18. "Ran, aku suka kamu."

169 11 0
                                        

Hujan rintik-rintik sejak pagi tadi belum mereda, membuat udara sore ini terasa lebih dingin dari biasanya. Bahu jalan tergenang air di sana-sini. Bau khas tanah tertimpa hujan tercium menyengat. Membuat nuansa sore ini terkesan sendu. Namun berbanding terbalik dengan lelaki yang berdiri di trotoar itu. Senyumnya sejak tadi tak pernah luntur dari bibir tipisnya. Walau tubuhnya sudah berdiri di tempatnya selama satu jam, ia masih terlihat ceria.


Tak perduli hawa dingin yang menusuk, hingga membuat pipinya hampir membeku, lelaki itu tetap kukuh menunggu sang kekasih. Optimisme ini yang membuatnya tahan menunggu selama berjam-jam di tengah cuaca sedingin ini. Janji manis untuk pulang bersama sang kekasih adalah sebab keberadaannya kini. Dengan menenteng sebuah payung besar, yang nantinya ia prediksikan sebagai alat pelindung bagi mereka berdua, istilahnya 'sepayung berdua', ia memprediksikan akan bisa menghabiskan waktu romantis bersama sang kekasih. Di tangan satunya, ia sudah menenteng sebuah jaket yang sengaja dipersiapkan untuk sang pacar. Rencananya, ia yang akan memakaikan jaket itu sendiri pada kekasihnya. Aduh, membayangkan betapa romantisnya mereka berdua membuat jantungnya tak berhenti membuat kegaduhan. Sontak, aliran listrik dari jantungnya membuat pipinya bersemu. Indahnya...

"Aryan!" itu dia kekasihnya. Pujaan hatinya terlihat cantik sekali hari ini. Dengan gamis hijau tuanya yang berkibar terkena angin sepoi-sepoi. Apalagi ditambah senyum manis adindanya yang tak pernah luntur sejak kemunculannya. Kalau boleh Aryan katakan, Rania seperti bidadari.

Aduh, dirinya sudah seperti anak SMP yang baru saja jatuh cinta.

"Udah lama nunggunya? Maaf, ya..." gadis itu merasa tak enak hati, membuat temannya menunggu terlalu lama. Apalagi dengan keadaan hujan seperti ini, pasti Aryan kedinginan.

Aryan tersenyum lebar, sama sekali tak masalah. Rasa lelah menunggu terbayar lunas dengan kehadiran sang pujaan hati. Pujaan hati? Aduh, Aryan jadi salting sendiri.

"Nggak apa-apa kok. Dingin nggak?" tanyanya sembari bersiap melepas jaket untuk ia berikan pada Rania.

Rania tertawa kecil. "Justru kayaknya kamu yang kedinginan deh, lihat tuh pipi kamu sampai merah."

Mata Aryan membelakak, tangannya reflek memegang pipi. Aduh, malu sekali ketahuan salting didepan Rania. "Hehe, iya sedikit."

"Daripada semakin dingin, yaudah yuk!" Rania mengaitkan tangannya pada telapak Aryan. Lelaki itu sedikit berjengit kala Rania menggenggam tangannya. Biasanya, ia akan merasa biasa-biasa saja. Namun kali ini, lelaki itu merasa genggaman tangan Rania sangat spesial. Sangking spesialnya, sampai bisa membuat Aryan hampir melompat kegirangan. Ah, tangan Rania yang hangat membuat hatinya juga ikut menghangat.

Gadis itu mengajak Aryan memasuki kedai kopi di sekitar kampus. Rencananya, hari ini mereka akan melakukan diskusi terkait kerangka penelitian skripsi yang akan dilakukan. Rania sebagai pihak yang memiliki kualitas intelektual rendah, ia menyadari butuh bimbingan dari seseorang yang memiliki intelektual lebih tinggi dari dirinya, dan orang itu adalah Aryan. Meski terlihat seperti lelaki dongo, namun Aryan memiliki intelektual tinggi di atas rata-rata. Bisa dikatakan bahwa lelaki itu cukup cerdas untuk ukuran manusia.

"Mau pesen apa?" tanya Rania sambil membaca daftar menu.

"Kamu apa?" tanya Aryan balik.

"Latte anget paling. Kamu apa?"

"Hmm, teh anget aja deh."

"Ya ampun Aryan, kita di coffee shop loh. Masa kamu cuma pesen teh anget sih?"

Aryan mengedikkan bahu. "Aku butuhnya teh anget, lagi nggak butuh kopi." jawabnya asal.

Gadis itu menghela nafas panjang, namun setelahnya menyebutkan pesanan seperti apa yang Aryan minta.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang