Kalau Pak Awan mampir ke rumah, jangan di persilahkan masuk." Rania mewanti-wanti dirinya sendiri. Wanita itu mengepalkan tangannya mantap, ia tak ingin kecolongan lagi kali ini. Sudah cukup lelaki itu mempermainkannya.
"Nggak. Nggak boleh balas dendam. Kamu bukan tipe orang pendendam, Nia." Wanita itu bermonol pada dirinya sendiri. Pikirannya memaksanya untuk membalas dendam atas apa yang sudah Bapak Awan terhornat lakukan.
Sebenarnya, Rania bisa saja memutar balikkan jalannya permainan. Ia bisa saja balik mempermainkan Bapak Awan terhormat, namun hatinya takut. Ia takut hatinya malah akan semakin sakit.
Wanita itu beranjak berdiri saat menatap langit yang mulai menggelap. Di pandanginya arloji yabg melingkar di pergelangan tangannya. Nia mendesah pelan, "Udah jam setengah enam." Sudah terlampau sejam sejak perjanjiannya dengan ibunya. Wanita itu terlalu asik melamun sembari menunggu bis di halte sampai-sampai tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.
"Udah pasti nggak dapet bis ini." Desahnya. Nia sekali lagi menatap langit di atasnya, gelap nan mendung.
"Jalan kaki?" Tanyanya lebih pada dirinya sendiri. Ia merutuki kebodohannya pagi tadi saat ia malah menerina tawaran Bapak Awan terhormat untuk berangkat bersama. Seharusnya ia berangkat naik motor matic-nya saja jikalau ia tahu akan berakhir seperti ini. Terlebih lagi, ia tidak akan mungkin meminta tumoangan pada Bapak Awan seperti pagi tadi mengingat betapa benci dirinya pada Awan.
"Nasibku emang selalu sial." Ia beranjak berdiri. Ia menunduk menatap kedua kaki lemahnya. Semoga kuat sampai rumah, batinnya. Dan semoga tidak hujan, tambahnya.
Tiiinnn.
Baru selangkah Nia menjejakkan kakinya, seseorang dari arah belakang dengan mobil hitam berjalan pelan di sampingnya. Kaca bagian kemudi mobil itu diturunkan. "Ayo masuk. Saya antar." Serunya.'Jangan nengok! Jangan.' Nia berusaha mengingatkan dirinya sendiri. Ia tahu betul siapa sosok yang baru saja berbicara dengannya. Sosok gelap, jahat, dan... buaya darat.
"Kamu budeg, heh?" Sosok itu menghentikan mobilnya. Ia melepas seatbeltnya lalu tanoa pikir panjang langsung menyusul Nia yabg sudah lebih dulu berjalan di depannya.
"Nia," panggilnya.
Nia menghembuskan nafas kesal. Sebenarnya apa mau lelaki itu, heh?
"Saya bicara sama orang. Bukan sama setan." Serunya saat ia berhasil menyejajarkan langkahnya. Lelaki itu menengok lawan bicaranya yang hanya diam tanpa berminat untuk menjawab perkataannya.
"Kamu beneran budeg, ya?"
"Heh, saya lagi ngomong."
"Kamu sariawan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan
RomanceDosen - Mahasiswa Series 2 Humor - romance - teen fiction. Menjadi mahasiswa tingkat akhir dengan segala tanggung jawab akhir yang harus di selesaikan membiat Rania buntu. Tak hanya itu, skripsinya yang sudah lama ia kerjakan terus mendapat penolaka...